Selasa, 05 Mei 2020

Merindukan Hiruk Pikuk Southern Cross

Southern Cross Station Photograph by Craig Francisco
Courtesy: Craig Francisco
Kelima dari tiga puluh satu

Pernahkah kamu merasakan suatu hubungan yang kuat dengan sebuah tempat? Merasa tempat tersebut adalah titik nyaman dan aman untuk dirimu?

Maret 2018 adalah pertemuan pertama saya dengan Southern Cross, sebuah stasiun kereta utama yang terletak di Melbourne, Australia. Lelah yang merupakan ampas perjalanan selama 3,5 jam dari Warrnambool, kota di mana saya bekerja, mendadak lenyap saat saya menginjakkan kaki di salah satu peron stasiun. Suasana di sana ramai sekali. Riuh celotehan berbahasa Inggris dengan beragam aksen mengisi gendang telinga saya. Sayang sekali, pertemuan pertama saya dengan stasiun ini harus lekas selesai karena saya diburu waktu untuk bertemu teman-teman.

Semenjak pertemuan itu, hubungan saya dengan Southern Cross semakin intens. Stasiun ini selalu menjadi saksi ketika saya tersenyum lebar kepada pemeriksa tiket, marah kepada burung-burung yang kerap mencuri makanan, mengumpat karena suhu udara yang rendah, dan menangis saking tidak mau pulang. Namun, tidak ada sedikit pun rasa menyesal dan bosan untuk kembali pulang ke sana.

Iya, saya menganggap Southern Cross adalah tempat pulang. Bukan titik kedatangan.

Alasan utama saya berkunjung ke Melbourne tentu saja melepas rindu dengan teman-teman language assistant. Setiap bulan saya bisa berkunjung ke kota layak huni tersebut selama dua atau tiga kali. Mengempiskan dompet dan menguras tabungan? Iya. Setimpal dengan kepuasan diri? Tentu saja.

Southern Cross selalu menyaksikan adegan di mana saya dan beberapa teman menciptakan pertemuan setelah lelah bekerja. Stasiun ini kerap dijadikan titik kumpul sebelum kami melanjutkan petualangan di Melbourne atau melancong ke kota lain. Ketika kami sedang menunggu kedatangan teman, biasanya lounge dijadikan markas karena di sana terdapat musala dan mesin pijat murah meriah! Saat salah satu dari kami baru sampai, dia sudah tahu harus ke mana.

Southern Cross juga menyaksikan kami yang terlampau bersemangat untuk menuju Sydney, saling memeluk karena suhu musim dingin yang menyebalkan, hingga menangis karena melihat Anggi kehilangan sepatunya. Southern Cross menjadi pemerhati dalam setiap langkah kami.

Biasanya, saat saya tiba di Southern Cross atau menunggu jadwal kereta mengantarkan saya ke kota di mana saya bekerja, ada dua tempat yang sering saya kunjungi; Starbucks dan sebuah kedai kue yang saya sudah lupa namanya. Saya akan mengunjungi kedai kue tersebut dan membeli beberapa makarun, lalu menuju Starbucks dan memesan kapucino panas ukuran grande. Jika cuaca sedang bersahabat, saya akan memilih kursi bagian luar kedai dan menunggu detik-detik matahari tenggelam. Percaya atau tidak, saya belum pernah menyaksikan pemandangan matahari tenggelam seindah di Southern Cross. Apalagi ditemani pahitnya kopi dan manisnya makarun. Jika saya berkesempatan untuk kembali, saya sudah pasti akan melakukan aktivitas menunggui petang yang beralih menjadi senja di sini.

Momen paling menyedihkan adalah ketika saya hendak pulang ke Indonesia. Saya sengaja untuk datang 15 jam sebelum penerbangan hanya untuk menikmati Southern Cross. Saya tiba di sana sekira pukul 19.00 dan langsung menuju longue. Ada yang berbeda hari itu; saya tidak bersama teman-teman. Hanya saya, Southern Cross, dan hiruk pikuk di sekitar saya.

Merasa sedih? Tentu saja. Beberapa kali saya mengelilingi stasiun kesayangan ini sembari menahan tangis agar tidak membludak. Musim panas sudah datang saat saya akan pulang ke Indonesia. Suhu tidak lagi dingin seperti biasanya. Saya tidak mengenakan jaket tebal andalan, tetapi saya merindukan pelukan-pelukan bersama teman. Malam semakin larut dan kenangan-kenangan meluap tanpa ampun.

Ah, stasiun kesayangan saya semakin senyap.

Dua buah kursi pijat tak beroperasi, tetapi dua orang menjadikannya tempat tidur.

Kursi tunggu sudah tak berpenghuni.

Kereta-kereta terlelap di lajurnya masing-masing.

Tak ada suara pemberitahuan apa pun yang biasanya menggema di berbagai sudut stasiun.

Tak ada teman-teman yang biasanya meramaikan suasana.

Hanya saya, orang-orang yang terlelap, dan Southern Cross yang lengang.

Saat jadwal keberangkatan saya semakin dekat, saya beranjak menuju terminal bus. Mata saya menyerah untuk membendung tangisan. Seorang petugas memeriksa tiket saya sembari tersenyum.

"Come back to your country?"

Saya mengangguk sambil menyeka beberapa air mata yang berjatuhan.

"This place will always wait you to come back, you know?"

Saya pun tertawa sembari menyetujui ungkapannya. Sebelum menaiki bus, saya hirup udara sedalam-dalamnya dan memanjatkan doa agar saya bisa kembali ke rumah saya ini.

Pernahkah kamu merasakan suatu hubungan yang kuat dengan sebuah tempat? Merasa tempat tersebut adalah titik nyaman dan aman untuk dirimu?

Saya pernah dan masih memiliki perasaan itu terhadap stasiun utama di pusat kota Melbourne.

Till we meet again, Southern Cross!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar