Rabu, 04 April 2018

Pengalaman Mengikuti Seleksi Duta Bahasa Jawa Barat 2017

Pak Dadang Sunendar pernah berkata bahwa duta bahasa adalah ikon bagi pengguna bahasa lainnya. Seorang ikon yang memiliki tekad untuk menggunakan bahasa secara baik dan benar.  Seseorang yang giat untuk berperan aktif dalam dunia kebahasaan dan kesastraan. Saya menyimak pernyataan beliau selama pembukaan Duta Bahasa Nasional 2017 sembari bertanya pada diri sendiri.

Apakah saya siap untuk menerima tanggung jawab sebagai duta bahasa?



*****

Di Perempatan Gegerkalong, 28 Juni 2017
Saya bertemu Teh Robita di depan pangkalan ojek. Saya baru membeli ayam goreng dan beliau baru turun dari angkutan kota. Sebagai seorang penggemar rahasia (yang pada dasarnya sudah bukan rahasia lagi), saya selalu senang bertemu dengan Teh Robita. Saya terinspirasi oleh beliau untuk terlibat dalam dunia Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Selama perkuliahan, saya selalu menyimak cerita-cerita yang disampaikan oleh para dosen mengenai Teh Robita. Secara garis besar: beliau sangat luar biasa.

Saat itu, Teh Robita langsung mengajak saya untuk mengikuti seleksi Duta Bahasa. Cobain aja dulu, katanya. Saya tidak ada minat untuk mengikuti ajang tersebut karena a) pekerjaan saya sudah sangat melelahkan, b) salah satu sudut hati saya mengatakan bahwa ajang pencarian duta hanya diikuti oleh orang-orang yang enak dipandang, dan c) saya takut gagal. Teh Robita meminta saya untuk memikirkan lagi keputusan yang akan saya ambil. Saya mencubit potongan ayam goreng sembari meyakinkan beliau bahwa saya akan memikirkan keputusan tersebut.

*****

Di Warnet Gegerkalong, 30 Juni 2017
Seperti yang sudah bisa ditebak, saya lupa untuk mempertimbangkan ajakan Teh Robita. Pada hari terakhir pengumpulan berkas, saya akhirnya memaksakan diri untuk mengikuti seleksi Duta Bahasa. Beberapa jam sebelum pendaftaran ditutup, saya mengirimkan sebuah foto buram yang saya ambil dari Facebook, pindaian KTP yang sebenarnya enggan saya kirimkan karena fotonya sangat tidak jelas, dan sebuah esai. Judul esai saya adalah Pluralisme Bahasa di Indonesia sebagai Unsur Sentral dalam Pembentuk Kebhinekaan. Saya menulis esai tersebut selama dua jam. 

Kalian sudah bisa membayangkan isi esai yang ditulis selama dua jam di warnet sembari mendengarkan anak-anak yang teriak karena mereka kalah pada permainan daring?

Tidak bagus.

Saya hanya mengelaborasi seluruh informasi yang saya dapatkan selama perkuliahan dan data-data yang saya dapatkan di internet. Saya selalu tersenyum ketika membaca esai tersebut. Saya menemukan penulisan tanda baca tidak pada tempatnya, penggunaan istilah-istilah kebahasaan agar terlihat cendekia, hingga penggunaan majas yang tidak diperlukan. Ironis.

Beberapa menit setelah saya mengirimkan dokumen, saya meringis. 

Saya bahkan salah dalam penulisan kebhinekaan yang seharusnya kebinekaan.

Bukti Partisipasi. Takut disangka hoaks.


*****

Di dalam mobil Kang Adi, 4 Juli 2017
Waktu itu, saya sedang menghabiskan waktu bersama Kang Adi. Kami berencana untuk menjemput Ferani di tempat pemberhentian minibus. Tiba-tiba, Teh Ari mengirimkan pesan melalui WhatsApp. 

Masuk 100 besar gak?

Saya teringat bahwa pengumuman 100 besar dipercepat menjadi tanggal 4 Juli. Saya langsung melihat ponsel: tidak ada notifikasi apa-apa. Mencelos hati saya. Walaupun saya sadar bahwa esai yang saya berikan tidak bagus, tapi ada satu titik di hati saya yang menginginkan lolos seleksi. Setelah berbesar hati, saya akhirnya menerima kenyataan dan bergegas untuk menjemput Ferani.

Di perjalanan, saya baru menyadari bahwa saya tidak memasang kartu SIM yang mengandung nomor telepon saya. Kartu SIM tersebut saya simpan di kamar. Akhirnya, saya memutuskan untuk mengecek posel saat itu juga, lalu senyum merekah di bibir saya.


*****
Di Balai Bahasa Jawa Barat, 6 Juli 2017
Setelah mengumpat dalam hati karena angkot yang saya tumpangi enggan untuk melaju sesegara mungkin, saya akhirnya sampai di tempat pelaksanaan taklimat. Waktu itu, belum banyak peserta yang sudah duduk di dalam ruangan. Beruntung, saya masuk bersamaan dengan Teh Ari (kakak tingkat saya di kampus) sehingga kami bisa memutuskan untuk duduk berdampingan. Sembari menunggu pembukaan, saya bertanya banyak hal tentang program guru bantu. Saya akan membuat pos khusus untuk program guru bantu!

Pembukaan dimulai. Saya langsung menyebarkan pandangan saya ke seluruh sudut ruangan. Saya adalah tipikal manusia yang menghakimi seseorang berdasarkan penampilan. Dan, saya selalu menghakimi orang lain sebagai orang yang jago dalam berbagai hal. Jika kalian mempunyai kebiasaan yang sama dengan saya, kalian bisa merasakan rasa gelisah yang muncul pada waktu itu. Saya menyaksikan mereka berbicara dengan penuh percaya diri dan bertanya dengan kosakata yang mengagumkan. Minder? Tentu saja. Nadhira (yang nantinya menjadi pasangan final saya) duduk beberapa kursi di sebelah kanan saya. Saya bahkan minder ketika dia memberikan pertanyaan kepada panitia. Suaranya itu lho!

Panitia mengumumkan beberapa kegiatan yang akan dilaksanakan pada seleksi 100 besar; Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI), penulisan esai, dan wawancara.

Saya langsung berpikir, "makanan sehari-hari nih."

*****
Di Hotel Travello, 10 Juli 2017
Bangun kesiangan karena menghapalkan beberapa kosakata bahasa Sunda yang saya kira keren adalah sebuah tragedi. Saya harus mendaki tanjakan Cipaku yang nyaris membentuk sudut siku-siku (mode hiperbola: nyala) dengan waktu secepat mungkin. Saya lupa bahwa energi saya seharusnya disimpan untuk seleksi, bukan untuk mendaki dan menguap sepanjang jalan.

Sebelum seleksi dimulai, seluruh peserta menyimak pemaparan Pak Khak (pada saat itu masih menjabat sebagai Kepala Balai Bahasa Jabar) mengenai kondisi kebahasaan di Indonesia. Saya yang masih dalam keadaan menahan kantuk dan lapar harus menyimak beragam data dan kasus  kebahasaan. Saya melihat peserta lain mencatat informasi yang diberikan oleh beliau. Saya? Berusaha fokus saja sulit, apalagi berusaha untuk menulis.

Sesi UKBI dimulai dan saya menjalani sesi tersebut dengan mudah. Saya sudah melaksanakan UKBI selama empat kali di kampus. Bagi mahasiswa Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, nilai UKBI mencerminkan tingkat keterampilan berbahasa yang kami miliki. Setiap tahun, kami berusaha untuk meningkatkan nilai UKBI. Oleh karena itu, saya masih bisa tersenyum pada saat sesi pertama selesai.

Permasalahan bermunculan ketika sesi kedua dimulai. Menulis esai dalam tiga bahasa dengan topik dadakan itu terdengar mudah, namun sulit sekali dilaksanakan. Saya hanya mempunyai waktu sekitar 30 menit untuk menulis setiap esai. Pada saat itu, saya mengumpat pada diri sendiri karena saya tidak mencatat berbagai data yang disampaikan oleh Pak Khak. Padahal, data tersebut sangat mendukung terhadap esai yang saya buat.

Saya menulis esai berbahasa Indonesia terlebih dahulu. Tulisan saya masih bisa dibaca.

Lalu, saya menulis esai berbahasa Inggris. Tulisan sudah mulai tidak rapi. Tidak memperhatikan tenses sama sekali karena a) buru-buru dan b) tidak paham.

Terakhir, saya menulis esai berbahasa Sunda. Tulisan sudah sulit untuk dibaca. Jari telunjuk dan jempol saya sudah memerah. Saya menerjemahkan esai berbahasa Indonesia saya ke dalam bahasa Sunda yang mana hal tersebut sangat tidak kreatif.

Intinya: sesi kedua pada babak 100 besar tidak berjalan dengan baik.

Sesi ketiga adalah sesi wawancara. Sebagai orang yang senang menyimak dan selalu gugup ketika harus berbicara secara formal, saya (tentu saja) gentar. Berbagai macam pertanyaan yang saya kira akan diberikan oleh pewawancara mulai bermunculan.

Apa visi dan misi Anda untuk menjadi seorang duta bahasa?

Apa yang dimaksud dengan pergeseran bahasa dan apa kaitannya dengan posisi Anda sebagai duta bahasa?

Apa yang Anda lakukan jika anak Anda lebih memilih untuk berbicara bahasa Inggris daripada bahasa daerah?

Sebutkan padanan kata mainstream, on line, surrogate mother, caption, castration?

Ketika nama saya dipanggil, saya sudah tidak sanggup menahan gugup. Walhasil, ketika pewawancara menanyakan mengenai berbagai hal, saya menjawabnya dengan sangat tidak rapi. Padahal, pertanyaan yang disampaikan oleh pewawancara hanya seputar daftar riwayat hidup yang telah saya kumpulkan sebelum pelaksanaan seleksi tahap 2. Kalimat yang saya bentuk sangat tidak terstruktur. Pada saat itu, saya yakin bahwa panitia tidak akan mungkin meloloskan saya ke babak selanjutnya.

Saat pewawancara mengizinkan saya untuk kembali ke tempat peserta, hati saya berkata: sungguh berani kamu ikut ajang Duta Bahasa sedangkan kamu belum becus menggunakan bahasa dengan baik dan benar.

Berikut ini adalah foto saya sebelum diwawancarai oleh panitia. Terlihat sekali saya gugup dan oh-tidak-fotogenik-sekali.
100 Besar!

*****

Di Jalan Jurang, 12 Juli 2017
Saya menghabiskan hari itu dengan membaca novel dan tidur. Seharusnya saya bekerja pada hari Rabu, tapi saya lupa mengapa saya tidak berangkat kerja. Tidak berpengaruh pada inti pos ini, kan? 

Sekira pukul 11.00 WIB, ponsel saya berdering dan saya terdiam sejenak. Nomor kantor. Saya tidak siap untuk mendengar kenyataan bahwa saya tidak diterima. Tapi, rasa penasaran membuat saya mengangkat panggilan tersebut.

Hasilnya, saya tertegun selama beberapa detik. Otak saya mendadak lambat dalam memproses informasi yang disampaikan. Orang yang menelepon bertanya ihwal kesiapan saya untuk melanjutkan perjuangan di seleksi Duta Bahasa dan saya menjawab saya bersedia.

Ternyata, perjuangan saya belum selesai. 

Urutan terakhir!
*****

Di Balai Bahasa Jawa Barat, 14 Juli 2017
Balai Bahasa Jawa Barat tidak pernah terlihat menakutkan. Cat biru yang melapisi sekeliling gedung biasanya mampu membuat saya relaks. Namun, saya tidak merasa nyaman berada di dalam Balai Bahasa. Saya merasakan aura kompetisi yang cukup kuat.

Saya datang terlambat, tentu saja. Saya tidak menyengajakan diri untuk terlambat, namun kondisi Jalan Setiabudhi yang tidak pernah dapat diprediksi membuat saya terjebak macet. Saya langsung masuk ruangan dan mengeluarkan buku. Waktu itu, saya berkenalan dengan Yusra, finalis Duta Bahasa yang pernah berlaga di ajang yang sama untuk kategori pelajar. Gentar? Tentu saja.

Panitia mengumumkan bahwa mereka telah menentukan pasangan (putra-putri) untuk rangkaian kegiatan final. Pasangan ini diharapkan mampu bekerja sama dan berdiskusi ihwal tugas individual (baca: proposal dan salindia kegiatan). Saya dipasangkan dengan Nadhira. Perempuan dengan suara yang sangat berkarisma. Dia bercerita tentang perjuangannya untuk hadir pada acara taklimat 30 besar. Padahal, dia sedang melaksanakan KKN di daerah Pangandaran. Komitmennya luar biasa, kan? Salut!

Para finalis harus menghadiri sesi pemotretan setelah istirahat salat jumat. Waktu itu, saya pamit kepada Nadhira untuk pulang ke indekos terlebih dahulu. Setelah bertukar nomor ponsel, kami berpamitan.

Seharusnya, saya belajar dari kesalahan tadi pagi bahwa Jalan Setiabudhi tidak pernah bisa diprediksi.

Kejadian tadi pagi terjadi lagi. Setelah saya ditelepon beberapa kali oleh Nadhira dan Teh Anggi (panitia Dubas Jabar paling sabar dan rekan kerja LAP 2018), saya akhirnya sampai. Telat? Tentu saja.

Saya diminta untuk berpose dua kali; sendirian dan bersama Nadhira. Setelah panitia harus bersabar karena saya telat, mereka juga harus bersabar karena saya sangat tidak jago bersolek di depan kamera. Bahkan untuk gaya paling sederhana: foto KTP. 

Hasil foto:
Kemeja abu-abu dan celana cokelat? I know ....

Pengarah senyum: Kang Vicky.

Pengarah gaya: Kang Vicky, Teh Uli, dan Kang Reqy.
*****
Di Saung Angklung Udjo, 15 Juli 2017
Sehari setelah pemotretan, para finalis diharuskan untuk mengunjukkan bakat masing-masing. Sebagai alumni Departemen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, saya memilih untuk membacakan puisi. Kosber, khususnya Ika, meminta saya untuk bernyanyi lagu Adele (spesifik sekali ya), tapi saya menolak. Bukan saatnya mempermalukan diri sendiri di depan finalis lain. Setidaknya, membaca puisi adalah zona nyaman saya. Pada kesempatan itu, saya memilih untuk bermain aman. 

Beberapa jam sebelum pelaksanaan, saya masih mencari puisi yang pas untuk dibacakan. Berbagai macam opsi mulai bermunculan: Ngiau karya Sutarji Calzoum Bachri, Pada Suatu Pagi Hari karya Sapardi Djoko Damono, Ngaben karya Pranita Dewi, hingga Jante Arkidam karya Ajip Rosidi. Saya mendapatkan masukan dari Kang Hilmi dan Teh Ari sebelum berlaga pada malam bakat. Setelah melalui beragam pertimbangan, saya memilih puisi Ngaben.

Ketika saya sampai di Saung Angklung Udjo, saya tidak merasa terlalu gugup. Saya mulai mengenal finalis lain dan bercanda dengan mereka. Meleburkan diri dengan kondisi sekitar adalah salah satu cara terbaik untuk mengenal orang lain. Saya menyaksikan dua puluh sembilan penampilan yang sangat menakjubkan! Minder lagi? Tentu saja.

Ketika nama saya dipanggil oleh Kang Ridwan dan Teh Venita (dua pewara kondang jebolan Dubas Jabar), saya mulai gelisah. Banyak peserta yang menujukkan bakatnya dalam bidang pembacaan puisi dan mereka sangat luar biasa. Ketika saya sudah maju ke tengah arena pertunjukan, saya tidak mendengar apapun kecuali degup jantung saya yang lebih cepat dari biasanya.

Tenang. Kamu pasti bisa. Orang lain juga bisa.

Lalu, saya melihat Figia, Hilda, dan Teh Chintia. Mereka tersenyum sembari menempatkan kamera ponsel ke arah saya.  Tiga menit selanjutnya, saya membacakan puisi mbok Pranita Dewi.

Dan, saya merasa lega.

*****

Di Balai Bahasa Jawa Barat, 17-18 Juli 2017
Pembekalan selama dua hari terasa sangat melelahkan. Agenda kegiatan kami sangatlah padat; empat sesi pematerian, tantangan media sosial berupa penulisan takarir gambar (caption) di Instagram, tes wicara publik, dan simulasi presentasi tematik. Hal yang paling menyenangkan adalah saya bisa mengenal finalis secara lebih personal. Saya duduk di dekat Kang Kevin (jago sekali berbahasa Arab dan anggota keluarga Hyuga), Kang Yusra (definisi sebenarnya dari peribahasa kecil-kecil cabe rawit), dan Kang Fahmi (finalis multitalenta dan ternyata indekosnya dekat dengan indekos saya). 

Kami mendapatkan materi dari Pak Khak (pemahaman bahasa dan studi kasus), Bu Ummi (kebahasaan dan penulisan proposal), DJ Khaled Arie (wicara publik), dan Pak Desmon (sejarah). Pada saat pembekalan, saya melihat kualitas finalis yang memang sangat layak untuk menjadi duta bahasa. Mereka sangat aktif untuk menyampaikan pertanyaan dan pendapat mengenai suatu permasalahan. Dalam sesi pembekalan, saya hanya menyampaikan pendapat pada saat sesi Bu Ummi (karena itu diwajibkan) dan mengacungkan tangan untuk berpendapat pada saat Bu Ade menyampaikan pertanyaan. Sayangnya, acungan tangan saya tidak bertuan. 

Panitia memberikan tantangan kepada finalis untuk menuliskan sebuah takarir gambar mengenai topik kebahasaan. Waktu itu, saya menulis takarir gambar yang sangat panjang.

"Aku pengen gedang." Kalimat itu sempat membuat orang tua saya bingung. Sebagai penutur bahasa Indonesia, mereka tidak pernah menggunakan bahasa daerah untuk berkomunikasi dengan seluruh anaknya. Saya dan kakak-kakak saya adalah generasi pertama dalam keluarga yang menggunakan bahasa Indonesia sejak kecil. Oleh karena itu, orang tua saya cukup kaget setelah menyaksikan anaknya mengucapkan 'gedang' dengan penuh semangat. 
Hidup di tengah masyarakat yang plural membuat orang tua saya lebih memilih bahasa Indonesia daripada bahasa daerah. Pada awalnya, tidak ada masalah dengan keputusan tersebut. Permasalahan muncul saat kami harus pindah ke Purwakarta, suatu daerah dengan tingkat penggunaan bahasa Sunda yang masih tinggi. Cukup berbeda dengan daerah asal kami: Bandung. Walhasil, kami tidak dapat berkomunikasi dengan baik. Hampir seluruh masyarakat yang tinggal berdekatan dengan rumah kami adalah penutur bahasa Sunda. Beruntung, orang tua kami pernah menggunakan bahasa Sunda saat mereka kecil, jadi mereka dapat berkomunikasi dengan masyarakat. Sedangkan anak-anaknya hanya berbekal kata 'punten' dan 'nuhun' yang diajarkan sehari setelah kedatangan kami di Purwakarta. 
Pengalaman tersebut mengajarkan saya bahwa secepat apapun globalisasi melaju, sekeras apapun tantangan-tantangan dari beragam sektor menghantam, dan sekuat apapun pluralisme terbentuk, budaya akan tetap hidup jika ada yang menghidupinya. Bahasa akan tetap ada jika penutur masih menggunakannya. Bahasa daerah sudah seharusnya tetap hidup dan berkembang, begitu pula dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing. 
Pada akhirnya, kami sekeluarga memahami bahwa penggunaan bahasa tidak hanya dilihat dari aspek kebutuhannya saja. Bahasa harus dilihat dari nilai historis juga. Kami juga memahami bahwa penggunaan bahasa secara tepat adalah suatu cara untuk mempertahankan multikulturalisme. Kita perlu memahami bahwa usaha pelestarian bahasa itu dilakukan oleh penuturnya, bukan hanya pihak pemerintah, lembaga kebahasaan, atau duta bahasa saja. 
Mari kita belajar untuk menggunakan bahasa secara tepat. Tidak usah malu. Tidak perlu melihat prestise.
Sangat panjang dan bertele-tele, ya? :)

Salah satu tujuan penulisan takarir gambar ini adalah untuk memperkenalkan finalis duta bahasa beserta pemikirannya tentang kebahasaan kepada khalayak. Pada sesi ini, juri melakukan penilaian terhadap isi takarir gambar. Selain itu, warganet bisa melakukan diskusi dengan finalis melalui foto yang diunggah oleh akun @dubasjabar. Menarik, kan? 

Penilaian selanjutnya dilakukan dengan cara menunjukkan kemampuan wicara publik. Karena saya pernah mengikuti lomba debat, saya memilih untuk menjadi seorang moderator. Entah apa yang saya pikirkan waktu itu sehingga saya membuat sebuah skenario moderator untuk kegiatan lomba debat antarcalon kepala desa. Hal yang menggelikan adalah ketika penilaian yang diberikan berfokus pada penggunaan bahasa dan cara penyampaiannya, saya malah asyik mendalami peran sebagai moderator ekstra sabar yang menenangkan adu mulut dua calon kepala desa. 

Baik, silakan Pak A untuk menyampaikan .... Pak B, waktu Anda sudah habis. Baik, saya dapat poin Anda. Silakan duduk. Pak B, cukup!

Intinya: saya tidak bisa mengandalkan nilai wicara publik untuk bisa memenangkan kegiatan ini. :)

Saya berpikiran positif bahwa penilaian selanjutnya akan lebih baik dan pikiran tersebut kurang tepat. Simulasi presentasi tematik dibagi menjadi dua sesi; presentasi dengan tema dadakan dan presentasi takarir gambar yang sudah dibuat dengan menggunakan bahasa daerah/bahasa asing. Pada sesi pertama, saya mendapatkan topik kalau tidak salah pluralisme bahasa. Saya merasa cukup berhasil pada sesi tersebut. Dalam waktu satu menit, saya setidaknya bisa menyampaikan ide tanpa terbata-bata. Pada sesi kedua, saya mulai menjalankan strategi. Saya memilih untuk menggunakan bahasa Sunda pada saat mempresentasikan takarir gambar dan bahasa Inggris pada saat tanya jawab. 

Karena kami mendapatkan waktu untuk mempersiapkan naskah presentasi, saya merasa lancar pada saat presentasi. Lupa satu atau dua kata adalah hal yang wajah, pikir saya. Saya kira semuanya akan baik-baik saja. Ternyata, juri tidak perlu mempertanyakan isi takarir gambar kami. Juri punya wewenang untuk mempertanyakan apapun yang mereka inginkan, namun sesuai dengan koridor kebahasaan. Teh Mutiara (juri bahasa asing) meminta saya untuk mengeja satu kata. Aksen beliau sangat kental (?) sehingga saya tidak bisa memahami ujarannya.

A     :Can you spell blablablablabla?
Z     : Pardon?
A     :Can you spell blablablablabla?
Z     :Sorry, I didn't get the word.
A     :Once more, can you spell blablablabla?
Z     :*silent moment*
A     : Try
Z     : b-l-a-b-l-u-b-l-e-b-l-i

Keterangan:
blablablablabla adalah satu kata berbahasa Inggris yang cukup panjang, sedangkan b-l-a-b-l-u-b-l-e-b-l-i adalah hasil jerih payah saya untuk mengejakan kata yang disampaikan oleh Teh Mutiara.
Waktu itu, pikiran saya mulai datang lagi: sungguh berani kamu ikut ajang Duta Bahasa sedangkan kamu belum becus menggunakan bahasa dengan baik dan benar.

Saya mulai menerima kenyataan kalau saya tidak terlalu pantas untuk mendapat gelar juara. 30 besar sudah cukup membanggakan bagi saya. Pada titik tersebut, saya mulai merasa melankolis. Mungkin, perasaan itu muncul karena tekanan yang cukup berat dan fisik yang mulai kelelahan. Rasa menyesal dan lega mulai bercampur. Pembekalan berakhir dan saya setidaknya bisa beristirahat seharian. 

Pada akhir pembekalan, panitia memberikan samir kepada seluruh finalis. Mereka menyampaikan nilai sebuah samir bukan sebatas aksesori seorang duta. Samir adalah amanah yang diberikan dan pengingat bagi kami bahwa ada banyak hal yang harus kami lakukan untuk mengaktualisasikan fungsi duta bahasa. Pada saat prosesi menyelendangkan samir, Kang Vicky menyampaikan petuah-petuah yang seharusnya saya simak. Sayangnya, saya hanya berfokus pada satu pertanyaan yang berontak di dalam pikiran saya: apakah saya pantas?

Seluruh memori berisi perjuangan saya untuk mencapai titik 30 besar mulai terputar di otak saya. Kemacetan yang harus saya hadapi di Jalan Setiabudhi dan Cihampelas, wajah Ummi yang memberikan izin kepada saya untuk mengikuti seleksi, wajah Teh Erni yang mengantar saya untuk mencetak foto dan dokumen, wajah Kang Hilmi yang meminjamkan setelan beskap untuk sesi final, wajah Teh Robita yang meyakinkan saya bahwa seleksi ini layak dicoba, wajah Teh Ari yang menyemangati saya selama fase 30 besar, wajah Kosber yang bersemangat karena salah satu temannya bisa mendapatkan samir. Semua kenangan berdesakan dan meminta untuk diingat oleh saya. Apakah saya pantas?

Pertanyaan tersebut berbuah jawaban ketika Bu Ade menyelendangi saya.

Saya meyakinkan diri bahwa saya pantas untuk menjadi seorang duta bahasa.

Bu Ade dan anak-anak barunya!

*****
Di Hotel Travelo, 20 Juli 2017
Malam itu, beberapa jam sebelum pelaksanaan final, cemas mulai menggerayangi pikiran dan membuat saya enggan untuk tertidur. Saya berlatih untuk menyampaikan materi presentasi dalam waktu tiga menit. Proposal yang saya ajukan berisi tentang konsep pelaksanaan festival kebahasaan untuk memperingati Sumpah Pemuda. Saya mencoba untuk menyampaikan materi seefektif mungkin.

Pagi itu, saya segera berangkat ke lokasi pelaksanaan final bersama Kang Iqbal dan Kang Marshall. Mereka menyampaikan kecemasan yang mereka rasakan. Saya tersenyum. Setidaknya, ada dua finalis lainnya yang sama-sama cemas. Sesampainya di Hotel Travello, kami masuk ke ruangan pelaksanaan. Babak terbagi atas dua sesi. Sesi pertama adalah penilaian tertutup di mana kami perlu mempresentasikan proposal kegiatan yang telah kami buat. Tidak ada penonton yang diperbolehkan masuk pada sesi ini.

Saya dan Nadhira duduk berdampingan. Saya gugup, dia gugup. Saya bertanya, dia menjawab. Dia bertanya, saya menjawab. Itulah siklus kelakuan kami selama sesi pertama. Saat nama saya dipanggil, saya mulai mempresentasikan proposal kegiatan saya persis seperti apa yang saya lakukan selama latihan di indekos. Sesi tanya jawab juga berlangsung dengan lancar. Saya puas dengan performa saya selama sesi pertama. Nadhira juga menyampaikan presentasinya dengan sangat baik.

Gemetar.

Singkat cerita, sesi pertama selesai. Panitia akan mengumumkan enam belas peserta yang lolos ke sesi kedua. Saya senang karena Nadhira bisa masuk ke enam belas besar. Ketika nama pasangan terakhir disebutkan, hati saya mencelos. Nama saya tidak dipanggil oleh Kang Deri dan Teh Shinta (pewara kondang jebolan Dubas Jabar #2). Agar terlihat kuat dan tabah profesional, saya langsung tersenyum, tepuk tangan, dan mengacungkan jempol pada finalis lain. Saya membuat pose meminta ampunan kepada Teh Ari dan Teh Cintiana yang sudah hadir untuk menyemangati saya pada babak final. 

Namun, kejadian selanjutnya sangat membuat saya terkejut, bingung, senang, dan ingin mengumpat. Kang Deri mengumumkan bahwa ada dua finalis lagi yang akan diloloskan ke sesi kedua. Penonton langsung bersorak. Teh Shinta menyebutkan nama finalis yang masuk ke babak selanjutnya dengan cara yang membuat saya ingin terbahak-bahak.

"Finalis selanjutnya yang akan maju ke sesi kedua adalah nama yang sering dinyanyikan oleh Rita Sugiarto..... ZAINAL."

Period.
Antara lega dan ingin tertawa.
Beban yang muncul pada sesi kedua lebih berat daripada sesi pertama. Penonton akan ikut menilai kualitas duta bahasa yang masuk delapan belas besar. Saya berkomitmen untuk berbicara setenang dan serapi mungkin. Jangan memalukan institusi. Apalagi Bu Tri (Wakadek FPBS UPI) hadir pada sesi tersebut.

Ketika nama saya dipanggil, saya berjalan sebaik mungkin. Saya memasung senyum di bibir saya. Pokoknya, saya harus membuat penonton percaya bahwa saya layak masuk delapan belas besar. Sebelum sesi tanya jawab, saya diminta untuk memilih angka yang tersebar di salindia. Saya memilih nomor terakhir. Layar salindia menunjukkan satu singkatan: UKBI. Saya harus mengeksplorasi pemahaman saya tentang UKBI. Pada tahap ini, saya merasa lancar.

Saya merasakan cemas yang mulai berdatangan lagi. Sesi tanya jawab selalu membuat saya takut. Namun, saya tidak membiarkan senyum yang terpasung di bibir saya untuk melepaskan diri. Walaupun tangan saya gemetar, saya masih bisa tersenyum.

Pertanyaan pertama disampaikan oleh Pak Khak. Beliau meminta saya untuk memilih kata yang tepat; standarisasi atau standardisasi. Saya memilih salah satu kata dan menjelaskan rasionalisasi pilihan saya. Pak Khak mengangguk sembari menyadarkan kembali punggungnya.

Pertanyaan kedua disampaikan oleh Teh Gira. Beliau bertanya ihwal pengetahuan saya tentang kearifan lokal yang terdapat pada kegiatan menikah. Saya mengeksplorasi pemahaman saya tentang adat sawer yang terdapat pada pernikahan adat Sunda. Teh Gira tersenyum sembari mencoreti kertas di meja. Saya rasa, saya masih aman.

Pertanyaan ketiga disampaikan oleh Bu Christine. Beliau meminta saya untuk menerjemahkan Pancasila ke dalam bahasa Inggris. Beberapa kali saya meminta waktu kepada beliau. Walhasil, saya menerjemahkan Pancasila dengan kosakata yang saya miliki. Tidak terlalu buruk lah.

Saya melewati sesi kedua dengan cukup baik. Setidaknya, saya tidak terlalu memalukan teman-teman.

Setelah sesi kedua selesai, panitia mulai mengumumkan finalis yang masuk sepuluh besar dan, secara otomatis, mendapatkan peringkat pada pemilihan Duta Bahasa Jawa Barat 2017. Saya membandingkan kapasitas diri saya dengan delapan finalis laki-laki lainnya. Batin saya mulai berdebat; kamu masuk, kamu enggak, jangan rendah diri, jangan terlalu percaya diri.

Perdebatan tersebut berhenti ketika Kang Deri menyebutkan nama saya sebagai salah satu finalis yang masuk sepuluh besar. Saya melihat Teh Ari, Teh Cintiana, dan Kang Adi (beliau datang pada detik-detik akhir sesi kedua) bersorak. Saya ingin berlari ke sana dan ikut bersorak, tapi akal sehat saya masih berjalan. Saya melenggang ke atas panggung dengan menahan senyum agar tidak melebar. Hal yang paling menyenangkan adalah: Nadhira juga masuk sepuluh besar! Doa kami untuk lolos sepasang ke babak sepuluh besar dikabul oleh-Nya.

Setelah sepuluh finalis sudah berdiri di atas panggung, Kang Deri dan Teh Shinta mulai mengumumkan nama juara harapan 2 (Kang Fahmi-Teh Zara), juara harapan 1 (Teh Hikmah-Kang Binar), dan juara 3 (Kang Kevin dan Nadhira). Secara otomatis, saya menggamit pundak Kang Yusra. Suara-suara penonton yang saling berteriak membuat saya tidak konsentrasi. Kang Yusra menundukkan kepalanya. Momen ini sangatlah intens. Saya merasakan tangannya gemetar. Begitu juga tangan saya. Saya mengatakan satu kalimat sebelum nama pemenang diumumkan; siapa pun yang menang, kita harus saling bantu.

Dan, pewara menyebutkan nama saya dan Ninda sebagai pemenang. Secara otomatis, Kang Yusra dan Teh Wine menjadi juara 2.


Ketika Kang Adi berlari ke atas panggung dan mengangkat tubuh saya bak atlet yang memenangkan pertandingan sepak bola, ada sesuatu yang bergejolak dalam hati saya:

Rasa bangga pada diri sendiri.

Dan, perasaan yang bergejolak itu masih saya rasakan hingga saat ini.