Senin, 23 Desember 2019

Untuk Papah

Sumber: doitbeforeme.com


Selamat ulang tahun, Pah.
20 Desember ketujuh puluh semenjak kaulahir.
20 Desember ketujuh semenjak kaupergi.
Dan aku belum biasa dengan panggilan tanpa jawab.

Selamat ulang tahun.
Aku merayakan kelahiranmu
dengan terbang melampaui langit
seperti yang selalu engkau inginkan.

"Syukran, sudah nelepon Papah. Mendoakan Papah."

"Sama-sama, Pah. Sampai jumpa di rumah."

"Iya, sampai jumpa."

Pah, rumah mana yang kaurujuk sebenarnya?

Selasa, 17 Desember 2019

Terfavorit Tahun Ini


Nyaris selesai!

2019 sudah memberikan pengalaman yang luar biasa. Tentu saja, tulisan ini tidak akan membahas pengalaman saya yang luar biasa menyenangkan dan memusingkan. Biarkan tulisan beberapa hari lalu yang mengisahkan segala liku-liku kehidupan yang sudah saya lalui selama setahun ke belakang. Tulisan ini akan menceritakan karya-karya yang saya nikmati pada tahun ini; film, acara teve, lagu, buku, dan album musik!

FILM
  1. Kucumbu Tubuh Indahku (Sut. Garin Nugroho)
  2. Dua Garis Biru (Sut. Gina S. Noer)
  3. Joker (Sut. Todd Phillips)
  4. Gundala (Sut. Joko Anwar)
  5. Midsommar (Sut. Ari Aster)
ACARA TEVE
  1. The Politician (Netflix)
  2. The Durrells (ITV)
  3. Elite (Netflix)
  4. Sex Education (Netflix)
  5. Marriane (Netflix)
LAGU
  1. Ben Platt - Grow As We Go
  2. Ben Platt - Ease My Mind
  3. Billie Eilish - all the good girls go to hell
  4. Finneas - Let's Fall in Love for the Night
  5. Kygo feat Whitney Houston - Higher Love
ALBUM
  1. Ben Platt - Sing to Me Instead
  2. Rich Brian - The Sailor
  3. Billie Eilish - When We All Fall Asleep, Where Do We Go?
  4. Harry Style - Fine Line
  5. Dermot Kennedy - Without Fear
BUKU
  1. Amanda Margareth - Museum dan Kita
  2. Ibe S. Palogai - Struktur Cinta yang Pudar
  3. Iain S. Thomas - I Wrote This For You, Just The Words
  4. Bernard Batubara - Residu
  5. Shaun Bythell - The Diary of A Bookseller
Apa karya terfavorit kamu tahun ini?

Senin, 16 Desember 2019

Menjadi Perempuan: Sebuah Tulisan Subjektif

.... Ia tidak bisa berpura-pura. Malah sekali waktu menolak terhadap paksaan 'berpura-pura suci', 'pendiam dan penurut' seperti wanita-wanita feodal lainnya, bahkan mengatakan bahwa 'dalam setiap jaman ada saja gadis-gadis yang berontak". Tentu saja ia memasukkan diri dalam barisan gadis jamannya yang berontak. (Pramoedya Ananta Toer - Panggil Saja Aku Kartini)

Sebelum Anda membaca tulisan ini, alangkah lebih baik jika Anda memahami bahwa penulis berjenis kelamin laki-laki. Tulisan ini merupakan hasil pengamatan terhadap kehidupan anggota keluarga dan para sahabat yang harus mengikuti narasi perempuan baik yang ditentukan oleh masyarakat. Tentu saja, penulis tidak bisa merepresentasikan seluruh pengalaman yang menjadi momok bagi para perempuan. Oleh karena itu, penulis memohon maklum atas kekurangan informasi yang didapatkan. Namun para pembaca perlu memahami satu hal: Ada yang perlu diluruskan dengan cara pandang kita terhadap para perempuan.

Terlahir di tengah keluarga yang didominasi oleh perempuan membuat saya terbiasa dengan aturan hidup mereka. Saya memiliki lima kakak perempuan yang semuanya dididik menjadi perempuan anggun yang sesuai dengan ekspektasi masyarakat. "Perempuan yang baik itu, ya, harus mau bangun lebih pagi, belajar memasak, rajin beres-beres rumah, dan harus bisa pasang senyum paling manis," ujar Ibu sembari sibuk mengatur nyala api di kompor, entah berapa tahun silam.

Ibu adalah salah satu korban patriarki yang enggan anaknya untuk dicemooh oleh masyarakat, tetapi meyakini bahwa semua anaknya harus diajarkan menjadi manusia baik tanpa dilihat gendernya. Akhirnya, Ibu selalu membangunkan saya dan kakak laki-laki saya pada waktu yang sama dengan para perempuan di rumah. Kami belajar memasak bersama. Membagi tugas untuk beres-beres rumah; kadang saya membersihkan selokan, kadang juga saya mencuci piring. Ibu juga menceramahi saya dan kakak laki-laki agar bisa menjadi orang yang selalu tersenyum.

Saya sempat menyatakan pada tulisan saya sebelumnya bahwa menjadi laki-laki adalah pekerjaan yang berat. Sekarang saya menyadari bahwa menjadi perempuan memiliki level kesulitan yang sama saja. Ada ekspektasi masyarakat yang harus mereka penuhi agar terbingkai sebagai perempuan baik-baik. Realisasi ini bermuara pada sebuah simpulan yang saya petik bahwa menjadi manusia itu sederhana dan mudah, tetapi ekspektasi masyarakat mempersulit keadaan.

Hak Milik: Cobb Shinn
Tiga kata yang menempel pada masyarakat mengenai peran perempuan adalah sumur, dapur, dan kasur. Sebuah pemikiran kuno yang sudah seharusnya tidak dijadikan patokan pada kehidupan perempuan. Menjadi perempuan seutuhnya itu bukan masalah apakah dia bisa memasak atau menimang anaknya hingga terlelap. Bukan hanya masalah dia bisa mencuci baju dengan bersih atau tidak. Apa lagi hanya dilihat dari sebaik apa performa dia di atas kasur. Menjadi perempuan adalah memberikan kebebasan mutlak kepada mereka untuk menjadi apa pun yang diinginkan. Tanpa perlu dilabeli oleh orang lain.

Ibu saya bernama Lastri. Kependekan dari Sulastri. Sejak saya kecil, saya jarang sekali mendengar tetangga memanggil beliau sebagai Bu Lastri. Mereka memanggil beliau dengan sapaan Bu Parman yang mana Parman merupakan panggilan ayah saya. Ibu juga kerap dipanggil dengan sapaan Mamah Zainal. Namanya luntur seiring waktu berjalan. Tentu saja, fakta ini tidak terjadi kepada semua orang. Banyak pula perempuan yang diingat dengan namanya sendiri. Namun, banyak perempuan yang namanya terlupakan. Namanya disimpan di kartu identitas dan terpaksa disenyapkan oleh masyarakat sekitar yang menganggap peran suaminya lebih signifikan.

Saya melihat dan merasakan bahwa laki-laki memiliki privilese dalam melakukan banyak kegiatan. Dalam ranah personal, laki-laki memiliki kebebasan dan berbagai pemakluman yang diberikan oleh masyarakat. Pulang malam bukanlah sebuah masalah. Berkata kasar bukanlah sebuah tabu. Mengekspresikan perasaan kepada perempuan adalah sikap yang jantan. Semuanya dilabeli sebagai realisasi sifat maskulin yang, katanya, dimiliki laki-laki sejak mereka dilahirkan.

Perempuan pulang malam? Langsung dihakimi sebagai perempuan nakal dan tidak bisa menjaga nama baik seorang perempuan.

Perempuan berkata kasar? Langsung dicemooh karena dianggap sebagai perempuan yang tidak layak dipanggil perempuan.

Perempuan mengekspresikan cintanya? Langsung dicap sebagai perempuan gatal, gampangan, dan tidak memiliki harga diri.

Saya memiliki seorang teman perempuan yang sudah menikah. Dia mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi beasiswa agar bisa berkuliah di luar negeri. Saat mengikuti seleksi wawancara, salah satu pewawancara bertanya kepada teman saya.

"Kamu diizinkan sama suami atau enggak?"

Teman saya tersenyum saat menceritakan pengalamannya tersebut. Dia tahu bahwa dalam perspektif religi yang ia anut, peran seorang suami cukup sentral dalam menentukan keputusan. Namun, pertanyaan yang dilontarkan pada saat wawancara beasiswa tersebut mencirikan sebuah realita di mana pendidikan perempuan yang telah berumah tangga seolah-olah perlu ditentukan oleh suami. Seolah-olah perempuan tidak bisa berpikir matang untuk menentukan masa depannya. Seakan-akan pihak laki-laki lebih bisa berpikir adil, netral, dan masuk akal.

Saat dinyatakan lolos seleksi, teman saya dihadapkan lagi dengan pernyataan dan pertanyaan pedas dari teman perempuannya.

"Suaminya mau ditinggal, toh? Apa enggak sebaiknya ngurus suami aja di rumah?"

"Kamu tuh udah seharusnya berbakti sama suami."

Sebuah bukti konkret bahwa pola pikir patriarki bukan hanya dimiliki oleh laki-laki, tetapi para perempuan yang mengamini kredo perempuan baik ya perempuan yang manut sama suami. Ujaran-ujaran tersebut sempat membuat teman saya meragukan pilihan yang telah ia perjuangkan, tetapi beruntung sekali suaminya bisa meyakinkan teman saya. Walhasil dia berangkat ke kampus impian dan menggapai cita-citanya.

Kita memasuki sebuah masa di mana perempuan sudah banyak yang mendobrak pemikiran lawas ihwal perannya di mata masyarakat. Mereka enggan untuk dikurung di dalam kotak yang mematok peran laki-laki dan perempuan. Sebenarnya, tidak ada yang salah jika seorang perempuan ingin menjadi istri yang menetap di rumah dan bekerja dalam ranah domestik selama itu adalah salah satu caranya untuk mengembangkan diri. Tidak masalah jika laki-laki mau bekerja dan meraih jabatan tinggi selama itu juga untuk mengembangkan diri. Peranan tradisional itu tidak akan bermasalah jika mereka tidak merasa dirugikan sama sekali dan melakukannya dengan sukarela.

Hal yang salah, menurut saya, adalah ketika mereka melakukan itu untuk memenuhi peranannya yang diciptakan oleh pola pikir eksternal, bukan keinginannya masing-masing.

Nampaknya, kita membutuhkan lebih banyak ikon perempuan yang berani merombak stigma perempuan baik. Para perempuan yang mampu membuktikan bahwa mereka berhak dan bisa menjadi apa pun yang mereka mau tanpa dibatasi oleh siapa pun. Para perempuan yang satu sifat dengan Kartini; gadis pemberontak yang enggan berpura-pura suci. Perempuan tangguh yang berani mengambil keputusan dan tahu apa yang baik untuk dirinya sendiri. Perempuan yang berani mendefinisikan ulang peranannya sesuai dengan kepercayaan, kemampuan, dan keinginannya.

Salam hormat saya untuk seluruh perempuan.

Minggu, 15 Desember 2019

Terima kasih, 2019!

Sumber: thenletitbe.tumblr.com

Jika saya diminta untuk mendeskripsikan 2019, saya akan mengatakan bahwa tahun ini adalah hasil penggabungan seluruh emosi. Saya meyakini bahwa setiap tahun akan menghadirkan sebuah tantangan tersendiri dengan proses mendewasakan yang berbeda. Namun, saya tidak percaya 2019 akan menyuguhkan sebuah hantaman pengalaman hidup yang cukup keras dan saya menikmati semuanya.

Ada banyak hal yang terjadi pada 2019 dan semuanya memiliki porsi masing-masing dalam menghiasi kehidupan saya. Ada yang menyakiti, ada yang membahagiakan. Ada yang menciptakan air mata, ada yang mengukir senyuman. Ada yang membuat saya minum pil tidur, ada pula yang membuat saya minum kopi dengan dosis tinggi. Semuanya sama saja; membuat saya sadar betapa hidup ini selalu baik dan memberikan sebuah pembelajaran yang tidak ternilai.

Seperti biasa, saya ingin mengapresiasi hal-hal dan pribadi-pribadi yang membantu saya bermetamorfosis ke dalam bentuk yang lebih matang.

Duta Bahasa
Semenjak kepulangan saya dari Australia, saya memilih untuk aktif kembali di duta bahasa. Kembali ke rumah yang sangat ingin dikunjungi selama saya di Warrnambool. Keputusan ini sangatlah tepat karena proses belajar di sini sangatlah berbasis kekeluargaan. Saya merasa manajemen organisasi saya jauh lebih baik daripada sebelumnya dan semuanya karena duta bahasa. Terima kasih untuk seluruh orang-orang di dalamnya yang sudah mau menerima, mengajarkan, mendampingi, dan memberikan masukan kepada saya. Untuk semua julid yang dilontarkan dan senyum yang disebarkan, saya ucapkan terima kasih!

Sing to Me Instead-nya Ben Platt
Nonmanusia, memang. Album perdana Ben yang dirilis pada Maret 2019 ini menemani perjalanan hidup saya sepanjang tahun ini. Nyaris seluruh lagu di dalamnya memotret kehidupan saya dengan sangat baik. Serasa Ben menyanyikan lagu tersebut hanya untuk saya. Menarasikan kehidupan saya dengan suaranya yang luar biasa merdu. Terima kaish, Ben!

You won't be the only one.
I am unfinished, I've got so much left to learn.
I don't know how this river runs.
But I'd like the company through every twist and turn.

Rinumangsa
Saya bersyukur bisa mempertahankan blog ini ketika seluruh pengalaman blog saya tidak pernah lebih dari satu tahun. Walaupun saya masih belum konsisten dalam menulis di blog, tetapi keputusan untuk tidak melakukan pemasifan blog ini adalah sesuatu yang tepat. Saya bisa kembali mengunjungi kenangan-kenangan yang saya abadikan dalam bentuk tulisan. Rinumangsa sudah saya urus layaknya anak saya sendiri. Terdengar berlebihan, tetapi saya benar-benar memperlakukan blog ini dengan hati-hati. Terima kasih Rinumangsa! Mari kita sebarkan lagi pengalaman hidup lainnya tahun depan!

Vera dan Vena
Duo Sumanta yang cukup mewarnai kehidupan saya. Kami jarang sekali bertemu tahun ini karena (kebanyakan) saya sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan. Berkali-kali membuat janji, berkali-kali pula harus atur jadwal ulang. Pertemuan kami masih bisa dihitung dengan jari. Apa pun yang terjadi, saya mensyukuri keberadaan mereka tahun lalu, tahun ini, dan tahun-tahun selanjutnya.

Teh Ver, Ven, thank you so much. Melbourne sounds perfect for us. Should we?

Prambanan Jazz 2019
Menyaksikan konser dengan latar kemegahan Candi Prambanan adalah sebuah pengalaman yang sulit dilupakan. Saya ikut menari bersama ratusan penonton saat GAC menyenandungkan Bahagia, menangis saat You Are The Reason dinyanyikan oleh Calum, sebal karena tidak bisa berdiri paling depan pas bagian Tulus, dilatih riffs and runs Cinta dan Rahasia oleh Teh Yura, dan bernostalgia bersama Yovie and Friends. Semuanya benar-benar masih terkenang di dalam pikiran dan memori ponsel. Terima kasih sudah menemani perjalanan menuju-dan-kembali yang penuh kegemasan, Teh Uli!

Menjadi pewara
Adalah sebuah kebanggaan sekaligus kengerian tersendiri saat Bu Ade, mamahnya para dubas, meminta saya untuk menjadi pewara pada kegiatan Gerakan Literasi Nasional. Pertama, saya tidak memiliki rekan pewara yang berarti saya akan berdiri di depan khalayak dan memandu kegiatan sendirian. Kedua, saya belum pernah bertugas sebagai pewara pada kegiatan akbar dan bertamu penting seperti GLN 2019. Ini adalah pengalaman pewara pertama saya. Pada saat kegiatan selesai, saya merasa bangga pada diri sendiri karena tidak pingsan di depan para tamu dan tidak mengalami serangan panik. Terima kasih, Bu Ade! Terima kasih, Balai Bahasa Jawa Barat!

"Kamu kayaknya duta bahasa paling gondrong," ujar Pak Dadang, Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, saat saya berpamitan dengan beliau.

Baik, saya akan segera cukur rambut.

Mencoba untuk menjadi vegetarian
Tentu saja, keputusan ini adalah sesuatu yang sangat sulit direalisasikan. Berawal dari menonton sebuah film dokumenter dan berakhir dengan keputusan menjadi vegetarian.

Sulit direalisasikan? Ya, karena saya masih sering tergoda dnegan kenikmatan daging ayam. Banyak pula yang mengkritik dan tidak mendukung keputusan saya untuk menjadi seorang vegetarian. 

Namun, saya sudah satu bulan penuh tanpa mengonsumsi daging. Sebuah pencapaian!

Les IELTS
Awal tahun 2019 saya meyakinkan diri untuk mengikuti seleksi beasiswa LPDP. Setelah menentukan disiplin ilmu yang saya inginkan dan kampus yang sesuai, walhasil saya mulai les IELTS. Saya sadar diri. Kemampuan berbahasa Inggris saya belum mumpuni dan perlu banyak dilatih. Saya dan Erma belajar bersama di salah satu lembaga pelatihan. Namun, pada akhirnya Erma mendaftar LPDP duluan dan saya harus memendam mimpi terlebih dahulu karena a) kampus yang saya inginkan tidak masuk daftar universitas mitra dan b) saya belum siap melaksanakan IELTS. 
Terima kasih, diri sendiri dan Erma! 

Berwisata ke Yogyakarta bersama SR Primagama
Perjalanan bersama seluruh staf Sekolah Rumah Primagama ke Yogyakarta pada Maret 2019 benar-benar mendefinisikan makna kekerabatan. Sebangku dengan Erma, memperhatikan Teh Uni yang memeragakan adegan film Munafik, dan merekam Pak Abay yang sedang bergoyang dengan Pak Uut adalah beberapa kebahagiaan yang saya rasakan selama berwisata ke Yogyakarta. Terima kasih, SR Primagama!

Semua film bagus
Saya bahagia sekali karena tahun ini saya bisa mengapresiasi cukup banyak mahakarya para sineas. Dimulai dengan Keluarga Cemara pada awal tahun hingga Last Christmas beberapa hari yang lalu. Saya merasa banyak belajar dari kisah-kisah para karakter dan keinginan saya untuk menjadi seorang penulis naskah semakin kuat. Film Indonesia favorit saya adalah Kucumbu Tubuh Indahku, Dua Garis Biru, Gundala, dan Perempuan Tanah Jahanam. 

1.814 km
Tak perlu saya jelaskan secara rinci, tapi jarak ini benar-benar mengenalkan saya pada cinta dan patah hati yang sebenarnya. Untuk seluruh panggilan pada malam hari, ucapan selamat pagi di Whatsapp, aroma parfum yang menguar hingga saat ini, dan mimpi saya yang perlu diredam serta mimpimu yang akan terus dilanjutkan; saya ucapkan terima kasih.
Aku mendoakan kebahagiaan selalu mendampingi kehidupanmu.

Secara garis besar, saya bersyukur masih bisa bertahan, bernapas, dan menikmati perjalanan kehidupan yang lir ibarat menaiki sebuah roller coaster. Saya tidak sabar untuk menyelami dan memaknai 2020.

Bagaimana kehidupan kalian? Baik-baik saja?

Sabtu, 07 Desember 2019

Tanpa Filter: Billiansyah Abdillah Corna

Billiansyah Abdillah Corna, dari aktor teater SMA hingga pewara Aniversaeed 2019, memaparkan perspektifnya ihwal riasan wajah dan perawatan kulit.


Satu hal yang paling menguar saat bertemu dengan Billy (selain aroma parfumnya) adalah energi positif yang selalu ia berikan kepada orang di sekelilingnya. Tak jarang, energinya memenuhi satu ruangan kafe dan membuat pelanggan kafe lain melirik ke arahnya. Itu yang terjadi saat saya memutuskan untuk bertemu Billy di Upnormal Ciwalk. Baru juga lima menit ia sampai, celotehannya sudah mampu mengisi ruangan. Namun, siapa yang bisa menolak untuk menyimak antusiasme seseorang seperti Billy?

Billy sudah saya incar sejak tahun lalu.

Baik, kalimat itu terdengar aneh dan cenderung bernada seperti pembunuh berantai.

Proyek tulisan ini sudah saya rencanakan sejak tahun lalu. Saya merasa topik makeup and skincare di kalangan lelaki perlu mulai dibicarakan agar ketabuannya memudar dan Billy adalah figur tercocok untuk saya wawancarai. Sebenarnya saya sudah melakukan tanya jawab dengan Billy via Whatsapp tahun lalu, tetapi saya merasa ada yang kurang. Saya membutuhkan tatap langsung agar bisa memahami setiap ujaran yang Billy lontarkan. Saya dan Billy sepakat dalam satu hal; topik ini perlu dibahas dan banyak lelaki perlu disadarkan ihwal kepentingan merawat kulit.

Sembari menyeruput Aftenoon Boost (yang menurut saya luar biasa aneh), dia mengatakan bahwa 2014 adalah titik awal dari pengenalannya dengan riasan wajah (makeup). Saat itu, Billy diberikan kesempatan untuk menjadi pewara pada sebuah kegiatan Pentas Seni di sekolah. Dia merasa terintimidasi karena wajahnya bukanlah tipikal wajah yang layak dijadikan sebagai seorang pewara. "Dari segi fisik, banyak lah yang lebih pantas untuk jadi pewara," ujar Billy sambil memainkan sedotannya.

Walhasil, Billy mulai berkenalan dengan riasan wajah untuk meningkatkan rasa percaya dirinya. Dia mulai menggunakan lipstik karena merasa bibirnya sangat pucat. Merasa tidak cukup, Billy berkenalan dengan konsep shading. Lama-kelamaan, dia menggunakan seluruh riasan wajah untuk membuat dirinya lebih percaya diri.

"Belajar dari tutorial YouTube kayak video-videonya Jeffree Star," kata Billy saat ditanya ihwal di mana ia belajar merias wajah.

Billy juga mengakui bahwa dia cukup gentar saat ia harus membeli produk kecantikan. Walhasil, ia kerap mengajak temannya untuk berbelanja dan membelikan barang-barang yang ia butuhkan. Saat ditanya mengapa ia enggan membeli produk kecantikan sendirian, sempitnya pemahaman masyarakat ihwal topik ini adalah alasannya. Billy berkelakar bahwa ia bukanlah siapa-siapa. Jika seorang aktor kawakan berbelanja bedak, mungkin hal tersebut akan sangat lumrah. Namun, Billy yang membeli bedak? Billy yang bukan siapa-siapa? Tentu saja akan sangat aneh.

Saya hanya tertawa mendengar ucapan Billy. Bukan karena saya mengamini Billy bukan siapa-siapa. Saya menertawakan perspektif masyarakat yang menabukan hal-hal sederhana seperti riasan wajah.


Beruntung sekali Billy memiliki lingkungan pertemanan yang suportif, begitu pun keluarganya. Walaupun pada awalnya pihak keluarga mempertanyakan urgensi penggunaan produk kecantikan yang ia beli, tetapi mereka menerima pilihan Billy saat melihat ia menggunakan produk tersebut untuk pekerjaan. Selain itu, Billy juga memiliki seorang kakak yang mempelajari kecantikan secara akademis. Walhasil, ia sering menanyakan keamanan sebuah produk kepada kakaknya.

"Kalau menurut kamu, gimana sih pandangan laki-laki terhadap makeup sama skincare akhir-akhir ini?" 

Billy mengunyah mi instan yang ia pesan untuk beberapa saat, lalu menjawab pertanyaan yang saya berikan. "Sedih, sih. Aku tuh sekarang lagi coba menyampanyekan kesadaran untuk merawat kulit. Bukan hanya buat laki-laki, tapi perempuan juga."

Menurut Billy, perspektif masyarakat yang menganggap kosmetik dan skincare hanyalah urusan wanita saja perlu diluruskan. Laki-laki juga diperkenankan menggunakan sesuai dengan kebutuhan. Jika riasan wajah itu meningkatkan percaya diri, mengapa kita harus melarangnya untuk menggunakan riasan wajah?

Bukan maksud untuk mendiskreditkan Indonesia, tetapi Billy menginginkan penerimaan terhadap pilihan pribadi seterbuka Australia. Saya dan Billy menyetujui satu hal; kerap kali masyarakat Indonesia memilih untuk menghakimi keputusan hidup seseorang secara verbal, sedangkan warga Australia bersikap lebih toleran. Kesadaran untuk mengurus kulit itu harus dianggap sesuatu yang lumrah. Seorang lelaki dilarang untuk diintimidasi ketika ia mengenakkan riasan wajah atau merawat kulitnya.


Penasaran, saya bertanya tips saat menggunakan riasan wajah kepada Billy. Tanpa pikir panjang, ia menjawab, "Makeup itu pada dasarnya untuk menutupi atau mengisi kekurangan, kalau semisal sudah merasa cukup ya gak perlu menggunakannya berlebihan. Tapi kalau kamu mau pakai untuk kesenangan, ya silakan. Asal bisa merawat kulit saja."

Billy, penggemar Maria Rahajeng garis keras, juga memberikan beberapa pantangan saat menggunakan produk perawatan kulit;
Pertama, jangan pernah memikirkan sesuatu yang kompleks. Bentuk muka dan kebutuhan kulit setiap orang itu berbeda. Jadi, alangkah lebih baik jika seseorang tahu dulu tujuan dan jenis kulitnya sendiri sebelum menggunakan produk perawatan.
Kedua, pakai yang kamu butuhkan. Jika kamu butuh pencuci muka antiminyak, ya pakai produk yang tepat. Jangan langsung membeli sesuatu yang marak atau populer digunakan oleh masyarakat.
Ketiga, mulai dengan produk yang murah. Siapa tahu produk itu cocok dengan kulitmu!
Keempat, bersabar! Jangan menuntut hasil yang maksimal dalam waktu yang minimal. Semuanya butuh waktu, begitu pun kulitmu!

Saat menutup wawancara, Billy mengatakan bahwa 2017 adalah momen di mana ia menyadari bahwa makeup yang ia butuhkan itu berasal dari dalam dirinya. Dia menyadari bahwa dulu ia memberikan tekanan untuk dirinya sendiri. Dia merasa perlu menggunakan makeup agar bisa tergabung dalam sebuah kelompok sosial tertentu.

Momen di mana ia merasa cukup adalah ketika seorang murid berkata kepada Billy, "Aku pengen bisa hebat kayak Kak Billy."

Sebuah pandangan sederhana terhadap prestasi yang telah Billy torehkan, bukan fisik yang ia tutupi dengan makeup. Tak aneh, memang. Billy yang memiliki sejumlah prestasi memang layak dijadikan seorang idola. Kepiawaiannya dalam memandu sebuah acara hingga pengalamannya mengikuti sebuah program pendidikan di Australia membuatnya dikagumi oleh banyak orang. Ucapan muridnya lir sebuah alarm bagi Billy untuk lebih membenahi kualitas dalam dirinya daripada terus-menerus menggunakan makeup sebagai sebuah tameng.

"I am beautiful just the way I am," pungkas Billy di pengujung wawancara kami.

"Hell yeah you are."

*****

Seluruh foto pada tulisan ini adalah hasil jepretan Megantara Wildan Triyana.
Diunggah setelah mendapatkan persetujuan pihak pemotret.

Asumsimu


Beberapa hari yang lalu, saya mengunggah fitur pertanyaan di Instastory. Menanyakan asumsi teman-teman Instagram tentang diri saya. Sebagian asumsi membuat saya terkaget, ada pula yang sempat membuat saya terbahak. Tak sedikit pula yang mengisi fitur tersebut dengan hal-hal retoris, seperti gondrong, Saiful, dan lain-lain. HAHA

Izinkan saya mengonfirmasi asumsimu satu-satu.

Pendiam
Saya mengakui jika pendiam adalah satu label paling sering diberikan oleh orang lain kepada saya. Jika dibandingkan dengan teman-teman lain, mungkin saya lebih diam daripada mereka. Khususnya saat pertama kali bertemu atau saya tidak terlalu akrab dengan seseorang, saya akan memilih untuk diam dan menjadi penyimak sejati. Namun jika kita mengenal satu sama lain, saya tidak sependiam yang kalian kira, ko.

Sombong banget
Banyak yang berasumsi jika saya adalah orang yang sombong. Merasa kurang mendeskripsikan kesombongan saya, beberapa menambahkam banget untuk menekan maknanya. Apakah wajah saya sejemawa itu?
Saya mengira asumsi ini berasal dari wajah rehat saya yang terlampau menakutkan atau memicu kesebalan bagi orang lain. Namun, saya tidak sombong.
Asli.

Garang
Antara bangga sama enggak diasumsikan sebagai orang garang....

Kreatif
Saya selalu berusaha untuk menjadi orang kreatif. Ketika ada yang berasumsi bahwa saya adalah orang kreatif, wow senang sekali!

Emosian?
Ya, tanda tanya itu berasal dari penulisnya langsung. Saya langsung mengonfirmasi bahwa saya memang mudah sekali emosi. Jika ada teman saya yang lambat dalam mengerjakan sesuatu, saya sering memendam emosi. Saat ada yang berjalan sangat lambat, saya juga sering marah. Padahal saya juga kerap lambat dalam mengerjakan sesuatu.

Suka banget nulis
YA. Sejak duduk di bangku SD, saya suka sekali menulis dan genre favorit saya pun berubah-ubah seiring berkembangnya bahan bacaan saya. Komik adalah jenis tulisan yang saya buat saat SD, walaupun saya sangat tidak jago menggambar. Kerap kali teman saya yang menggambar ilustrasi untuk cerita yang saya tulis. Genre saya bergeser saat saya memasuki fase SMP. Saya suka sekali menuliskan cerita hantu. Awalnya, saya menulis untuk mengaktualisasikan hobi saja, tetapi lama-kelamaan saya menulis karena banyak orang yang suka tulisan saya. Bahkan para perundung!
Pernah suatu hari, salah satu perundung mendekati saya sembari meminta buku cerita. Dia mengancam akan memukul saya jika saya tidak memberikan buku cerita saya. Ancaman yang sangat menyentuh, kan?
Saya menulis berbagai kisah romantis saat mencapai titik SMA dan kuliah. Komitmen untuk menerbitkan novel dengan genre drama romantis pun mulai menguar, walaupun hingga detik ini tidak terealisasikan.

Suka harkos sama cewek
Hm.
Ternyata ada yang menganggap saya suka memberikan harapan kosong bagi para perempuan. Mari kita bahas tentang asumsi ini.
Saya mempunyai banyak sekali teman perempuan. Bahkan lebih banyak daripada teman laki-laki. Lebih banyak.
Saya sangat mudah memberikan afeksi dalam bentuk apa pun; menanyakan kabar, memeluk, dan memberikan perhatian lebih. Kepada siapa pun; laki-laki ataupun perempuan. Apa alasannya? Sekadar menunjukkan bahwa saya menyayangi mereka. Ternyata, konsep menyayangi orang itu perlu dibatasi dan tidak diobral terlalu berlebihan karena sangat berisiko untuk disalahartikan. Walhasil, asumsi Zain Si Pemberi Harkos pun kerap menyebar dan banyak orang yang mengingatkan saya untuk tidak memberikan harapan kepada para perempuan.
Selain itu, banyak pula orang yang enggan diberikan perhatian karena mereka sudah merasa cukup diperhatikan. Layaknya mereka akan overdosis dan mati jika diberikan afeksi berlebihan.
Baik, warganet dan teman nyataku. Saya turuti keinginan kalian. :))

Suaranya bagus
Di kamar mandi? Saya suka merasa berhasil menyanyikan lagu apa pun.
Di luar kamar mandi? Saya harus berusaha agar suara yang diproduksi layak-dengar dan tidak mengganggu tetangga.

Gak pernah saltik
Salah besar.
Jempol besar ini adalah biang kerok dari semua saltik yang pernah saya buat.
Bahkan saya sempat mengirimkan pesan kepada dosen: Saya diberi tahi oleh pihak jurusan....
Dosen saya hanya membalas: Kala dikasih tahi jangan pernah terima.

Kalau nonton animasi pasti tidur
Ini adalah sebuah fakta. Saya jarang menonton film animasi, fiksi sains, atau ciat-ciat (yang sebenarnya adalah film aksi atau laga) karena itu terlalu membosankan. Satu-satunya film animasi yang saya nikmati dan tonton secara keseluruhan adalah Spiderman into the Spider Verse.
Sisanya? Selamat tidur!

Lebih suka Midsommar daripada Hereditary
Salah. Saya lebih suka Hereditary daripada Midsommar.
Toni Collette? Siapa yang bisa menyaingi tangisan beliau di Hereditary? Atau antukan kepalanya? Atau permainan emosinya?

Sedang berbahagia
Ah, tentu saja.
Semoga kebahagiaan juga selalu memelukmu.