Nadine Karenina on Pinterest |
Sepuluh dari tiga puluh satu
Kadang aku sebal pada perasaan yang tak mampu mengontrol diri untuk tidak mudah jatuh cinta pada seseorang. Terlebih seseorang yang kumaksud adalah kamu. Pertama kali menatap bola matamu yang kukira beriris hitam, aku bisa merasakan separuh bahagiaku mengendap di sana. Kamu mengundang telapak tanganku untuk berjabat. Seketika, aku merasa semua makhluk di ruangan lenyap entah ke mana dan kupu-kupu membludak dalam perutku. Aku menyambut jabatanmu sembari menyisipkan senyum dan menahan getar yang merajai telapak tanganku.
Semenjak pertemuan pertama itu, aku menandai tanggal-tanggal di kalender yang berpotensi mempertemukan kita. Tanggal merah, tanggal rapat organisasi, tanggal kegiatan akbar, hingga akhir pekan yang mana jadwalmu pulang kampung. Tak ada yang terlewatkan satu pun.
Jika waktu yang kutandai sampai, aku akan mematut diri di hadapan cermin sembari berlatih tersenyum. Aku dengar kamu menyukai manusia yang pandai memasang senyum secukupnya. Oleh sebab itu, aku berlatih agar bisa tersenyum sesuai dengan takaran yang kaumaksud. Jika pertemuan kita belum dikabulkan oleh Tuhan, maka aku simpan kembali senyuman itu untuk masa depan. Lihat, aku adalah sosok yang optimis. Apalagi masalah mendekatimu.
Namun, ada waktu yang mana kamu dan aku berada di bawah atap yang sama. Kamu bercengkerama dengan teman-temanmu untuk melepas rindu dan aku menahan detak jantung agar tidak bertempo terlalu ngebut. Selain optimis, aku adalah pecundang paling ulung. Apalagi masalah mendekatimu. Aku berharap kamu menatapku terlebih dulu, lalu mendekat dan kembali menjabat tanganku. Itu pun sudah sangat cukup. Atau jika kamu memang memutuskan untuk berbicara denganku, tentu saja aku akan bersedia mendengarkan. Ceritakanlah apa-apa yang membuatmu jengkel di tanah rantau atau betapa pekerjaanmu menuntut untuk mendekam di dalam ruangan seharian. Aku siap mendengarkan.
Empat paragraf ini bertaburan kata jika. Menyedihkan sekali.
Pernah suatu waktu saat kita telah menciptakan banyak pertemuan, namamu muncul di layar ponselku diiringi dering panggilan masuk. Aku gugup tak kepalang. Beberapa kali aku latih suaraku agar tak terlalu gemetaran. Mengujarkan satu kata halo saja membuat perut saya mulas. Akhirnya, aku beranikan untuk menjawab panggilanmu.
Kamu bertanya keberadaanku.
"Aku lagi di indekos. Ada apa?"
Kamu meminta alamat indekosku dan, Tuhan, aku merasakan gempa kecil menggerayangi tubuhku.
"Aku butuh teman ngobrol malam ini. Boleh?"
Aku menjawab pertanyaan itu terlalu lekas. Kamu akan mengobrol denganku, apa yang harus aku pikir panjang?
"Aku berangkat sekarang."
"Hati-hati di jalan," ujarku sungguh-sungguh.
Sesampainya di indekosku, kamu langsung mengisahkan seseorang yang sedang mengisi rongga hatimu. Aku menyimak setiap tutur yang meluncur dari bibir itu walau retak-retak kecil mulai bermunculan dalam diriku sendiri. Detik-detik selanjutnya kamu mengakui bahwa ia memutuskan untuk merenggang denganmu dengan alasan jarak dan waktu. Aku, sebagai seorang pendamba, tentu saja melecehkan alasan renggang macam itu. Terlalu kekanak-kanakan.
Aku tidak akan meminta putus hanya karena jarak dan waktu. Mau memberikanku kesempatan?
Kecurigaanmu memuncak pada orang tersebut dan mendakwanya telah mendua darimu. Aku berusaha meyakinkan kamu untuk berpikir kemungkinan terbaik. Mungkin saja dia membutuhkan sosokmu saat hal sulit menimpa hidupnya? Menginginkanmu untuk menghubungi setiap saat karena rindu yang tak sanggup dibendung? Aku berikan daftar kemungkinan baik yang bisa membuatmu berpikir aku adalah orang paling bijak. Tak pernah sedetik pun aku bermaksud membuat kamu dan dia bersatu kembali. Aku hanya mau kamu menilaiku sebagai sosok yang dewasa. Itu saja.
"Aku masih sayang sama dia."
Napasku tertahan untuk beberapa saat.
"Aku bakal coba memperbaiki hubungan kami, ya."
Retakan di hatiku semakin melebar.
"Terima kasih sudah mendengarkan dan menenangkan, ya."
Aku mengukir senyum sembari menepuk pundaknya. "Semoga kalian baik-baik saja."
Aku tertawa dalam hati. Bisa-bisanya mendoakan orang lain saat diriku sendiri adalah orang yang laik mendapatkan doa tersebut.
Setelah berkisah tentang banyak hal, kamu pun pamit. Kali ini kamu tak menjulurkan tanganmu, melainkan menarik pundakku untuk bersatu denganmu. Kami menciptakan peluk cukup lama. Entah untuk alasan apa. Satu-satunya yang kuharapkan adalah kamu tidak menyadari detak-detak jantungku yang semakin riuh. Kamu pun memisahkan tubuh, tersenyum, lalu beranjak ke arah motormu yang sudah basah karena diguyur hujan.
Aku masih mengatur napas semenjak kamu melepaskan pelukan kita. Satu-satunya yang kutatap adalah punggungmu yang semakin menjauh. Jika hidup adalah sekumpulan kejadian bodoh, ceroboh, dan egois, tentu aku sudah berlari dan mendekapmu dari belakang. Namun, hidup adalah sebuah jalur yang mengajarkan kita ihwal puas dan ikhlas.
Dan aku sudah cukup puas dengan membidik punggungmu yang menampakkan kenyamanan.
Wish I were her.. Orang yang paling beruntung bisa dicintai kamu!
BalasHapus