Minggu, 25 April 2021

Menjemput Sahur Pertama

Hak Cipta: Allison Mae di Pinterest

        Saya jarang sekali mengingat detail sebuah mimpi. Tak berminat pula untuk mengingat. Untuk apa, kan? Sebuah bunga mimpi sudah seharusnya diluruhkan saja, tak perlu berusaha dikenang. Itulah ucapan Ibu setiap kali saya diterjang mimpi buruk.

        Namun, keangkuhan saya terhadap mimpi memudar pada malam menuju puasa pertama. Setelah lama tak berjumpa, Ayah hadir dalam mimpi. Beliau mengenakan kemeja kotak-kotak kesukaannyayang ibu sempat hendak buang karena muak setelah Ayah berbalut baju itu berkali-kali. Entah di mana latar mimpi saya, entah siang atau malam. Saya tidak peduli selama saya dan Ayah ada dalam satu plot kisah mimpi yang sama.

        "Gimana Jakarta?" tanya beliau sembari berdiri di hadapanku.

        "Lebih capek dari Bandung," ujar saya sembari tertawa pelan. Saya beranikan diri untuk menatap bola matanya yang kerap saya hindari. Masih cokelat muda.

        "Tapi ini kemauan Dede, kan?"

        Saya tak bertutur apa-apa selama beberapa waktu.  "Sekarang, sih, enggak tahu kalau ini masih kemauan Dede atau bukan."

        Ayah mengacak rambut saya layaknya yang ia kerap lakukan saat saya menjuarai sesuatu. "Mau Dede apa?"

      Senyum simpul saya terpahat di bibir. Ayah tetaplah seperti itu, enggan membenarkan atau menyalahkan keinginan saya.

        "Banyak yang Dede mau. Pengin nulis novel, tapi takut enggak ada yang suka. Mau nyanyi, tapi berdiri di depan banyak orang aja masih takut. Mau tinggal di luar negeri, tapi takut jauh dari semua yang Dede punya di sini. Enggak mau jauh dari Ayah juga."

        Telapak tangannya masih menelisik sela-sela rambut saya. Beberapa kali menggumamkan bungsu sambil memasang senyum paling damai. "Sejak kapan bungsu Ayah ini serba ragu dalam mengambil keputusan?"

        Saya pun menundukkan kepala. Ayah tahu benar saya akan menyembunyikan air mata, lalu beliau pun mengangkat dahu saya. Menyejajarkan tatapanku dengan bola matanya.

        "De, dari dulu Dede selalu memilih jalur hidup sendiri. Mau kerja apa, mau masuk kampus mana. Dede selalu punya rencana-rencana besar yang akhirnya tercapai. Sekarang kenapa serba takut?"

        Mata saya membasah. Bingung atas jawaban apa yang akan saya berikan.

        "Terbang setinggi-tingginya, De. Lebih tinggi dari langit. Jangan pernah ragu."

        Kalimat itu. Kalimat yang selalu Ayah tuturkan untuk menyemai mimpi saya atau kala saya hilang arah.

      Ingatan saya pun tidak merekam adegan-adegan selanjutnya. Saya terbangun dan menemukan bantal saya basah oleh air mata dan kerinduan atas ayah yang kian memuncak. Ayah benar, dulu saya tidak pernah ragu mengambil keputusan. Apa pun yang saya rasa baik, saya akan lakukan. Namun, ayah lupa atas satu hal; keberadaan beliau memupuk keberanian saya. Saya tidak takut gagal masuk universitas karena saya yakin ayah akan mengecup puncak dahi saya untuk menenangkan jika saya tidak lulus. Saya berani memilih pekerjaan karena saya tahu, ayah akan selalu memapah saya kembali jika saya bertemu dengan kegagalan.

        Pagi itu, saya rindu ayah. Mimpi ini diamankan di catatan ponsel saya, semampu yang memori saya bisa ingat. Saya lihat nasi goreng yang sudah saya beli tengah malam tadi. Sahur pertama saya tidak semenyenangkan yang dibayangkan.

        Terbang setinggi-tingginya. Lebih tinggi dari langit.

        Bagaimana caranya, Yah? Saya lupa.