Untuk Ayah yang sedang menanti keberangkatan
di stasiun terakhir.
Yah, aku ingin kembali menjadi bocah yang dibangunkan olehmu saat sahur.
Dikecup dahinya sebelum mengikuti kuliah subuh.
Dipegang perutnya saat zuhur hanya karena engkau terlalu khawatir anaknya kelaparan.
Bersalaman denganmu saat azan keempat berkumandang.
Menikmati sisa takjil bersamamu sembari menyaksikan komedi slapstick kesukaan Ibu.
Yah, bocahmu ini sudah selawe umurnya.
Sedang ragu dalam menentukan arah hidup karena tak ada petuahmu yang dapat dijadikan petunjuk.
Malam-malam tertentu, entah ada purnama atau tidak, dadaku sesak dan pikiranku koyak.
Hanya bisa berharap engkau membalur punggungku dengan balsam andalanmu.
Sembari membisikkan kalimat yang selalu meredam khawatir dalam diri ini.
Anak Ayah pasti bisa terbang melampaui langit.
Rasanya aku bahkan tak mampu menyentuh satu pun bintang
tanpa berdiri di pundakmu
dan mengandalkan jinjitan jari kakimu.
Yah, tahun ini aku tidak bisa menyantap ketupat milik Ibu.
Pun berkunjung ke pusaramu.
Berkunjunglah ke mimpiku sesekali, Yah.
Aku hilang arah.
Aku hilang bentuk.
Rindu peran ayah..
BalasHapusHalo, Widya.
HapusSemoga kerinduanmu terhadap ayah bisa berbalas--dalam bentuk apa pun.