Senin, 25 Mei 2020

Menjabarkan Kata Milikmu (2)



Tulisan ini merupakan bagian kedua dari seri 'Menjabarkan Kata Milikmu' yang sempat dipublikasikan pula pada 13 Mei 2020. Pada bagian kedua ini, ada sepuluh kata yang siap menemukan kisahnya masing-masing. Saya sampaikan terima kasih atas kata-kata indah yang sudah kalian berikan di cerita Instagram milik saya. 

/ televisi /
Rembulan sudah jatuh ke barat langit. Tidakkah kantuk menghampirimu malam ini? Sudah tidak ada acara apa-apa di layar yang kausimpan di depanmu itu. Hanya ribuan semut yang berdengung dan memecahkan kesunyian. Apa itu yang kaurasa lebih baik untuk saat ini? Menikmati bising yang tak berarti daripada mendalami lengang yang membuatmu nyeri?

/ kecewa /
Satu-satunya yang membuat hidupmu miris adalah dirimu sendiri. Menyayangi orang lain yang tak memberikan kasih sayang yang sama. Khawatir pada orang yang tak acuh. Memedulikan sosok yang bahkan selalu hilang pada saat bahagia berpihak padanya. Bukankah kamu seharusnya berhenti melakukan itu? Tak bisakah kamu menghormati hatimu? Menempatkan cinta pada titik yang tepat; dirimu sendiri?

/ bilur /
Sepasang manusia duduk berhadapan di depan kasur tanpa mengucapkan apa-apa. Satu jiwa menangis dan merasa tak pernah layak untuk siapa pun. Memar dan luka kering memenuhi sekujur tubuhnya yang tak berpenutup apa-apa. Dia merasa hancur dan tak pantas disandingkan dengan jiwa yang utuh seperti kekasih di hadapannya. Sang kekasih menggapai lengannya dengan halus dan mengecup luka di tubuhnya satu persatu. Tanpa jeda. 
Tanpa merasa ragu dan malu.

/ senawi /
Sudah cukup lama kapal ini berlayar dan daratan yang kutuju sudah mulai tampak. Sesampainya di dermaga, tak perlu lagi aku mengepel lantai yang dipenuhi abu rokok. Mengantarkan kopi hitam kepada nakhoda yang berlaga ibarat raja. Membersihkan kamar mandi yang berbau pesing. Satu-satunya yang akan kulakukan adalah berlari membelah desa dan menuju ke rumah ibu. Takkan aku pedulikan orang-orang yang menertawakan kedatanganku. Mencemooh keputusanku untuk meninggalkan rumah dan mendewasakan diri di rantau belasan tahun lalu. Menghakimiku sebagai makhluk durhaka yang meninggalkan surganya demi menjawab penasaran yang bercokol di hatinya. Tak akan aku pedulikan sama sekali. Satu-satunya yang aku inginkan adalah memeluk pusara ibu sembari memohon ampun. 

/ hai /
Adalah satu kata terbaik yang pernah muncul dari bibirku. Tanpa kata itu, pertemuan kita mungkin saja tak pernah terjadi. Takkan ada ciuman pertama kita yang tercipta pada malam pergantian tahun. Aku tak bisa melihat wajahmu merona saat sebuah kotak beledu merah ada di hadapanmu. Takkan ada sorak-sorai saat kautahu ada hati kita di dalam perutmu. Tak ada lantunan azan yang disertai tangisan seorang bayi-- pun tangisan dirimu, di sebuah kamar rumah sakit.
Adalah satu kata terbaik yang pernah muncul dari bibirku. Tanpa kata itu, hari tuaku takkan mencapai bahagia.

/ sidang /
"Aku hanya ingin manusia di samping saya ini enyah dan membawa seluruh kenangan bersamanya, Pak Hakim."

"Sangat egois. Mana ada manusia yang menyerahkan seluruh kenangannya kepada satu pihak? Kami menciptakan kenangan itu bersama, Pak Hakim. Bukankah lebih baik jika kenangan itu kami biarkan dalam hidup kami masing-masing?"

"Tak sudi. Aku lebih memilih lupa sempat menjalin hidup dan membayangkan masa depan denganmu."

"Tapi kenangan itu mendewasakan. Bukankah begitu, Pak Hakim?"

"Aku lebih memilih mengulang titik dewasaku dari nol. Tanpa kamu."

/ bayangan /
Sahabatku sedang tidak bisa berpikir jernih. Seharian ini, dia hanya memikirkan satu nama yang sudah menyatakan enggan untuk menjadi pendamping hidupnya. Baru semenit yang lalu ia akhirnya terlelap dengan mata sembab. Sesekali nama yang ia cintai terucap lirih di sela-sela tidurnya. Ingin aku sampaikan kepadanya bahwa terkadang dia tak perlu mencari seseorang yang jauh untuk mendampinginya. Terkadang masa depan ada di dekat bayangannya sendiri.
Menemani dia saat terjatuh. Menyelimutinya saat hatinya lumpuh.

/ konjungsi /
Namun dan tetapi adalah dua penghubung yang sama-sama berfungsi untuk menyangkal suatu pernyataan. Penggunaannya saja yang berbeda. Kamu harus menemukan tempat, waktu, dan suasana yang tepat untuk menggunakan sebuah penghubung. Gurumu sudah membicarakan hal ini sejak dirimu belum menyentuh umur tujuh belas. Berulang-ulang dengan penuh kesabaran.
Sudah terbiasakah kamu menemukan tempat, waktu, dan suasana yang tepat? Bukan hanya untuk menentukan konjungsi, melainkan untuk menentukan apa pun dalam hidup? Sudahkah kamu belajar dari kesalahanmu?

/ pulih /
Semalam aku berdoa kepada Tuhan agar kamu merasa lebih baik. Masa lalu tak lagi membangunkanmu dari tidur yang kaunantikan. Wajahnya tak lagi muncul pada setiap kamu memejamkan mata. Tak ada lagi sujud panjang karena kamu merasa malu dan gagal di hadapan Tuhan. Semoga damai memenuhi setiap lekuk hatimu. Aku mengirimkan doa ini kepada Tuhan karena kutahu hanya Ia yang mampu menenangkan gemuruh di dalam pikiranmu. Semoga lekas membaik.

/ ketupat /
Takbir yang mengantar pulang ramadan menyadarkan aku pada dua sosok; ayah dan ibu. Keduanya mampu menghangatkan aku saat rindu mulai menyesakkan dada. Namun, pada detik-detik seperti ini, tak ada yang lebih dibutuhkan selain tabah dan patuh. Melarungkan temu untuk beberapa waktu. Suatu hari nanti, jika rindu sudah layak untuk dibayar tuntas, aku akan memeluk pusara ayah  selama mungkin dan menyantap ketupat ibu semampuku. 

Jumat, 22 Mei 2020

Mencintai Seorang Pemabuk



Aku menanduskan diri bersamamu
yang diselimuti halimun tiap waktu
Ruangan tiga petak ini adalah peti mati
yang menguburkan warasku
bersama dendang masa lalu dari Amerika.

Kamu memeluk tuak
mencumbui sigaret
sambil berkisah
ihwal ayah, ibu, dan kucing kesayanganmu.

Boleh matikan lampu?

Aku adalah tukang kubur paling tahu diri.
Mengubur jasadku di bawah tubuhmu.
Memasang pusaraku di antara lengang dan lenguh.

Dadamu menguarkan kesturi yang menenangkanku
dari kematian yang sudah bersemayam
di nadi leher yang kaukecup.

Senin, 18 Mei 2020

Ayah



Untuk Ayah yang sedang menanti keberangkatan
di stasiun terakhir.

Yah, aku ingin kembali menjadi bocah yang dibangunkan olehmu saat sahur. 
Dikecup dahinya sebelum mengikuti kuliah subuh.
Dipegang perutnya saat zuhur hanya karena engkau terlalu khawatir anaknya kelaparan.
Bersalaman denganmu saat azan keempat berkumandang.
Menikmati sisa takjil bersamamu sembari menyaksikan komedi slapstick kesukaan Ibu.

Yah, bocahmu ini sudah selawe umurnya.
Sedang ragu dalam menentukan arah hidup karena tak ada petuahmu yang dapat dijadikan petunjuk.
Malam-malam tertentu, entah ada purnama atau tidak, dadaku sesak dan pikiranku koyak.
Hanya bisa berharap engkau membalur punggungku dengan balsam andalanmu.
Sembari membisikkan kalimat yang selalu meredam khawatir dalam diri ini.
Anak Ayah pasti bisa terbang melampaui langit.

Rasanya aku bahkan tak mampu menyentuh satu pun bintang
tanpa berdiri di pundakmu
dan mengandalkan jinjitan jari kakimu.

Yah, tahun ini aku tidak bisa menyantap ketupat milik Ibu.
Pun berkunjung ke pusaramu.
Berkunjunglah ke mimpiku sesekali, Yah.
Aku hilang arah.
Aku hilang bentuk.

Minggu, 17 Mei 2020

Merayakan Hari Buku Nasional

newyorkinthespring.com

Selamat Hari Buku Nasional!

17 Mei merupakan salah satu tanggal penting dalam sejarah literasi Indonesia. Pada tanggal tersebut empat puluh tahun lalu, Perpustakaan Nasional RI dicanangkan oleh Pak Daoed Joesoef selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Dua puluh dua tahun kemudian semenjak pencanangan tersebut, 17 Mei 2002, Menteri Pendidikan Abdul Malik Fajar mengesahkan peringatan Hari Buku Nasional sebagai bentuk tindak lanjut dari kondisi literasi masyarakat Indonesia yang cukup memprihatinkan. 

Pagi ini saya diingatkan oleh cuitan-cuitan pengguna Twitter yang merayakan Harbuknas. Sebagian pengguna mengunggah kutipan favorit mereka, sebagian lainnya mengunggah potret diri yang sedang membaca buku. Tidak ada yang salah dengan perayaan macam itu. Namanya juga merayakan, sudah selayaknya menjadi sesuatu yang meriah. Pertanyaan penting yang perlu dilontarkan pada diri sendiri adalah:

Mengapa buku tersebut sangat berpengaruh bagi saya?

Jangan sampai buku hanya sekadar ornamen publikasi media sosial pada momen Harbuknas. 

Untuk berpartisipasi pada hari yang agung ini, saya akan menceritakan lima buku yang sangat berkesan dalam hidup saya. 

Buku pertama yang membuat saya jatuh cinta dan bertekad akan membuat sebuah novel suatu hari nanti adalah Rumah di Seribu Ombak karya Erwin Arnada. Saya membeli novel ini pada semester dua perkuliahan dengan diskon yang cukup menggiurkan. Namun, diskon itu tidak berpengaruh terhadap kualitas novel ini. Novel ini adalah sebuah kesatuan cerita yang solid ihwal persahabatan, kekeluargaan, percintaan, dan pengorbanan. Saat saya tiba di lembar terakhir buku ini, entah berapa tetes air yang sudah terjun bebas dari kelopak mata saya. Bli Erwin, terima kasih atas karya yang memukau dan menumbuhkan gairah menulis saya. Saya jadi sangat memaknai persahabatan dan tak sabar untuk segera menelurkan karya sehebat Rumah di Seribu Ombak.

Karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Bukan Pasar Malam juga berhasil mencuri perhatian saya. Ini adalah buku Pak Pram pertama yang saya baca dan berhasil memantik keingintahuan saya terhadap karya beliau yang lainnya. Bukan Pasar Malam merupakan sebuah karya yang menangkap suatu realita kehidupan melalui pengisahan tokoh Aku dan ayahnya yang sangat berperan dalam mengusahakan kemerdekaan, tetapi tak mendapatkan perhatian yang pantas pascamerdeka. Saya sangat kagum kepada Pak Pram yang merampungkan novel kritis nan menyentuh ini saat umurnya masih kepala dua. Semoga saya bisa lekas berpengaruh terhadap dunia menulis seperti Pak Pram, ya.

Selain novel, buku selanjutnya yang saya sukai berjenis kumpulan cerpen dengan tajuk Rectoverso; buah karya Dewi Lestari. Rectoverso dikategorikan sebagai karya hibrida yang menggabungkan fiksi dan musik, dua elemen yang sangat dikuasai oleh Mbak Dewi. Ada sebelas cerpen yang siap mengajarkan makna cinta, pasrah, usaha, dan patah kepada para pembaca. Cerpen yang sukses mengoyak perasaan saya adalah Malaikat Juga Tahu dan Hanya Isyarat. Cerpen yang membuat saya paham bahwa cinta kadang tak bisa dipaksakan. Dalam hidup, kita memang harus menakar cukup.

Buku selanjutnya yang berhasil mencuri perhatian saya adalah Museum dan Kita karya Amanda Margareth. Melalui prosa dan puisi yang Mbak Margareth tuliskan, saya mampu menyelami pengalaman pribadi penulis dalam memahami diri dan menerima patah hati sebagai bentuk dari pendewasaan diri. Secangkir Kopi adalah puisi dua kalimat yang sangat berbekas dalam hati. Tak sabar untuk membaca tulisan-tulisan baru Mbak Margareth!

Terakhir, saya sangat menyukai Surat Kopi yang merupakan kumpulan sajak Joko Pinurbo. Buku ini merupakan sebundel cuitan Mas Jokpin di Twitter dalam rentang 2012-2014. Tema tulisan beliau sangat beragam, dimulai dari memaknai salam, mata, ibu, dandan, banjir, masa kecil, dan masih banyak lagi. Mas Jokpin menampilkan kepiawaiannya dalam meramu puisi secara singkat, tetapi tetap mendalam. Sajak yang paling saya sukai adalah Akhir Pekan 3 dan Mata Bocah, 2.

Bagaimana denganmu?

Apa buku yang sudah menyentuh hatimu?

Jumat, 15 Mei 2020

Daftar Putar | Lagu untuk Kaum Terista dan Ahli Tangis


I am not scared of never meeting you. I am scared of having met you, and let you go.
- Iain S. Thomas


Bagi kamu yang tak mengenal kata terista, itu sangatlah wajar. Kata ini sudah arkais atau tidak lazim digunakan lagi dalam struktur bahasa masa kini. Terista semakna dengan sedih dan dukacita. Sekarang kamu sudah tahu bahwa daftar putar yang akan saya suguhkan ini adalah sederet lagu bagi kalian yang sedang merasa sedih, khususnya patah hati.

Kadang hidup harus memberikan sedih agar kamu bisa menghargai senyum. Menangis adalah sesuatu yang wajar. Manusia terkadang butuh memanifestasikan sedih ke dalam bentuk fisik seperti air mata. Oleh karena itu, menangislah sepuasnya. Biarkan semua rasa sakit, rindu, hampa, dan kecewa yang mendekam di dalam tubuhmu keluar dan meninggalkanmu. Semoga lagu-lagu ini bisa menemanimu dalam mengusir semua rasa itu. 
  1. Lord Huron - The Night We Met
  2. Jake Bugg - Love, Hope, and Misery
  3. Andmesh - Rindu
  4. Kodaline - High Hopes, Moving On, dan All I Want
  5. Nadin Amizah - Sorai dan Rumpang
  6. Kunto Aji - Rehat dan Pilu Membiru
  7. Hindia - Evakuasi, Evaluasi, dan Membasuh
  8. Billie Marten - Teeth
  9. Virzha - Tentang Rindu
  10. Jung Il Young - Be With You
  11. Melly Goeslaw - Bunda
  12. Owl City - Silhouette
  13. 5 Seconds of Summer - Amnesia
  14. The Icarus Account - Ocean Between Us
  15. Raisa - Mantan Terindah
  16. Tulus - Monokrom
  17. Rossa - Hati yang Kau Sakiti
  18. Calum Scott - You Are the Reason
  19. Yerin Baek - Rest
  20. Endank Soekamti - Sampai Jumpa
Kompilasi lagu ini merupakan rekomendasi dari saya dan teman-teman saya. Sedih ternyata menaungi berbagai genre lagu dan tidak mengenal batasan negara serta perbedaan bahasa. Sedih adalah sesuatu yang universal dan humanis. Bagi kaum terista dan ahli tangis, silakan simak setiap lirik dalam lagu-lagu tersebut. Tak perlu hiraukan pada detik keberapa tangismu luruh. Fokus saja pada kisah-kisah yang terselip di sana. 

Biarkan hatimu dan matamu yang bekerja. 

Semoga lekas sambuh, Kamu.

Kamis, 14 Mei 2020

Saya, Cinta, dan Imaji yang Diaminkan Setiap Beribadah

Image shared by uglyhorse. Find images and videos on We Heart It - the app to get lost in what you love.

Saat membaca judul ini, senyum saya sedikit mengembang. Tak menyangka saya akan seberani ini untuk menuliskan cerita hidup yang cukup tidak menyenangkan di sini. Saya tahu, kalian sudah jengah dengan tulisan penuh melankolia dan mengharu biru. Kisah ini sudah menuntut untuk dikeluarkan sejak lama. Jadi, bersabarlah sejenak. Si Empu blog ini akan mengisahkan kejadian menyenangkan pada tulisan-tulisan selanjutnya.

Saya selalu memiliki imaji seperti ini:

Suatu hari, saya akan terbangun dari tidur yang mengenyangkan. Menikmati hening pagi selama beberapa detik, lalu menatap wajah seseorang yang terlelap di samping saya. Mensyukuri setiap langkah yang sudah saya ambil untuk bisa berdampingan dengan dia. Mensyukuri kemauan dia untuk hidup bersama saya. Melayangkan jari di atas kelopak matanya yang selalu membuat saya terus jatuh cinta. Enggan untuk menggangu tidurnya yang pulas. Detik selanjutnya ia memicingkan matanya, lalu tersenyum. Tangannya merengkuh tangan saya. Setelah itu, saya akan memasrahkan waktu untuk bergerak selambat-lambatnya.

Imaji tersebut selalu saya ceritakan di tengah doa saya. Seiring berjalannya waktu, saya mulai sadar bahwa imaji tersebut semakin tidak mungkin untuk terjadi. Saya beritahu alasannya, ya.

Saya sudah sempat menjalin hubungan dengan beberapa kepala. Jika dirunut secara serius, pacar pertama saya adalah seorang perempuan hebat yang sudi mendampingi saya berkembang; dari kepribadian anak  SMA kelas dua hingga mahasiswa semester tiga. Untuk hubungan yang satu ini, saya adalah sosok antagonis. Saya yang memilih renggang karena alasan yang terlalu kekanak-kanakan; ibu saya tidak setuju melihat anaknya berpacaran di kampus. Walhasil, tiga tahun setengah berhubungan dengannya harus rubuh tanpa akhir yang menyenangkan.

Hubungan kedua saya bahkan tak bisa dilabeli sebagai pacaran. Semester lima di kampus, setahun pascaputus dari perempuan pertama, saya sudah ingin menjalin hubungan lagi dengan seorang perempuan lucu nan cerdas. Untuk kisah ini, saya tetap menjadi orang yang bejat. Menanggalkan sesuatu yang bahkan belum terjalin sama sekali. Saya mundur pelan-pelan tanpa alasan yang jelas. Kemungkinan besar saya mudah sekali bosan.

Untuk itu, tulisan ini saya layangkan untuk diri saya sendiri yang sudah menyia-nyiakan dua perempuan hebat hanya karena alasan yang nirlogis. Dua perempuan yang sudah meluangkan waktunya untuk menyemangati saya setiap malam tatkala saya merasa tidak mampu menyelesaikan tugas kuliah. Dua perempuan yang selalu membuatkan kue saat saya berulang tahun dengan dalih tidak boleh ada yang melewatkan ulang tahun tanpa tiup lilin. Dua perempuan yang tak luput mengingatkan saya waktu salat. Saya sudah melewatkan kesempatan untuk berkembang dengan perempuan hebat yang sangat mandiri dan memiliki pendirian yang kuat. Jika kalian membaca tulisan ini, saya harap kalian sudah memaafkan diri sendiri karena kegagalan kita adalah seutuhnya kesalahan saya. Semoga Tuhan memberikan kebahagiaan secukupnya dan tidak ada lagi laki-laki berengsek seperti saya yang mengisi hidup kalian.

Masih ingat dengan imaji yang saya ceritakan di bagian awal tulisan ini? Imaji yang saya anggap tidak akan terjadi? Kalimat-kalimat selanjutnya adalah alasan yang mana membuat saya percaya imaji tersebut takkan terlaksana.

Karma bekerja seadil Munkar dan Nakir menentukan perilaku baik dan buruk. Setelah menyudahi hubungan dengan dua perempuan pertama, saya hanya memiliki dua hubungan serius lainnya yang juga kandas. Kali ini, skenario dibalik dan saya yang ditinggalkan ketika sayang masih bersarang dalam hati saya. Pertama, dia menyudahi hubungan kami setelah ia secara terang-terangan mengakui telah memiliki dambaan hati yang lain. Apa yang saya lakukan saat mendengar perkataannya? Terdiam, tertawa, lalu mengakhiri panggilan. Semenjak saat itu, kami tidak ada komunikasi sama sekali. Saya enggan membuka luka lama. Pun ia enggan menjelaskan lebih lanjut.

Hubungan kedua saya berawal sangat manis; makan malam berdua sembari menonton teve yang sedang menyiarkan acara pencarian bakat, menelusuri setiap toko buku yang ada di sekitar Melbourne, hingga enggan melepas peluk saat ia akan pulang ke tanah lahirnya. Sayang sekali, keindahan tak dapat mencapai waktu setahun. Dia menghubungi saya dan menyatakan kehidupan harus terus berjalan. Ia telah dijodohkan dengan seseorang yang dirasa pantas dengannya. Apa yang saya lakukan saat mendengar perkataannya? Terdiam, tertawa, lalu menuntut penjelasan. Akhirnya, mengalirlah kisah anak penurut yang enggan membantah orang tuanya walaupun dengan begitu ia telah mengorbankan hati lain.

Empat hubungan itu telah mengajarkan saya untuk lebih memahami diri sendiri dan tidak terlalu memercayakan hati kepada orang lain. Semenjak patah hati terakhir (yang juga patah hati terhebat saya), jatuh cinta terasa sangat tawar. Meletup pada garis awal, lalu meredup di tengah jalan. Saya sudah mencabut imaji yang kerap saya layangkan kepada Tuhan. Tidak ada lagi bayangan kamu sedang terlelap di samping saya. Begitu pun pelukan yang melambatkan waktu.

Secara resmi, saya menutup diri dari apa-apa yang bisa mematahkan diri.

Secara resmi, saya menendang definisi cinta yang dimanifestasikan dalam bentuk pasangan hidup.

Secara resmi, saya menghidupkan imaji baru dalam doa.

Suatu hari, saya akan terbangun dari tidur yang mengenyangkan. Menikmati hening pagi selama beberapa detik, lalu membereskan kasur yang seprai dan selimutnya sudah berserakan di lantai. Saya akan membuat kopi, membuka jendela rumah yang menghadap ke timur bumi, lalu menyetel lagu Sinatra. Setelah matahari sudah mulai memanjat, saya akan beralih ke perpustakaan pribadi yang mana hati saya hidup di dalamnya. Saya biarkan diri ini tenggelam dalam kata-kata hingga senja larut begitu saja. 

Rabu, 13 Mei 2020

Menjabarkan Kata Milikmu

Sumber: theodysseyonline.com

/ peduli /
Kamu adalah manusia paling siaga dalam mengabadikan diri. Selalu percaya bahwa setiap detail hidup di sekitarmu adalah mahakarya yang wajib dipuji dan disimpan dalam bentuk potret-potret. Setiap matamu berhadapan dengan bola mata kesayanganmu, sebuah senyum mengembang di bibirmu dan juga bibirku. Kadang kaulupa bahwa kau juga sebuah mahakarya, Sayang. Jika kamu masih abai terhadap keindahan dirimu sendiri, biar aku yang memujamu.

/ harapan /
Aku selalu menantimu di bandara untuk memastikan kamu memilih untuk pulang. Kehendakku adalah seluruh doa yang kulayangkan pada Tuhan hinggap terlebih dahulu di telingamu yang berjarak ratusan kilometer dariku. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa di tanah lahirmu ini ada seseorang yang masih menunggumu. Namun, doaku nampaknya masih keluyuran entah ke mana.

/ cinta /
Apa yang kamu tahu tentang cinta? Meninggalkan saat sedang merona?
Sebelum mendefinisikan kata sakral itu, tanya dulu kemauanmu. Memilikinya atau menghargainya?

/ nikmati /
Aku suka melihatmu kala membaca pengisahan Multatuli ditemani secangkir kopi pahit yang masih mengepul. Aku tak tahu mana yang membuatku tergila-gila padamu; kamu yang hanyut bersama buku, bibir gelas yang kaukecup, atau dirimu seutuhnya. 

/ labirin /
Kita adalah dua orang insan yang memasuki teka-teki dan memutuskan mencari jalan keluar yang berbeda. Agar lebih cepat, kataku. Akhirnya, kamu mencari jalan keluar dan aku memutuskan untuk terjebak dan hilang diam-diam.

/ lipstick /
Satu-satunya benda yang aku ingin hancurkan adalah cermin di rumahmu. Berani-beraninya ia memperhatikan kamu ketika sedang memerahi bibirmu yang ranum. Tak bisakah kamu bercermin saja di mataku? Atau mataku sudah terlalu riuh oleh masa depanku bersamamu?

/ pendam /
Mama berujar padaku untuk menyimpan cintaku terhadap seseorang. Jangan menyatakan diri sebagai seorang pemuja. Perempuan yang baik adalah dia yang mampu menjaga diri dan membiarkan lelaki bergerak terlebih dahulu. Lama-kelamaan cinta yang kusimpan menjadi tumpukan sampah yang tak tahu tempat untuk berlabuh. Mama tidak tahu jika hatiku akhirnya mati karena petuahnya.

/ rinai /
Aku suka caramu menghabiskan waktu ketika duka bermalam di hatimu. Kamu memilih untuk sendirian di ruangan tak bernyawa dan membiarkan matamu gerimis, melebat, hingga reda. Kamu adalah manusia terpandai dalam merajut senyum walaupun gemuruh masih riuh di hatimu. Seorang serdadu yang enggan pulang sebelum berperang.

/ berani /
Menyentuh telapak tanganmu pun belum, tetapi aku sudah ingin tenggelam di pundakmu. Jatuh cinta memang terkadang nekat dan tak tahu waktu. 

/ bermakna /
Lima menit yang lalu aku terpaksa duduk di depanmu karena tak ada lagi kursi kosong di kafe itu. Selama lima menit itu pula kamu tak berhenti menyebutkan kata Berlin, kastil, dan bir. Selebihnya? Aku tidak perlu paham. Aku merasa cukup dengan eksistensimu di depanku.

/ kulit ayam/
Kamu menjelma dari manusia yang mengikhlaskan kulit ayamnya untukku menjadi manusia yang menyantap kulit ayamnya terlebih dahulu. 

/ bahaya /
Menetap saja dulu di dalam rumahku. Dunia sedang gaduh dan tak menjanjikan damai sama sekali. Kamu boleh melakukan apa pun di sini. Terlelap, memasak, atau bahkan mengenalku lebih jauh. Terserah kamu. Aku hanya ingin kamu berada di sekitar penglihatanku.

*****

Bagi kalian yang kebingungan dengan maksud tulisan ini, saya menggunakan fitur tanya jawab di cerita Instagram dan meminta pengikut saya menuliskan sebuah kata. Dari kata-kata itu saya membuat rangkaian kalimat seperti yang sudah kalian baca.

Saat idemu sudah mengering, terkadang kita butuh manusia lain untuk mengairi hingga dapat mengalir lagi. Terima kasih sudah membantu saya, Man-teman.

Nyaah pisan!

Selasa, 12 Mei 2020

Potret Pernikahan Dini dalam Suara Kirana

Hak Milik: Plan Indonesia

Suara Kirana adalah sebuah film pendek hasil arahan Andrew Kose yang diunggah di kanal YouTube milik Plan Indonesia. Film ini berkisah tentang sepasang kekasih, Anggi (Laras Sardi) dan Indra (Jourdy Pranata), yang melakukan penelusuran jurnalistik ke Cisolok untuk membuktikan kebenaran sebuah berita ihwal peran Nyi Roro Kidul dalam penculikan anak. Selain mendapatkan informasi seputar penguasa pantai selatan, mereka pun mendapatkan sebuah kenyataan pahit tentang Kirana (Dhea Seto), anak hilang yang kabarnya diculik Nyi Roro Kidul

Kose tampak sudah terbiasa memadatkan sebuah fenomena sosial ke dalam bentuk film berdurasi waktu singkat. Saya mengapresiasi pula tiga aktor yang menjadi tulang punggung cerita; Sardi, Pranata, dan Seto yang sudah mampu mengisi nyawa dari film ini. Walaupun saya masih cukup bingung dengan eksekusi naskah yang dilakukan Kose dan Swara, khususnya seputar penggunaan kosakata bahasa Sunda yang agak mengganjal, tetapi saya harus mengapresiasi premis yang mereka angkat.

Baik, ulasan kualitas film pendek ini saya cukupkan sekian.

Ada yang lebih penting untuk dibicarakan oleh kita; pernikahan di bawah umur harus segera dihentikan. Saya rasa teman-teman Plan Indonesia pun setuju dengan urgensi pembahasan masalah ini. 

Pernikahan dini adalah suatu kondisi yang sangat  familier di lingkungan keluarga Indonesia. Titel peringkat kedua sebagai negara dengan jumlah pernikahan dini terbanyak di ASEAN dan kedelapan di dunia membuktikan bahwa masalah ini sangat krusial dan harus lekas diselesaikan. Untuk menekan angka pernikahan dini, DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Pernikahan ihwal batas usia minimal menikah. Baik laki-laki maupun perempuan harus sudah berumur 19 tahun sebelum melangsungkan pernikahan.

Saat darurat pernikahan dini terjadi, masih ada masyarakat yang tidak mengindahkan aturan pemerintah dan menjalankan pernikahan berlandaskan agama. Berita-berita ihwal kawin gantung cukup sering diberitakan melalui televisi. Bagi kalian yang belum tahu, kawin gantung adalah sebuah kegiatan yang mana anak-anak dinikahkan terlebih secara agama, tetapi baru diizinkan untuk melaksanakan kewajiban suami-istri ketika umur mereka sudah cukup. Kawin gantung kerap dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan hamil di luar nikah dan perjodohan paksa. Selain itu, banyak pula yang melaksanakan kawin gantung dengan alasan untuk menghindari perzinaan.

Selain itu, ketidakpahaman dan keengganan keluarga untuk mendiskusikan kesehatan reproduksi  kepada anak juga berkontribusi terhadap menjamurnya masalah ini. Ancaman-ancaman seperti keguguran, anemia, hingga kematian menghantui para pengantin baru. Keluarga sebagai lingkungan terdekat anak kerap menganggap pembicaraan organ seksual adalah sesuatu yang tabu. Walhasil, kurangnya pemahaman seksual mengakibatkan anak cenderung tidak berhati-hati dalam bertindak. Kehamilan di luar nikah pun berkontribusi banyak pada jumlah pernikahan dini di dunia. 

Alasan lain dari pelaksanaan nikah muda adalah gencatan ekonomi. Kondisi keuangan keluarga yang minim dan ketidakmampuan mereka untuk menafkahi anaknya menyebabkan orang tua menikahkan sang anak yang bahkan masih belia. Harapannya, anak mereka mampu hidup lebih laik. Namun, kasus-kasus yang ada malah memperlihatkan kondisi sebaliknya.

Kisah Ibu Rasminah dari Indramayu dapat dijadikan sebuah cerminan ihwal dampak pernikahan dini. Beliau menikah pada umur 13 tahun dengan alasan menyelamatkan dirinya dan keluarga dari krisis ekonomi. Ayah beliau sudah tidak bisa bekerja secara maksimal karena keterbatasan fisik, walhasil meminta Ibu Rasminah untuk menikah saja. Apakah pernikahan tersebut berjalan dengan baik? Sayangnya, Ibu Rasminah ditinggalkan oleh suaminya. Kalau sudah begini, Ibu Rasminah harus kerja keras untuk menghidupi anaknya.

Melihat fenomena-fenomena seperti kisah Ibu Rasminah, banyak komunitas sosial yang secara terang-terangan menentang eksekusi nikah muda. Salah satu penentangan yang dilakukan adalah dengan cara edukasi kepada masyarakat tentang dampak pernikahan di bawah umur. Itulah yang dilakukan oleh Plan Indonesia melalui Suara Kirana; memutus mata rantai permasalahan yang telanjur bertaburan di Indonesia bermediakan film pendek. Melalui edukasi dalam jaringan, Suara Kirana diharapkan bisa menyasar keluarga dan anak-anak untuk memahami konsekuensi yang didapatkan jika memilih untuk menikah muda. 

Mengutip semangat Kartini dan Dewi Sartika; pendidikan adalah satu-satunya obat untuk menyelesaikan masalah pernikahan di bawah umur.

Nampaknya, pendidikan yang dilakukan Plan Indonesia melalui Suara Kirana adalah salah satu cara yang bijak.

Terima kasih untuk film pendek yang sarat makna, Plan Indonesia.

Catatan:
Mohon koreksinya jika terdapat informasi yang keliru.

Senin, 11 Mei 2020

Ihwal Syukur yang Kerap Luntur



Sebelas dari tiga puluh satu

Ada berapa orang di dunia ini yang berharap bisa tersenyum sepertimu?

Ada berapa orang di dunia ini yang mengorbankan diri tanpa sadar ruang dan waktu?

Memacu laju kendaraan secepat mungkin agar lekas berjumpa.

Mengorbankan tengah malam hanya untuk melihatmu pulas di layar gawai.

Ada berapa orang yang ingin jatuh cinta kepada sosok yang mereka benar-benar cintai?

Memeluknya di keramaian.

Menggenggam tangannya.

Mengecup dahinya.

Sudah berapa orang yang mengesampingkan dirinya agar kamu merasa tenang?

Sudah berapa orang yang terluka karena mereka terlalu peduli kepada orang lain?

Sudah berapa orang yang menanyakan kabarmu dan mereka benar-benar ingin tahu?

Sudah berapa orang yang memeluk tubuhmu saat hatimu patah berantakan?

Sudah berapa orang yang menyelipkan namamu dalam doa agar kamu kembali merasa utuh?

Ada berapa orang yang memahamimu bahkan tanpa kata dan tatapan?

Ada berapa orang yang menyeka air matamu yang mengalir untuk hal-hal kecil?

Hanya karena kamu terlalu perasa.

Namun, bagaimana jika rasamu adalah sesuatu yang valid dan menjadikanmu manusia?

Rasamu adalah dirimu yang sebenarnya.

Minggu, 10 Mei 2020

Punggung adalah Sasaran Bidik bagi Para Pendamba

Nadine Karenina on Pinterest


Sepuluh dari tiga puluh satu

Kadang aku sebal pada perasaan yang tak mampu mengontrol diri untuk tidak mudah jatuh cinta pada seseorang. Terlebih seseorang yang kumaksud adalah kamu. Pertama kali menatap bola matamu yang kukira beriris hitam, aku bisa merasakan separuh bahagiaku mengendap di sana. Kamu mengundang telapak tanganku untuk berjabat. Seketika, aku merasa semua makhluk di ruangan  lenyap entah ke mana dan kupu-kupu membludak dalam perutku. Aku menyambut jabatanmu sembari menyisipkan senyum dan menahan getar yang merajai telapak tanganku. 

Semenjak pertemuan pertama itu, aku menandai tanggal-tanggal di kalender yang berpotensi mempertemukan kita. Tanggal merah, tanggal rapat organisasi, tanggal kegiatan akbar, hingga akhir pekan yang mana jadwalmu pulang kampung. Tak ada yang terlewatkan satu pun. 

Jika waktu yang kutandai sampai, aku akan mematut diri di hadapan cermin sembari berlatih tersenyum. Aku dengar kamu menyukai manusia yang pandai memasang senyum secukupnya. Oleh sebab itu, aku berlatih agar bisa tersenyum sesuai dengan takaran yang kaumaksud. Jika pertemuan  kita belum dikabulkan oleh Tuhan, maka aku simpan kembali senyuman itu untuk masa depan. Lihat, aku adalah sosok yang optimis. Apalagi masalah mendekatimu.

Namun, ada waktu yang mana kamu dan aku berada di bawah atap yang sama. Kamu bercengkerama dengan teman-temanmu untuk melepas rindu dan aku menahan detak jantung agar tidak bertempo terlalu ngebut. Selain optimis, aku adalah pecundang paling ulung. Apalagi masalah mendekatimu. Aku berharap kamu menatapku terlebih dulu, lalu mendekat dan kembali menjabat tanganku. Itu pun sudah sangat cukup. Atau jika kamu memang memutuskan untuk berbicara denganku, tentu saja aku akan bersedia mendengarkan. Ceritakanlah apa-apa yang membuatmu jengkel di tanah rantau atau betapa pekerjaanmu menuntut untuk mendekam di dalam ruangan seharian. Aku siap mendengarkan.

Empat paragraf ini bertaburan kata jika. Menyedihkan sekali.

Pernah suatu waktu saat kita telah menciptakan banyak pertemuan, namamu muncul di layar ponselku diiringi dering panggilan masuk. Aku gugup tak kepalang. Beberapa kali aku latih suaraku agar tak terlalu gemetaran. Mengujarkan satu kata halo saja membuat perut saya mulas. Akhirnya, aku beranikan untuk menjawab panggilanmu. 

Kamu bertanya keberadaanku.

"Aku lagi di indekos. Ada apa?"

Kamu meminta alamat indekosku dan, Tuhan, aku merasakan gempa kecil menggerayangi tubuhku.

"Aku butuh teman ngobrol malam ini. Boleh?"

Aku menjawab pertanyaan itu terlalu lekas. Kamu akan mengobrol denganku, apa yang harus aku pikir panjang?

"Aku berangkat sekarang."

"Hati-hati di jalan," ujarku sungguh-sungguh. 

Sesampainya di indekosku, kamu langsung mengisahkan seseorang yang sedang mengisi rongga hatimu. Aku menyimak setiap tutur yang meluncur dari bibir itu walau retak-retak kecil mulai bermunculan dalam diriku sendiri. Detik-detik selanjutnya kamu mengakui bahwa ia memutuskan untuk merenggang denganmu dengan alasan jarak dan waktu. Aku, sebagai seorang pendamba, tentu saja melecehkan alasan renggang macam itu. Terlalu kekanak-kanakan. 

Aku tidak akan meminta putus hanya karena jarak dan waktu. Mau memberikanku kesempatan?

Kecurigaanmu memuncak pada orang tersebut dan mendakwanya telah mendua darimu. Aku berusaha meyakinkan kamu untuk berpikir kemungkinan terbaik. Mungkin saja dia membutuhkan sosokmu saat hal sulit menimpa hidupnya? Menginginkanmu untuk menghubungi setiap saat karena rindu yang tak sanggup dibendung? Aku berikan daftar kemungkinan baik yang bisa membuatmu berpikir aku adalah orang paling bijak. Tak pernah sedetik pun aku bermaksud membuat kamu dan dia bersatu kembali. Aku hanya mau kamu menilaiku sebagai sosok yang dewasa. Itu saja.

"Aku masih sayang sama dia."

Napasku tertahan untuk beberapa saat.

"Aku bakal coba memperbaiki hubungan kami, ya."

Retakan di hatiku semakin melebar.

"Terima kasih sudah mendengarkan dan menenangkan, ya."

Aku mengukir senyum sembari menepuk pundaknya. "Semoga kalian baik-baik saja."

Aku tertawa dalam hati. Bisa-bisanya mendoakan orang lain saat diriku sendiri adalah orang yang laik mendapatkan doa tersebut.

Setelah berkisah tentang banyak hal, kamu pun pamit. Kali ini kamu tak menjulurkan tanganmu, melainkan menarik pundakku untuk bersatu denganmu. Kami menciptakan peluk cukup lama. Entah untuk alasan apa. Satu-satunya yang kuharapkan adalah kamu tidak menyadari detak-detak jantungku yang semakin riuh. Kamu pun memisahkan tubuh, tersenyum, lalu beranjak ke arah motormu yang sudah basah karena diguyur hujan. 

Aku masih mengatur napas semenjak kamu melepaskan pelukan kita. Satu-satunya yang kutatap adalah punggungmu yang semakin menjauh. Jika hidup adalah sekumpulan kejadian bodoh, ceroboh, dan egois, tentu aku sudah berlari dan mendekapmu dari belakang. Namun, hidup adalah sebuah jalur yang mengajarkan kita ihwal puas dan ikhlas.

Dan aku sudah cukup puas dengan membidik punggungmu yang menampakkan kenyamanan.

Sabtu, 09 Mei 2020

Adegan Film yang Memesona



Sembilan dari tiga puluh satu

Sebagai penikmat film, mendekam di rumah bisa disebut sebagai anugerah. Akhirnya saya bisa menikmati film-film yang sudah ditandai sejak lama. Walaupun saya lebih memilih untuk menonton di bioskop ditemani secangkir cokelat panas dan jagung letup berlapis bubuk oreo, tetapi saya juga tak menolak kesempatan untuk menikmati film sembari berselimut dan berharap koneksi internet tidak lambat.

Seiring bertambahnya umur, preferensi genre film saya semakin mengerucut. Saat ini saya menyukai film bergenre drama (keluarga maupun romantis) dan horor. Saya paling tidak bisa menahan kantuk saat menonton film animasi ataupun kartun. Tubuh saya juga tidak terlalu kuat ditempa oleh film-film gore yang berdarah-darah. Oleh karena itu, teman-teman saya suka kesal saat mengajak saya untuk menonton di bioskop. Makhluk paling picky masalah film, ujar mereka.

Sepanjang rekam jejak saya menonton film, ada beberapa film yang memiliki adegan sangat memukau dan membuat saya melongo beberapa saat. Terkagum oleh cara sutradara dan sinematografer menangkap sebuah momen secara natural dan mampu menyentuh hati penonton. Nah, saya akan coba buat daftar adegan yang menurut saya sangat keren dan tak jarang memerah air mata.

Brooklyn (2017) - I want to be with him. I want to be with my husband.
Adegan yang paling membuat saya berlinang air mata terjadi nyaris di penghujung film, yaitu adegan pengakuan Eilis tentang pernikahan rahasianya. Selama adegan ini berlangsung, tidak ada musik latar sama sekali. Emosi penonton dibawa oleh gerak-gerik, ekspresi, hingga suara alami dari lingkungan sekitarnya. Bahkan suara langkah sepatu dan tutup pintu juga mampu menambah emosi film ini. Keren sekali!

Dead Poets Society (1989) - It is okay, Todd. It is okay.
Menerima kabar duka adalah hal yang paling menyebalkan. Terkadang kita berusaha untuk merasa baik-baik saja dan menghibur diri, tetapi semuanya malah terasa lebih menyedihkan. Salah satu adegan film ini memotret rasa duka dan penghiburan diri dengan sangat manusiawi, jujur, dan tentu saja  menguras air mata. Salah satu performa Ethan Hawke terbaik, menurut saya.

Little Women (2019) - Joe, we did not compare grandfathers.
Tujuh tokoh di dalam sebuah adegan dengan konflik masing-masing dan semuanya terekspos dengan sangat baik. Jika tidak dieksekusi dengan baik, adegan ini akan sangat gagal dan terkesan sangat ribut. Beruntung sekali sang sutradara, Greta Gerwig, mampu mengefektifkan setiap blocking dan percakapan dengan sangat baik. 

Dua Garis Biru (2019) - Kamu pikir gampang jadi orang tua?
Nyaris sama dengan Little Women, adegan di UKS dalam film ini sangat berpotensi menjadi adegan yang chaotic. Enam tokoh berkarakter beda dengan emosi yang sedang memuncak direkam secara apik. Hal yang paling saya sukai? Teknik pengambilan adegan tanpa jeda selama enam menit! Terlihat sekali kepiawaian Gina S. Noer selaku sutradara dalam mengarahkan setiap adegan.


Call Me By Your Name (2017) - You had a beautiful friendship and I envy you.
Sebagai seorang anak lelaki yang jarang sekali mengobrol dengan sosok ayah, adegan antara Elio dan ayahnya di penghujung film mampu membuat saya menangis. Sepanjang adegan ini, sang ayah memberikan banyak sekali wejangan kepada Elio. Terdengar biasa? Perhatikan setiap detail gerak tubuh, kata-kata sang ayah, tatapan Elio, hingga nuansa film pada adegan ini. Saya rasa, kamu juga akan tersentuh.

Daftar adegan film favorit saya akan dilanjutkan pada hari-hari selanjutnya, ya! Coba ditonton dulu lima film tersebut dan resapi setiap adegan yang saya sebutkan. Mungkin, kamu bisa menikmatinya juga.

Jumat, 08 Mei 2020

Melindungi Kamu Mengorbankan Aku

gambar grunge, night, and alone
Courtesy: Capucine on We Heart It

"Tuhan menciptakan makhluknya berpasangan,"
Kamu membuka percakapan dengan ayat-Nya.
Berharap aku bisa memaklumi,
lalu memaafkan rubuh yang kaucipta.

Telapak tanganmu menggenggam hatiku.
"Kau tahu mengapa Adam dan Hawa diturunkan ke dunia, kan?"
Kisah buah khuldi pun mengalir dari bibir ranum
yang penuh ukiran ayat dan menyerupai surau.

"Aku kembalikan buah khuldimu."
Aku menimang hatiku yang lambat berdetak.
Kamu melayangkan sumpah
dan merasuki rumahku dengan kidung suci
hasil sepertiga malam.

Nyawa ndak pegi dulu yo.
Sepeninggalanmu, aku oleng tanpa tahlil.

Bebaik amun di rumah.
Kupaksa ruh untuk mendekam.
Tak berkelana mencari nyaman yang kaubentang.

Duh, Bu, apakah rahimmu adalah jahanam?
Atau dunia memang tak sudi firdaus mekar di kakimu?

Kamis, 07 Mei 2020

Mengenang Ayah dalam Satu Babak



Tujuh dari tiga puluh satu

Seperti kisah yang pernah saya tuliskan, saya tidak memiliki banyak memori bersama Ayah. Oleh sebab itu, setiap momen yang saya miliki bersama beliau tersimpan dengan rapi dalam ingatan. Setiap tarikan senyum, nada bicara, hingga rengkuhan yang Ayah buat tak akan pernah saya lupakan. Kebersamaan kami yang sangat sedikit membuat otak saya enggan menyingkirkan barang sedikit pun ingatan tentang Ayah. Termasuk saat saya menentukan pilihan untuk berkuliah.

Ketika saya mengutarakan keinginan saya untuk melanjutkan pendidikan kepada Ibu, beliau menyuruh saya meminta izin kepada Ayah secara langsung. Saya sudah bernegosiasi cukup sengit agar Ibu saja yang menyampaikannya. Namun, Ibu sudah terlalu tak acuh dan memilih fokus pada sambal yang sedang beliau buat.

"Sudah bilang langsung saja. Ini sambal nanti enggak enak," ujar beliau sembari memanah tatapannya ke cobek batu di depannya. Tangannya membuat gestur penuh makna usiran.

Saya pun mendekati Abbi yang sedang asyik menonton teve. Melihat kelakuan saya yang aneh dan nampak canggung, Ayah langsung bergeser dan memberikan ruang bagi tubuh saya untuk duduk di sampingnya. Matanya masih fokus ke acara berita yang ia tonton sejak tadi, lalu tangannya merengkuh tubuh saya. Ayah adalah Ayah. Sekikuk apa pun saya, ia akan melakukan segala cara untuk menghancurkan benteng di antara kami. 

Memulai perbincangan dengan Ayah selalu membuat irama jantung saya tak beraturan. Entah menit ke berapa setelah berdiam diri dan menikmati hangat rengkuhan beliau, kerongkongan saya sudah sangat gatal untuk membicarakan ihwal perkuliahan. Walhasil, saya memberanikan diri untuk mengujarkan keinginan saya.

"Dede pengen kuliah, Yah," kata saya pelan-pelan.

Ayah menoleh kepadaku sejenak, lalu menurunkan volume suara teve. "Dede pengen apa?"

"Kuliah," ujar saya masih setengah berbisik.

"Emang Dede mau kuliah di mana?"

Saya pun menjelaskan rencana saya untuk berkuliah di Universitas Indonesia atau Universitas Padjajaran dan mempelajari hukum atau hubungan internasional. Saya jelaskan pula alasan mengapa hukum dan hubungan internasional sangat menarik bagi saya. Saya ingin belajar hukum karena Zain Kecil ingin membantu orang-orang yang tidak mampu mendapatkan akses hukum. Hubungan internasional juga saya pilih dengan alasan ingin membawa nama baik Indonesia ke negara lain dan memajukan Indonesia. Sangat berlebihan, ya?

Sepanjang penjelasan tersebut, tatapan Ayah tak berpindah sama sekali; selalu menatap saya. Saya? Berusaha mengalihkan pandangan ke kuku, teve, dan cecak di dinding.

"Dede udah yakin?"

Pertanyaan beliau dijawab oleh sebuah anggukan terlalu cepat.

"Ayah kira Dede bakal kuliah tentang nulis cerita atau nyanyi. Soalnya Dede sering banget beli novel sama nyanyi-nyanyi di kamar mandi. Eh ternyata bungsunya Ayah pengen jadi hakim," kata beliau sambil mengacak rambut saya. Suara tawa pelannya menelusup ramah ke telinga saya.

"Kalau Dede maunya kuliah hukum atau hubungan internasional, Ayah dukung. Mau kuliahnya di mana pun, sok wae. Asal Ayah titip satu pesan, jangan lupa sama tujuan Dede masuk jurusan itu. Kalau nanti sudah selesai belajar hukum, jangan lupa bantu orang yang enggak mampu. Atau pas udah selesai belajar hubungan internasional, jangan lupa bawa nama baik Indonesia kayak kata Dede. Janji dulu sama Ayah," pinta beliau sembari menjulurkan tangannya.

Kami pun bersalaman ala Ayah. Beliau menggenggam tangan saya, memejamkan mata, dan melayangkan doa kepada Tuhan. Salam akan terurai ketika beliau mengucapkan amin. 

"Ada lagi yang mau diobrolin serius enggak, nih?"

Saya hanya menggeleng pelan.

"Masa nanti Bapak Hakim cuma geleng-geleng angguk-angguk?"

Seketika tawa Ibu menggelegar dari dapur. Kalau tidak ada Ayah, saya sudah pasti berlari ke dapur dan protes atas tawa Ibu. Namun, kami masih bersampingan dan beliau masih menunggu suara saya.

"Enggak ada lagi, Yah. Ma kasih," kata saya sambil memberanikan diri melihat bola matanya. 

Ayah langsung menaikkan lagi volume suara teve dan kembali tenggelam dalam berita siang kesukaannya. Tangannya kembali merengkuh saya sembari sesekali mengecup puncak kepala.

Ayah adalah Ayah. Tidak mau menanggalkan satu waktu pun untuk memperlihatkan kasih sayangnya kepada siapa pun.

Rabu, 06 Mei 2020

Surat untuk Ferdian Paleka (dan Pengikutnya)

New Dutch Law Prohibits Discrimination Against Transgender and ...
Creative design from Liberties.eu

Bandung, 6 Mei 2020

Untuk Ferdian Paleka,

Pertama, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Anda yang sudah memantik lagi semangat saya untuk menyuarakan aspirasi. Tiga hari ke belakang adalah masa-masa saya serba ketakutan untuk menuliskan opini ihwal orientasi seksual. Setelah terkena omelan dan beberapa penolakan, saya memutuskan untuk tidak akan membuat tulisan seputar LGBT lagi. Cukup gentar saya dilabeli sebagai pendosa. Namun, kontroversi vlog Anda yang secara iseng membagikan sembako berisi batu  dan sampah kepada kaum transpuan dan anak kecil sudah terlalu berlebihan.

Saya tidak sengaja bertemu dengan cuplikan vlog Anda di Twitter. Baru saja beberapa detik video Anda diputar, saya sudah geram dan mengumpat dalam hati. Saking penasaran, saya mengecek vlog lengkapnya di kanal YouTube Anda. Mencelos hati saya ketika melihat lebih dari seribu pengikut Anda yang menyukai konten tersebut. Semakin sedih juga ketika saya melihat jumlah pelanggan kanal Anda yang lebih dari 100.000 orang. Tanpa menyesal sama sekali, saya turut serta melaporkan video Anda kepada pihak YouTube.

Anda menggunakan dalih bulan puasa adalah bulan suci dan seharusnya para transpuan tidak bekerja malam-malam. Anda memperkuat dalih tersebut dengan alasan para transpuan tidak menghiraukan aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sudah dicetuskan oleh pemerintah. Sebelum menyampaikan dalih tersebut, Anda pernah berpikir atau tidak ihwal nasib para transpuan di Indonesia itu seperti apa? Bagaimana mereka harus berjuang agar tetap bertahan hidup ketika dunia di sekitarnya menyisihkan mereka? Selama pandemi ini berlangsung, mereka menggantungkan diri pada donasi yang diberikan oleh beberapa pihak. Mereka terpaksa harus beredar malam-alam untuk menyambung hidup. Tidak berempatikah Anda?

Jika memang tujuan Anda adalah memberikan penyadaran ihwal kondisi pandemi saat ini, saya pikir teknik pemberian sembako itu sangat tidak masuk akal. Anda bahkan mengujarkan pernyataan virus korona bertularan melalui waria yang akan sangat berpotensi menambah kebencian masyarakat kepada mereka. Sekadar mengingatkan, Anda juga bahkan tidak menggunakan masker selama berkeliaran mencari mangsa. Bagaimana saya bisa percaya dengan tujuan mulia Anda?

Saya sempat menangis ketika Anda memanggil para transpuan dan memberikan masing-masing satu dus sembako. Saya menangis karena mereka mengucapkan terima kasih, mudah-mudahan banyak rezeki, dan jazakumullah saat menerima pemberian Anda. Perih hati saya. Tidak bisakah Anda mendengarkan suara mereka yang sangat bersyukur mendapatkan dus sembako itu? Bahkan, salah satu transpuan mendoakan semoga Tuhan membalas kebaikan Anda. Manusia yang Anda anggap sebagai sampah masyarakat tersebut mengingat Tuhannya. Anda?

Enggan saya membayangkan patah hati mereka ketika membuka dus yang ternyata hanya berisi batu bata dan sampah saja. Terlalu menyakitkan.

Setelah video Anda mengudara, saya menemukan seorang pendukung Anda yang mengunggah video berisi penghinaan berbalut religi terhadap transpuan. Kini video tersebut sudah hilang dari kanal YouTube-nya. Apa yang ia nyatakan dalam video tersebut? Bahwa perlakuan Anda itu tidak salah sama sekali. Dalam Islam yang ia percayai, LGBT layak untuk dibunuh dan kelakuan Anda yang iseng itu dinilai sesuatu yang bukan masalah. 

Secara implisit, pengikut Anda ini bahkan membedakan manusia menjadi a) orang biasa dan b) LGBT. Seolah-olah LGBT adalah makhluk tak normal yang perlu dipisahkan klasifikasinya dengan manusia non-LGBT. Dukungan mereka terhadap perilaku Anda semata-mata karena LGBT dipandang sebagai manusia yang melanggar aturan agama dan mampu mendatangkan azab bagi negeri ini.

Video pendukung Anda tersebut adalah bukti kekuatan kanal Youtube untuk menggiring opini masyarakat dan menyulut kebencian terhadap kaum minoritas. Beruntung sekali saya menemukan banyak teman yang satu pemikiran dan berani melaporkan video Anda.

Ferdian Paleka dan pengikutnya, semoga kalian tidak terlalu pengecut untuk melaporkan diri ke pihak kepolisian. Takutnya rasa kecut Anda itu menjadi azab bagi kami yang cinta damai. Ramadan adalah bulan suci dan sudah seharusnya kita semua beribadah, kan? Begitu kata Anda, kan? Nah, mengakui kesalahan adalah bentuk dari pernyataan bakti kepada Tuhan. Menyerahlah dan meminta maaf kepada para transpuan serta anak-anak yang sudah Anda permainkan.

Ferdian Paleka dan pengikutnya, saya akan setia menunggu berita penyerahan diri kalian ditayangkan di mana-mana.

Selasa, 05 Mei 2020

Merindukan Hiruk Pikuk Southern Cross

Southern Cross Station Photograph by Craig Francisco
Courtesy: Craig Francisco
Kelima dari tiga puluh satu

Pernahkah kamu merasakan suatu hubungan yang kuat dengan sebuah tempat? Merasa tempat tersebut adalah titik nyaman dan aman untuk dirimu?

Maret 2018 adalah pertemuan pertama saya dengan Southern Cross, sebuah stasiun kereta utama yang terletak di Melbourne, Australia. Lelah yang merupakan ampas perjalanan selama 3,5 jam dari Warrnambool, kota di mana saya bekerja, mendadak lenyap saat saya menginjakkan kaki di salah satu peron stasiun. Suasana di sana ramai sekali. Riuh celotehan berbahasa Inggris dengan beragam aksen mengisi gendang telinga saya. Sayang sekali, pertemuan pertama saya dengan stasiun ini harus lekas selesai karena saya diburu waktu untuk bertemu teman-teman.

Semenjak pertemuan itu, hubungan saya dengan Southern Cross semakin intens. Stasiun ini selalu menjadi saksi ketika saya tersenyum lebar kepada pemeriksa tiket, marah kepada burung-burung yang kerap mencuri makanan, mengumpat karena suhu udara yang rendah, dan menangis saking tidak mau pulang. Namun, tidak ada sedikit pun rasa menyesal dan bosan untuk kembali pulang ke sana.

Iya, saya menganggap Southern Cross adalah tempat pulang. Bukan titik kedatangan.

Alasan utama saya berkunjung ke Melbourne tentu saja melepas rindu dengan teman-teman language assistant. Setiap bulan saya bisa berkunjung ke kota layak huni tersebut selama dua atau tiga kali. Mengempiskan dompet dan menguras tabungan? Iya. Setimpal dengan kepuasan diri? Tentu saja.

Southern Cross selalu menyaksikan adegan di mana saya dan beberapa teman menciptakan pertemuan setelah lelah bekerja. Stasiun ini kerap dijadikan titik kumpul sebelum kami melanjutkan petualangan di Melbourne atau melancong ke kota lain. Ketika kami sedang menunggu kedatangan teman, biasanya lounge dijadikan markas karena di sana terdapat musala dan mesin pijat murah meriah! Saat salah satu dari kami baru sampai, dia sudah tahu harus ke mana.

Southern Cross juga menyaksikan kami yang terlampau bersemangat untuk menuju Sydney, saling memeluk karena suhu musim dingin yang menyebalkan, hingga menangis karena melihat Anggi kehilangan sepatunya. Southern Cross menjadi pemerhati dalam setiap langkah kami.

Biasanya, saat saya tiba di Southern Cross atau menunggu jadwal kereta mengantarkan saya ke kota di mana saya bekerja, ada dua tempat yang sering saya kunjungi; Starbucks dan sebuah kedai kue yang saya sudah lupa namanya. Saya akan mengunjungi kedai kue tersebut dan membeli beberapa makarun, lalu menuju Starbucks dan memesan kapucino panas ukuran grande. Jika cuaca sedang bersahabat, saya akan memilih kursi bagian luar kedai dan menunggu detik-detik matahari tenggelam. Percaya atau tidak, saya belum pernah menyaksikan pemandangan matahari tenggelam seindah di Southern Cross. Apalagi ditemani pahitnya kopi dan manisnya makarun. Jika saya berkesempatan untuk kembali, saya sudah pasti akan melakukan aktivitas menunggui petang yang beralih menjadi senja di sini.

Momen paling menyedihkan adalah ketika saya hendak pulang ke Indonesia. Saya sengaja untuk datang 15 jam sebelum penerbangan hanya untuk menikmati Southern Cross. Saya tiba di sana sekira pukul 19.00 dan langsung menuju longue. Ada yang berbeda hari itu; saya tidak bersama teman-teman. Hanya saya, Southern Cross, dan hiruk pikuk di sekitar saya.

Merasa sedih? Tentu saja. Beberapa kali saya mengelilingi stasiun kesayangan ini sembari menahan tangis agar tidak membludak. Musim panas sudah datang saat saya akan pulang ke Indonesia. Suhu tidak lagi dingin seperti biasanya. Saya tidak mengenakan jaket tebal andalan, tetapi saya merindukan pelukan-pelukan bersama teman. Malam semakin larut dan kenangan-kenangan meluap tanpa ampun.

Ah, stasiun kesayangan saya semakin senyap.

Dua buah kursi pijat tak beroperasi, tetapi dua orang menjadikannya tempat tidur.

Kursi tunggu sudah tak berpenghuni.

Kereta-kereta terlelap di lajurnya masing-masing.

Tak ada suara pemberitahuan apa pun yang biasanya menggema di berbagai sudut stasiun.

Tak ada teman-teman yang biasanya meramaikan suasana.

Hanya saya, orang-orang yang terlelap, dan Southern Cross yang lengang.

Saat jadwal keberangkatan saya semakin dekat, saya beranjak menuju terminal bus. Mata saya menyerah untuk membendung tangisan. Seorang petugas memeriksa tiket saya sembari tersenyum.

"Come back to your country?"

Saya mengangguk sambil menyeka beberapa air mata yang berjatuhan.

"This place will always wait you to come back, you know?"

Saya pun tertawa sembari menyetujui ungkapannya. Sebelum menaiki bus, saya hirup udara sedalam-dalamnya dan memanjatkan doa agar saya bisa kembali ke rumah saya ini.

Pernahkah kamu merasakan suatu hubungan yang kuat dengan sebuah tempat? Merasa tempat tersebut adalah titik nyaman dan aman untuk dirimu?

Saya pernah dan masih memiliki perasaan itu terhadap stasiun utama di pusat kota Melbourne.

Till we meet again, Southern Cross!

Senin, 04 Mei 2020

Tanpa Judul

Empat dari tiga puluh satu

Semenjak tulisan kedua saya untuk #31HariMenulis diunggah, cukup banyak respons yang diutarakan oleh teman-teman saya seputar tulisan tersebut. Beberapa teman menyatakan dukungannya dan berbagi pengalaman setelah menonton film serial 2gether, tetapi cukup banyak teman yang secara langsung melakukan konfrontasi dan menyanggah opini saya. Sebenarnya, saya tidak tersinggung ketika ada teman yang tak sejalur pemikirannya. Adalah sesuatu yang lumrah, kan? Namun, saya cukup kaget ketika rasa tidak setuju mereka diungkapkan dengan kata-kata penuh nada penghakiman.

Saya sempat membaca ulang tulisan hari kedua, takutnya ada bagian yang memang menyinggung perasaan pembaca atau bahkan melanggar peraturan yang telah diatur oleh panitia mengenai SARA. Hasilnya? Saya masih tidak menemukan apa pun yang berpotensi menyulut emosi dari tulisan tersebut.

Dari beberapa respons yang saya dapatkan, ujaran salah satu teman saya adalah respons yang paling menampar. Pagi kemarin, saya dihubungi oleh seorang teman yang mengaku sudah membaca Rinumangsa. Saya pun berterima kasih dan menyampaikan keluhan saya yang kesulitan mencari ide. Tanpa menggubris keluhan saya sama sekali, teman saya lalu menyatakan bahwa ia tidak setuju dengan opini yang saya tuliskan. Lalu saya tanyakan bagian mana yang ia tidak setuju. Berikut adalah sekumpulan pernyataan yang masih menggema dalam pikiran saya.

"Kenapa kamu harus ngerasa perlu ngomongin masalah kayak gitu, sih? Udah tahu salah, masih aja dibela. Kamu tuh seorang guru yang harusnya memberikan motivasi dan memikirkan konten yang kamu buat. Ini aku pengin ngasih tahu kalau apa yang ditulis sama kamu tuh ya kurang mendidik. Gimana kalau murid kamu baca blog kamu terus tahu kalau gurunya dukung LGBT?"

Saya menjelaskan apa-apa yang tertulis pada unggahan tersebut adalah seutuhnya pandangan saya ihwal film queer dan persepsi masyarakat terhadap komunitas LGBT. Saya juga menekankan padanya bahwa tentu saja saya mendukung komunitas tersebut karena saya berpikir memang tidak ada yang perlu diperdebatkan.

"Yeh, dikasih tahu kebaikan malah gini."

Saya tidak pernah menyangka tulisan tersebut akan mengundang banyak respons. Maklum, blog kecil seperti Rinumangsa tidak pernah dikunjungi terlalu banyak pembaca. Hanya teman-teman dekat yang saya paksa saja biasanya. Mendapatkkan berbagai macam tanggapan, pro dan kontra, membuat saya cukup gentar untuk menulis.

Hari ini, saya sudah membuat dua draf tulisan dan keduanya saya urung unggah. Saya merasa jadi serba ketakutan. Padahal, tujuan saya membuat blog ini adalah untuk mengekspresikan diri dan pemikiran saya seautentik mungkin.

Saya sudah tidak tahu harus menuliskan apa lagi. Semua kata yang ada di otak saya malah memudar. Selamat malam.


Tambahan:
Untuk panitia #31HariMenulis, saya tidak bisa melanjutkan tulisan ini. Mohon maaf karena setoran hari ini sangat tidak maksimal. Semoga besok saya kembali dengan tulisan yang lebih layak baca.

Minggu, 03 Mei 2020

Tengah Hari Puan Rampung

Transgender - Plot Magazine. | V&A Take a vintage photo and a modern image merge it. This one is about trans identity.
Sumber: Victoria and Albert Museum, UK

Untuk Mira

Puan meregang malam-malam
Tubuhnya dirajam paceklik panjang
Gaduh menjelma rapal takzim penuh ampun
entah bertuan kepada siapa

Puan merenung subuh-subuh
Ia hanya ingin berpulang ke rahim ibu
lalu pulas diantar sinom yang menenangkan
Puan ingin terlahir kembali
Utuh tanpa keluh
Cantik tanpa lepuh

Sayang, puan larung siang-siang
Seribu malaikat menggaungkan gita untuk puan
Tujuh surga bangkit di kaki penuh luka
Tuhan turun tangan dan menyisipkan sepasang sayap
di punggungnya yang hangus

Tengah hari puan rampung
dan semesta rubuh di pelupuknya yang mahateduh.

Sabtu, 02 Mei 2020

Mematahkan Ragu untuk Memulai Film Serial 2gether

2gether The Series PH's tweet - "I CAN FEEL THAT THIS MOMENT WILL ...
Hak Cipta: GMMTV Housestories 8

Dua dari tiga puluh satu.

Saat teman saya merekomendasikan film serial Thailand berjudul 2gether (Sut. Weerachit Thongjila, 2020), saya sempat meragu dan enggan untuk memulai sama sekali. Sebenarnya, ragu ini juga muncul ketika saya akan menonton Call Me By Your Name (Sut. Luca Guadagnino, 2017) dan Disobedience (Sut. Sebastian Lelio, 2017) beberapa tahun silam. Memang benar, film serial yang diproduksi GMMTV Thailand ini sedang digandrungi banyak penikmat film. Namun, satu pertanyaan selalu  muncul setiap kali  saya akan memulai sebuah film dengan kaum minoritas, khususnya kaum LGBT, sebagai peran utamanya. 

Akankah film ini berakhir bahagia?

Sebuah pertanyaan yang mengendap jadi ragu berkepanjangan.

Saya pernah mencari jawaban untuk pertanyaan tersebut. Salah satu jawaban yang masuk akal adalah hubungan percintaan kaum LGBT bukanlah sesuatu yang lumrah dinikmati dan diamini masyarakat. Kebanyakan orang masih menganggap hubungan tersebut tidak dibenarkan. Sejarah sudah mengajarkan masyarakat tentang citra buruk dari kaum minoritas nonheteroseksual. Pendosa, penyebar virus-virus berbahaya, bahkan pengundang malapetaka. Masyarakat sudah telanjur mengenal konsep tersebut yang diajarkan secara turun-temurun. Walhasil, memberikan epilog bahagia pada film LGBT adalah sesuatu yang tidak realistis. 

Salah besar jika saya menyatakan semua film bergenre queer drama selalu berakhir tragis. God's Own Country, Maurice, Carol, dan The Way He Looks adalah daftar pendek film dengan premis epilog mereka hidup bahagia selamanya. Menonton film-film tersebut membuat saya tersenyum dan tak jarang sambil mengembunkan air mata. Berharap akhir kisah para kaum minoritas mampu mencapai titik bahagia seperti karakter-karakter film tersebut.

Sebagai orang yang sudah muak dengan perlakuan masyarakat terhadap kaum LGBT, saya sangat berharap para pegiat film tidak mengglorifikasi kredo perpisahan dan kematian adalah akhir cerita dari setiap film LGBT. Saya berharap dengan adanya film queer ini mampu membuka pemahaman masyarakat tentang variasi orientasi seksual yang ada di dalam lingkup masyarakat. Jika masyarakat masih memilih untuk menolak eksistensi kaum keren ini, saya tidak akan memaksa. Hak mereka, tentu saja. Selama mereka tidak mengurus selangkangan orang lain dan mengatur siapa-boleh-mencium-siapa, saya akan baik-baik saja.

Harapan saya tentang film queer yang berakhir bahagia masih terus tumbuh subur. Menunggu untuk mekar.

Seminggu lalu saya mematahkan keraguan dan mulai menonton 2gether selepas salat Subuh. Walaupun saya sudah tertinggal 10 episode, tidak ada sedikit pun niat untuk mengejar. Saya hanya ingin menikmati setiap jalan cerita yang disajikan sembari menerka akhir ceritanya. Sejauh ini, saya menilai 2gether sebagai film serial komedi romantis yang ringan dan menyenangkan. Bagaimana dengan plotnya? Masih menjanjikan. Terasa tawar pada beberapa saat, tetapi kembali manis pada waktu selanjutnya. Banyak tokoh dimunculkan dengan dilema dan latar belakang masing-masing. Menurut saya, keberagaman tokoh tersebut membuat 2gether semakin menarik untuk ditonton.

Hingga saat ini, saya masih merapal doa dalam hati agar Tine dan Sarawat mendapatkan epilog yang berbunga-bunga.

Dan doa tersebut berlaku pula untuk kamu.

Jumat, 01 Mei 2020

Tulisan Pengantar tentang Kekasihku yang Mencari Kata-kata


https://doyoung-remade.tumblr.com/post/162139045773/httpswwwinstagramcompbveinusa58a
Doyoung Remade on Tumblr

Satu dari tiga puluh satu.

Sejak tadi subuh, kekasihku mendekam di depan laptopnya. Sesekali menggaruk belakang kepalanya yang aku yakin tak gatal sama sekali. Kuminta ia untuk tertidur sejenak dan menikmati hari libur, ia hanya tersenyum dan menyuruhku tidur duluan. Mumpung otaknya masih segar, katanya.

Walhasil, aku berangsur dan menyandarkan punggungku di sebelahnya. Tak lama kemudian, ia menarik napas panjang dan melabuhkan kepalanya di pundakku. Di layar laptopnya, hanya ada dua paragraf yang sejak tadi ia tekuni.

"Idenya enggak ngalir sama sekali," katanya sembari membangkitkan kepalanya. Suaranya terdengar putus asa.

Aku memutar otak untuk membantu kekasihku. "Nulis tentang Hari Buruh? Biar korelatif sama hari ini?"

Dia menatapku dengan matanya yang selalu membuatku jatuh cinta. "Aku butuh riset banyak kalau mau nulis tentang Hari Buruh. Takutnya malah keliru dan dangkal tulisannya."

Senyum mengembang di bibirku. Sepanjang hidupku, tak pernah sekalipun kutemui makhluk yang jatuh cinta pada menulis seperti kekasihku. Ia tahu benar jika tulisan berandil besar dalam proses pendewasaan seseorang, pun dirinya sendiri. Baginya, kenikmatan menulis setara dengan pekerja yang baru saja mendapatkan gaji pertama atau orang tua yang menyaksikan anaknya diwisuda. Ada suatu kelegaan dan kepuasan sendiri saat seluruh rasa dan karsa yang bercokol di pikirannya bisa diabadikan dalam sebuah tulisan. Oleh karena itu, kekasihku tak pernah mau menuliskan sesuatu yang asing dalam jangka waktu singkat. Ia butuh waktu untuk menyelami topik tersebut sebelum membuncahkannya dalam kalimat-kalimat sendiri.

“Menyerah aja gitu, ya?”

Tanganku menelusup ke belakang lehernya. Beberapa kecup mendarat di puncak kepalanya yang harum aroma kiwi. “Masih pagi. Masih banyak waktu, Sayang.”

Ia merebahkan kepalanya lagi di pundakku sembari menutup matanya. Pegal yang mulai menghampiri tanganku tak kuhiraukan. Belum menginjak lima menit, kekasihku terlelap.

*****

Entah bagaimana ceritanya, kini aku yang sedang berselimut dan kekasihku sudah bercengkerama dengan laptopnya kembali. Jemarinya lincah dan matanya terus tertuju ke layar yang sengaja ia redupkan. Aku memilih diam dan menatap kekasihku yang nampaknya sedang kebanjiran ide. Tak ada jeda panjang dari setiap ketukannya di papan huruf.

Menatapi kekasihku sedang menulis adalah hobiku sejak pertama bertemu.

Masih hangat dalam ingatanku detik-detik awal aku berjumpa dengan sosoknya di suatu kedai kopi. Ia terduduk di samping jendela dan jarinya tak berhenti mengetik. Aku menatapnya dari jauh dengan secangkir kopi hitam yang terus kusesap setiap kali ia tersenyum di hadapan kata-katanya sendiri. Seorang penyair sedang menghibur pengunjung dengan sajak-sajak jatuh cinta yang kurasa dibuat khusus untukku dan calon kekasihku. Entah apa yang membuatku berani untuk mendekatinya dan berdalih ingin mewawancarainya seputar buku dan menulis. Untuk keperluan penelitian kampus, ujarku penuh kebohongan. Aku tak takut sama sekali kebohonganku akan terbongkar. Setelah bertanya tentang prosedur wawancara yang akan kulakukan, ia bersedia dan memasung senyum selama kami berbincang. Sejak saat itu, aku tidak pernah menyerah untuk mencari kesempatan berdekatan dengannya.

Hingga detik ini dia ada di hadapanku. Hanya terpaut beberapa jengkal saja.

 “Kebiasaan suka ngelihatin diam-diam, nih.”

Suaranya memecah lamunanku. Aku bangkit dan beringsut dari posisi tidur, lalu menjadikan pahanya sebagai bantal.

“Tulisan aku udah selesai,” katanya sembari mengusap-usap rambutku.

“Tentang apa?”

“Tujuan aku ikut tantangan ini,” tawa menyusul sesaat setelah ia mengujarkan tuturannya.

Aku mengernyit kebingungan. “Lah, kenapa ketawa?”

“Sederhana banget tulisannya. Orang lain kayaknya lebih bagus, deh. Malu aku.”

Kekasihku tidak pernah meragu ihwal tulisannya. Ini adalah momen pertama ia merendahkan kalimat-kalimat yang telah ia untai. Aku bangun dari nyamannya paha kekasihku, lalu mengambil laptopnya. Ingin tahu sesederhana apa tulisannya yang biasanya aku sangat kagumi.

Kekasihku berkisah tentang betapa menulis selalu bisa menenangkan dirinya sejak ia kecil. Setiap teriakan di luar kamarnya sewaktu ia berumur tujuh tahun terkesan lenyap saat ia menulis. Ia memilih tenggelam dengan kata dan tanda baca setiap kali bel istirahat sekolah berdentang. Menulis adalah caranya untuk menenangkan diri setelah beradu argumen denganku tentang makna skala prioritas.

Seperti biasa, semua kata yang ada di layar itu hanyalah kejujuran.

Entah paragraf ke berapa, kekasihku menuliskan bahwa tantangan ini ia terima demi mengembalikan jiwa menulisnya yang sedikit memudar. Blog yang dulu ia rajin hidupi dengan tulisan-tulisan indahnya mendadak sepi. Semua draf yang ada di sana tertahan dan tidak menemui akhir. Ia mengakui sedang gagap dalam mengisahkan sesuatu. Oleh karena itu, kekasihku merasa butuh sesuatu yang mampu membuatnya konsisten menulis kembali. Harapannya, tantangan ini menebus keinginannya.

Kekasihku hanya mampu menulis enam paragraf saja. Namun aku menyukai semua rasa yang tertuang di sana. Matanya menyelidik saat aku mengembalikan laptop ke pangkuannya.

“Layak dibaca gak?”

Aku menghadapkan tubuhnya ke arah tubuhku.

“Aku suka enam paragraf itu, Sayang. Enggak ada yang salah,” kataku sembari mengelus punggung tangannya. “Tapi kalau kamu merasa butuh sesuatu untuk mengembalikan semangat menulis kamu, semoga tantangan ini membantu,” lanjutku.

Ia mengembuskan napas panjang, lalu mengangguk.

Aku mengenal kekasihku sebagai seseorang yang pantang menyerah. Ia akan melakukan apa pun untuk menggapai keinginannya. Jika ia berharap menemukan lagi kata-kata yang hilang dalam benaknya, aku tentu saja percaya ia bisa melakukannya.

Aku akan melakukan apa pun agar bisa melihat lagi kekasihku memasung senyum di hadapan kata-katanya sendiri.