Kamis, 14 Mei 2020

Saya, Cinta, dan Imaji yang Diaminkan Setiap Beribadah

Image shared by uglyhorse. Find images and videos on We Heart It - the app to get lost in what you love.

Saat membaca judul ini, senyum saya sedikit mengembang. Tak menyangka saya akan seberani ini untuk menuliskan cerita hidup yang cukup tidak menyenangkan di sini. Saya tahu, kalian sudah jengah dengan tulisan penuh melankolia dan mengharu biru. Kisah ini sudah menuntut untuk dikeluarkan sejak lama. Jadi, bersabarlah sejenak. Si Empu blog ini akan mengisahkan kejadian menyenangkan pada tulisan-tulisan selanjutnya.

Saya selalu memiliki imaji seperti ini:

Suatu hari, saya akan terbangun dari tidur yang mengenyangkan. Menikmati hening pagi selama beberapa detik, lalu menatap wajah seseorang yang terlelap di samping saya. Mensyukuri setiap langkah yang sudah saya ambil untuk bisa berdampingan dengan dia. Mensyukuri kemauan dia untuk hidup bersama saya. Melayangkan jari di atas kelopak matanya yang selalu membuat saya terus jatuh cinta. Enggan untuk menggangu tidurnya yang pulas. Detik selanjutnya ia memicingkan matanya, lalu tersenyum. Tangannya merengkuh tangan saya. Setelah itu, saya akan memasrahkan waktu untuk bergerak selambat-lambatnya.

Imaji tersebut selalu saya ceritakan di tengah doa saya. Seiring berjalannya waktu, saya mulai sadar bahwa imaji tersebut semakin tidak mungkin untuk terjadi. Saya beritahu alasannya, ya.

Saya sudah sempat menjalin hubungan dengan beberapa kepala. Jika dirunut secara serius, pacar pertama saya adalah seorang perempuan hebat yang sudi mendampingi saya berkembang; dari kepribadian anak  SMA kelas dua hingga mahasiswa semester tiga. Untuk hubungan yang satu ini, saya adalah sosok antagonis. Saya yang memilih renggang karena alasan yang terlalu kekanak-kanakan; ibu saya tidak setuju melihat anaknya berpacaran di kampus. Walhasil, tiga tahun setengah berhubungan dengannya harus rubuh tanpa akhir yang menyenangkan.

Hubungan kedua saya bahkan tak bisa dilabeli sebagai pacaran. Semester lima di kampus, setahun pascaputus dari perempuan pertama, saya sudah ingin menjalin hubungan lagi dengan seorang perempuan lucu nan cerdas. Untuk kisah ini, saya tetap menjadi orang yang bejat. Menanggalkan sesuatu yang bahkan belum terjalin sama sekali. Saya mundur pelan-pelan tanpa alasan yang jelas. Kemungkinan besar saya mudah sekali bosan.

Untuk itu, tulisan ini saya layangkan untuk diri saya sendiri yang sudah menyia-nyiakan dua perempuan hebat hanya karena alasan yang nirlogis. Dua perempuan yang sudah meluangkan waktunya untuk menyemangati saya setiap malam tatkala saya merasa tidak mampu menyelesaikan tugas kuliah. Dua perempuan yang selalu membuatkan kue saat saya berulang tahun dengan dalih tidak boleh ada yang melewatkan ulang tahun tanpa tiup lilin. Dua perempuan yang tak luput mengingatkan saya waktu salat. Saya sudah melewatkan kesempatan untuk berkembang dengan perempuan hebat yang sangat mandiri dan memiliki pendirian yang kuat. Jika kalian membaca tulisan ini, saya harap kalian sudah memaafkan diri sendiri karena kegagalan kita adalah seutuhnya kesalahan saya. Semoga Tuhan memberikan kebahagiaan secukupnya dan tidak ada lagi laki-laki berengsek seperti saya yang mengisi hidup kalian.

Masih ingat dengan imaji yang saya ceritakan di bagian awal tulisan ini? Imaji yang saya anggap tidak akan terjadi? Kalimat-kalimat selanjutnya adalah alasan yang mana membuat saya percaya imaji tersebut takkan terlaksana.

Karma bekerja seadil Munkar dan Nakir menentukan perilaku baik dan buruk. Setelah menyudahi hubungan dengan dua perempuan pertama, saya hanya memiliki dua hubungan serius lainnya yang juga kandas. Kali ini, skenario dibalik dan saya yang ditinggalkan ketika sayang masih bersarang dalam hati saya. Pertama, dia menyudahi hubungan kami setelah ia secara terang-terangan mengakui telah memiliki dambaan hati yang lain. Apa yang saya lakukan saat mendengar perkataannya? Terdiam, tertawa, lalu mengakhiri panggilan. Semenjak saat itu, kami tidak ada komunikasi sama sekali. Saya enggan membuka luka lama. Pun ia enggan menjelaskan lebih lanjut.

Hubungan kedua saya berawal sangat manis; makan malam berdua sembari menonton teve yang sedang menyiarkan acara pencarian bakat, menelusuri setiap toko buku yang ada di sekitar Melbourne, hingga enggan melepas peluk saat ia akan pulang ke tanah lahirnya. Sayang sekali, keindahan tak dapat mencapai waktu setahun. Dia menghubungi saya dan menyatakan kehidupan harus terus berjalan. Ia telah dijodohkan dengan seseorang yang dirasa pantas dengannya. Apa yang saya lakukan saat mendengar perkataannya? Terdiam, tertawa, lalu menuntut penjelasan. Akhirnya, mengalirlah kisah anak penurut yang enggan membantah orang tuanya walaupun dengan begitu ia telah mengorbankan hati lain.

Empat hubungan itu telah mengajarkan saya untuk lebih memahami diri sendiri dan tidak terlalu memercayakan hati kepada orang lain. Semenjak patah hati terakhir (yang juga patah hati terhebat saya), jatuh cinta terasa sangat tawar. Meletup pada garis awal, lalu meredup di tengah jalan. Saya sudah mencabut imaji yang kerap saya layangkan kepada Tuhan. Tidak ada lagi bayangan kamu sedang terlelap di samping saya. Begitu pun pelukan yang melambatkan waktu.

Secara resmi, saya menutup diri dari apa-apa yang bisa mematahkan diri.

Secara resmi, saya menendang definisi cinta yang dimanifestasikan dalam bentuk pasangan hidup.

Secara resmi, saya menghidupkan imaji baru dalam doa.

Suatu hari, saya akan terbangun dari tidur yang mengenyangkan. Menikmati hening pagi selama beberapa detik, lalu membereskan kasur yang seprai dan selimutnya sudah berserakan di lantai. Saya akan membuat kopi, membuka jendela rumah yang menghadap ke timur bumi, lalu menyetel lagu Sinatra. Setelah matahari sudah mulai memanjat, saya akan beralih ke perpustakaan pribadi yang mana hati saya hidup di dalamnya. Saya biarkan diri ini tenggelam dalam kata-kata hingga senja larut begitu saja. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar