Satu dari tiga puluh satu.
Sejak tadi subuh, kekasihku mendekam di depan laptopnya. Sesekali
menggaruk belakang kepalanya yang aku yakin tak gatal sama sekali. Kuminta ia
untuk tertidur sejenak dan menikmati hari libur, ia hanya tersenyum dan
menyuruhku tidur duluan. Mumpung otaknya masih segar, katanya.
Walhasil, aku berangsur dan menyandarkan punggungku di sebelahnya.
Tak lama kemudian, ia menarik napas panjang dan melabuhkan kepalanya di
pundakku. Di layar laptopnya, hanya ada dua paragraf yang sejak tadi ia tekuni.
"Idenya enggak ngalir sama sekali," katanya sembari
membangkitkan kepalanya. Suaranya terdengar putus asa.
Aku memutar otak untuk membantu kekasihku. "Nulis tentang Hari
Buruh? Biar korelatif sama hari ini?"
Dia menatapku dengan matanya yang selalu membuatku jatuh cinta.
"Aku butuh riset banyak kalau mau nulis tentang Hari Buruh. Takutnya malah
keliru dan dangkal tulisannya."
Senyum mengembang di bibirku. Sepanjang hidupku, tak pernah
sekalipun kutemui makhluk yang jatuh cinta pada menulis seperti kekasihku. Ia
tahu benar jika tulisan berandil besar dalam proses pendewasaan seseorang, pun
dirinya sendiri. Baginya, kenikmatan menulis setara dengan pekerja yang baru
saja mendapatkan gaji pertama atau orang tua yang menyaksikan anaknya diwisuda.
Ada suatu kelegaan dan kepuasan sendiri saat seluruh rasa dan karsa yang
bercokol di pikirannya bisa diabadikan dalam sebuah tulisan. Oleh karena itu,
kekasihku tak pernah mau menuliskan sesuatu yang asing dalam jangka waktu
singkat. Ia butuh waktu untuk menyelami topik tersebut sebelum membuncahkannya
dalam kalimat-kalimat sendiri.
“Menyerah aja gitu, ya?”
Tanganku menelusup ke belakang lehernya. Beberapa kecup mendarat
di puncak kepalanya yang harum aroma kiwi. “Masih pagi. Masih banyak waktu,
Sayang.”
Ia merebahkan kepalanya lagi di pundakku sembari menutup matanya. Pegal
yang mulai menghampiri tanganku tak kuhiraukan. Belum menginjak lima menit,
kekasihku terlelap.
*****
Entah bagaimana ceritanya, kini aku yang sedang berselimut dan
kekasihku sudah bercengkerama dengan laptopnya kembali. Jemarinya lincah dan
matanya terus tertuju ke layar yang sengaja ia redupkan. Aku memilih diam dan
menatap kekasihku yang nampaknya sedang kebanjiran ide. Tak ada jeda panjang
dari setiap ketukannya di papan huruf.
Menatapi kekasihku sedang menulis adalah hobiku sejak pertama
bertemu.
Masih hangat dalam ingatanku detik-detik awal aku berjumpa dengan
sosoknya di suatu kedai kopi. Ia terduduk di samping jendela dan jarinya tak
berhenti mengetik. Aku menatapnya dari jauh dengan secangkir kopi hitam yang
terus kusesap setiap kali ia tersenyum di hadapan kata-katanya sendiri. Seorang
penyair sedang menghibur pengunjung dengan sajak-sajak jatuh cinta yang kurasa
dibuat khusus untukku dan calon kekasihku. Entah apa yang membuatku berani untuk
mendekatinya dan berdalih ingin mewawancarainya seputar buku dan menulis. Untuk keperluan penelitian kampus, ujarku
penuh kebohongan. Aku tak takut sama sekali kebohonganku akan terbongkar. Setelah
bertanya tentang prosedur wawancara yang akan kulakukan, ia bersedia dan
memasung senyum selama kami berbincang. Sejak saat itu, aku tidak pernah
menyerah untuk mencari kesempatan berdekatan dengannya.
Hingga detik ini dia ada di hadapanku. Hanya terpaut beberapa
jengkal saja.
“Kebiasaan suka ngelihatin
diam-diam, nih.”
Suaranya memecah lamunanku. Aku bangkit dan beringsut dari posisi
tidur, lalu menjadikan pahanya sebagai bantal.
“Tulisan aku udah selesai,” katanya sembari mengusap-usap rambutku.
“Tentang apa?”
“Tujuan aku ikut tantangan ini,” tawa menyusul sesaat setelah ia
mengujarkan tuturannya.
Aku mengernyit kebingungan. “Lah, kenapa ketawa?”
“Sederhana banget tulisannya. Orang lain kayaknya lebih bagus,
deh. Malu aku.”
Kekasihku tidak pernah meragu ihwal tulisannya. Ini adalah momen
pertama ia merendahkan kalimat-kalimat yang telah ia untai. Aku bangun dari
nyamannya paha kekasihku, lalu mengambil laptopnya. Ingin tahu sesederhana apa
tulisannya yang biasanya aku sangat kagumi.
Kekasihku berkisah tentang betapa menulis selalu bisa menenangkan
dirinya sejak ia kecil. Setiap teriakan di luar kamarnya sewaktu ia berumur tujuh
tahun terkesan lenyap saat ia menulis. Ia memilih tenggelam dengan kata dan
tanda baca setiap kali bel istirahat sekolah berdentang. Menulis adalah caranya
untuk menenangkan diri setelah beradu argumen denganku tentang makna skala
prioritas.
Seperti biasa, semua kata yang ada di layar itu hanyalah
kejujuran.
Entah paragraf ke berapa, kekasihku menuliskan bahwa tantangan ini
ia terima demi mengembalikan jiwa menulisnya yang sedikit memudar. Blog yang
dulu ia rajin hidupi dengan tulisan-tulisan indahnya mendadak sepi. Semua draf
yang ada di sana tertahan dan tidak menemui akhir. Ia mengakui sedang gagap
dalam mengisahkan sesuatu. Oleh karena itu, kekasihku merasa butuh sesuatu yang
mampu membuatnya konsisten menulis kembali. Harapannya, tantangan ini menebus
keinginannya.
Kekasihku hanya mampu menulis enam paragraf saja. Namun aku
menyukai semua rasa yang tertuang di sana. Matanya menyelidik saat aku
mengembalikan laptop ke pangkuannya.
“Layak dibaca gak?”
Aku menghadapkan tubuhnya ke arah tubuhku.
“Aku suka enam paragraf itu, Sayang. Enggak ada yang salah,”
kataku sembari mengelus punggung tangannya. “Tapi kalau kamu merasa butuh
sesuatu untuk mengembalikan semangat menulis kamu, semoga tantangan ini
membantu,” lanjutku.
Ia mengembuskan napas panjang, lalu mengangguk.
Aku mengenal kekasihku sebagai seseorang yang pantang menyerah. Ia
akan melakukan apa pun untuk menggapai keinginannya. Jika ia berharap menemukan
lagi kata-kata yang hilang dalam benaknya, aku tentu saja percaya ia bisa
melakukannya.
Aku akan melakukan apa pun agar bisa melihat lagi kekasihku
memasung senyum di hadapan kata-katanya sendiri.
Tulisan yang hangat.
BalasHapus