Saat membaca judul ini, senyum saya sedikit
mengembang. Tak menyangka saya akan seberani ini untuk menuliskan cerita hidup
yang cukup tidak menyenangkan di sini. Saya tahu, kalian sudah jengah dengan
tulisan penuh melankolia dan mengharu biru. Kisah ini sudah menuntut untuk
dikeluarkan sejak lama. Jadi, bersabarlah sejenak. Si Empu blog ini akan mengisahkan
kejadian menyenangkan pada tulisan-tulisan selanjutnya.
Saya selalu memiliki imaji seperti ini:
Suatu hari, saya akan terbangun dari tidur
yang mengenyangkan. Menikmati hening pagi selama beberapa detik, lalu menatap
wajah seseorang yang terlelap di samping saya. Mensyukuri setiap langkah yang
sudah saya ambil untuk bisa berdampingan dengan dia. Mensyukuri kemauan dia
untuk hidup bersama saya. Melayangkan jari di atas kelopak matanya yang selalu
membuat saya terus jatuh cinta. Enggan untuk menggangu tidurnya yang pulas.
Detik selanjutnya ia memicingkan matanya, lalu tersenyum. Tangannya merengkuh
tangan saya. Setelah itu, saya akan memasrahkan waktu untuk bergerak
selambat-lambatnya.
Imaji tersebut selalu saya ceritakan di
tengah doa saya. Seiring berjalannya waktu, saya mulai sadar bahwa imaji
tersebut semakin tidak mungkin untuk terjadi. Saya beritahu alasannya, ya.
Saya sudah sempat menjalin hubungan dengan
beberapa kepala. Jika dirunut secara serius, pacar pertama saya adalah seorang
perempuan hebat yang sudi mendampingi saya berkembang; dari kepribadian
anak SMA kelas dua hingga mahasiswa
semester tiga. Untuk hubungan yang satu ini, saya adalah sosok antagonis. Saya
yang memilih renggang karena alasan yang terlalu kekanak-kanakan; ibu saya
tidak setuju melihat anaknya berpacaran di kampus. Walhasil, tiga tahun
setengah berhubungan dengannya harus rubuh tanpa akhir yang menyenangkan.
Hubungan kedua saya bahkan tak bisa dilabeli
sebagai pacaran. Semester lima di
kampus, setahun pascaputus dari perempuan pertama, saya sudah ingin menjalin
hubungan lagi dengan seorang perempuan lucu nan cerdas. Untuk kisah ini, saya
tetap menjadi orang yang bejat. Menanggalkan sesuatu yang bahkan belum terjalin
sama sekali. Saya mundur pelan-pelan tanpa alasan yang jelas. Kemungkinan besar
saya mudah sekali bosan.
Untuk itu, tulisan ini saya layangkan untuk
diri saya sendiri yang sudah menyia-nyiakan dua perempuan hebat hanya karena
alasan yang nirlogis. Dua perempuan yang sudah meluangkan waktunya untuk
menyemangati saya setiap malam tatkala saya merasa tidak mampu menyelesaikan
tugas kuliah. Dua perempuan yang selalu membuatkan kue saat saya berulang tahun
dengan dalih tidak boleh ada yang melewatkan ulang tahun tanpa tiup lilin. Dua
perempuan yang tak luput mengingatkan saya waktu salat. Saya sudah melewatkan
kesempatan untuk berkembang dengan perempuan hebat yang sangat mandiri dan
memiliki pendirian yang kuat. Jika kalian membaca tulisan ini, saya harap
kalian sudah memaafkan diri sendiri karena kegagalan kita adalah seutuhnya
kesalahan saya. Semoga Tuhan memberikan kebahagiaan secukupnya dan tidak ada
lagi laki-laki berengsek seperti saya yang mengisi hidup kalian.
Masih ingat dengan imaji yang saya ceritakan
di bagian awal tulisan ini? Imaji yang saya anggap tidak akan terjadi?
Kalimat-kalimat selanjutnya adalah alasan yang mana membuat saya percaya imaji
tersebut takkan terlaksana.
Karma bekerja seadil Munkar dan Nakir
menentukan perilaku baik dan buruk. Setelah menyudahi hubungan dengan dua
perempuan pertama, saya hanya memiliki dua hubungan serius lainnya yang juga
kandas. Kali ini, skenario dibalik dan saya yang ditinggalkan ketika sayang
masih bersarang dalam hati saya. Pertama, dia menyudahi hubungan kami setelah
ia secara terang-terangan mengakui telah memiliki dambaan hati yang lain. Apa
yang saya lakukan saat mendengar perkataannya? Terdiam, tertawa, lalu
mengakhiri panggilan. Semenjak saat itu, kami tidak ada komunikasi sama sekali.
Saya enggan membuka luka lama. Pun ia enggan menjelaskan lebih lanjut.
Hubungan kedua saya berawal sangat manis;
makan malam berdua sembari menonton teve yang sedang menyiarkan acara pencarian
bakat, menelusuri setiap toko buku yang ada di sekitar Melbourne, hingga enggan
melepas peluk saat ia akan pulang ke tanah lahirnya. Sayang sekali, keindahan
tak dapat mencapai waktu setahun. Dia menghubungi saya dan menyatakan kehidupan
harus terus berjalan. Ia telah dijodohkan dengan seseorang yang dirasa pantas
dengannya. Apa yang saya lakukan saat mendengar perkataannya? Terdiam, tertawa,
lalu menuntut penjelasan. Akhirnya, mengalirlah kisah anak penurut yang enggan
membantah orang tuanya walaupun dengan begitu ia telah mengorbankan hati lain.
Empat hubungan itu telah mengajarkan saya untuk
lebih memahami diri sendiri dan tidak terlalu memercayakan hati kepada orang
lain. Semenjak patah hati terakhir (yang juga patah hati terhebat saya), jatuh
cinta terasa sangat tawar. Meletup pada garis awal, lalu meredup di tengah
jalan. Saya sudah mencabut imaji yang kerap saya layangkan kepada Tuhan. Tidak
ada lagi bayangan kamu sedang terlelap di samping saya. Begitu pun pelukan yang
melambatkan waktu.
Secara resmi, saya menutup diri dari apa-apa
yang bisa mematahkan diri.
Secara resmi, saya menendang definisi cinta
yang dimanifestasikan dalam bentuk pasangan hidup.
Secara resmi, saya menghidupkan imaji baru
dalam doa.
Suatu hari, saya akan terbangun dari tidur
yang mengenyangkan. Menikmati hening pagi selama beberapa detik, lalu
membereskan kasur yang seprai dan selimutnya sudah berserakan di lantai. Saya
akan membuat kopi, membuka jendela rumah yang menghadap ke timur bumi, lalu
menyetel lagu Sinatra. Setelah matahari sudah mulai memanjat, saya akan beralih
ke perpustakaan pribadi yang mana hati saya hidup di dalamnya. Saya biarkan
diri ini tenggelam dalam kata-kata hingga senja larut begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar