Rabu, 15 Mei 2019

Toxic Masculinity

Michael Urie di Met Gala 2019

Saya telah menjadi seorang laki-laki nyaris seperempat dekade. Kesimpulan yang bisa saya petik adalah hidup sebagai seorang laki-laki itu sangat sulit. Saya menuliskan kalimat tersebut tanpa merendahkan derajat perempuan sama sekali. Mungkin, apa yang saya tuliskan sangat kontradiktif dengan pendapat teman-teman, khususnya para lelaki. Namun satu persepsi yang harus kita samakan; konsep maskulinitas yang sekarang harus segera dihapuskan.

Kamus Besar Bahasa Indonesia V versi luring mendefinisikan maskulinitas sebagai kejantanan seorang laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksualnya. Saya menyimpulkan bahwa maskulin berkaitan dengan fisik seorang laki-laki. Hingga titik ini, saya masih setuju dengan konsep maskulinitas. Sayangnya, maskulinitas yang sekarang menyebar di tengah masyarakat sudah melampaui batasan tersebut. Bahkan, konsepnya bisa mengancam kehidupan seseorang.

Apakah teman-teman pernah mendengar istilah toxic masculinity?

Toxic masculinity adalah negasi dari maskulinitas yang saya pahami. Kini, maskulinitas didefinisikan sebagai seperangkat perilaku yang seharusnya dimiliki oleh seorang laki-laki. Beberapa contoh perilaku maskulin yang saat ini diamini sebagian besar masyarakat adalah laki-laki tidak boleh mengekspresikan kesedihan, harus lebih jago mengangkat barang berat, selalu mengalah terhadap perempuan, menganggap kedudukan laki-laki di atas perempuan, dan lain-lain. Dampaknya, laki-laki lir ibarat memiliki prosedur berperilaku yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Jika tidak dipatuhi, masyarakat akan mencemooh dan menyudutkan sang lelaki.

Kemungkinan besar, kalian pernah mendengar pernyataan-pernyataan berikut.

Jangan nangis, ah. Laki-laki kok nangis.

Laki-laki tuh main bola, bukan boneka.

Masa pakai baju merah muda?

Pernyataan tersebut berubah menjadi sebuah kesepakatan bersama yang menentukan gaya hidup seorang laki-laki. Sialnya, konsep maskulinitas yang salah ini diterapkan sejak dini di dalam ranah keluarga.

Saat ini, sebagian besar laki-laki dan perempuan memperjuangkan kesetaraan gender. Tak sedikit yang bergabung dengan organisasi dan pergerakan sosial demi tercapainya tujuan mulia tersebut. Tentu saja, saya sangat mendukung. Namun, sebagian besar laki-laki juga sedang menghadapi masalah krusial. Mereka masih harus bergelut dengan diri sendiri dan ekspektasi masyarakat yang, sayangnya, belum banyak diketahui.

Saya menyadari satu hal; setiap saya sedang mengobrol dengan teman laki-laki, kami memiliki sebuah koridor percakapan yang nyaris tidak pernah menyentuh ranah pribadi. Curhatnya laki-laki itu tidak seterbuka perempuan yang meminta masukan kepada teman perempuannya. Saya jarang sekali mendengar laki-laki yang bertanya aku lebih bagus pakai baju apa ya hari ini? Ranah pembicaraan kami, para lelaki, acap kali berkutat di seputar pekerjaan, olahraga, seberapa besar ukuran payudara perempuan, dan lain-lain.

Dampak toxic masculinity juga menyentuh ranah perasaan. Laki-laki cenderung tidak dapat mengekspresikan perasaannya secara bebas. Menangis adalah suatu pantangan yang tidak boleh dipatahkan. Salah satu emosi yang harus dimiliki oleh seorang laki-laki adalah amarah. Laki-laki harus bisa marah dan mengekspresikan kemarahan itu dengan aktivitas fisik, seperti memukul. Maskulinitas saat ini diekspresikan dengan peran laki-laki yang dominan dan tangguh. Jika ada laki-laki yang saling memukul, sering kali kita mendengar ucapan dasar laki-laki. Memvalidasi bahwa baku hantam adalah wajar bagi laki-laki.

Parahnya, dominasi laki-laki itu terbawa ke dalam ranah keluarga. Suami menjadi pusat pengambilan keputusan dan istri sudah seharusnya manut. Banyak pula keluarga yang ingin memiliki anak laki-laki sebagai anak pertama. Alasannya sederhana: kelak anak laki-laki itu dapat melindungi adik-adiknya.

Tak jarang pula lelaki memaksakan kehendaknya. Jika keinginannya tidak dikabulkan, rasa bangga laki-laki akan merasa direndahkan. Itulah salah satu alasan terbesar mengapa kekerasan dalam rumah tangga sering kali terjadi. Itu juga salah satu alasan terbesar mengapa kekerasan seksual sering kali terjadi. Laki-laki tidak mau keinginannya ditolak. Egonya terlalu besar untuk tidak diikuti.

Bukan sepenuhnya salah laki-laki. Lagi, itu adalah dampak dari pola pikir yang diciptakan oleh masyarakat. Masa suami takut sama istri. Sebuah pernyataan yang membuat laki-laki merasa perlu lebih kuat dari perempuan. Harus lebih mendominasi. Harus lebih dihormati.

Percayalah, bukan perempuan saja yang tersakiti pada kasus ini, tetapi laki-laki juga. Tekanan yang didapatkan laki-laki itu sangat besar. Oleh karena itu, saya menyebutkan pada paragraf awal bahwa menjadi laki-laki itu sulit. Kami dituntut memuaskan masyarakat melalui aktivitas yang kita lakukan.

Toxic masculinity adalah sebuah wabah yang bisa dibasmi.

Akar permasalahan maskulinitas ini adalah sudut pandang masyarakat. Toxic masculinity berkembang karena ada masyarakat yang mengembangkannya. Sudah saatnya menghentikan wabah ini. Sudah terlalu banyak laki-laki yang menderita karena tidak berani meminta tolong kepada orang lain. Sudah terlalu banyak laki-laki yang tidak bisa mengekspresikan emosi dan hobinya hanya karena asumsi kurang laki. Sudah terlalu banyak perempuan yang dianggap rendah. Sudah terlalu banyak perempuan yang dipukuli.

Sudah cukup.

Lebih penting mengajarkan bagaimana cara menjadi manusia yang baik daripada menjadi lelaki seutuhnya, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar