Rabu, 19 Mei 2021

Dialog Sepasang Tunang

Foto milik Alfred Eisenstaedt


Pertunangan ini telah saya imajinasikan jauh-jauh hari. Bahkan jauh sebelum saya menentukan pekerjaan apa yang akan menghidupi saya di seperempat abad. Bertahun-tahun sebelum seseorang yang tepat datang ke dalam hidup saya pada suatu Kamis yang basah gegara hujan. Saya sudah tahu bagaimana proses magis ini akan saya lakukan. 

Saat ini, seseorang sudah duduk di hadapan saya sembari memotong daging stik favoritnya. Saat kunyahan berlangsung, ia akan menyimak cerita saya sambil menampangkan senyumnya yang manis. Saya yakin gula-gula di dalam toples kecil dan es teh di meja itu minder. Harkat dan derajat kemanisannya kalah oleh seorang manusia.

Sepanjang percakapan kami, ia tentu saja tidak sadar jika sebuah cincin sudah siap melingkari jari manisnya. Seorang lelaki sudah siap menikmati sisa hidup bersamanya. Ibu dan ayahnya telah membekali restu dan memeluk tubuh lelaki itu bak anaknya sendiri.

Saya ingin momen ini sakral dan tidak terkesan buru-buru. Namun, sebuah kalimat tidak lengkap sanggup memberinya petunjuk atas apa yang akan saya ucapkan. Ungkapan yang seharusnya saya tidak gunakan. 

"Kita sudah kenal lama..."

Gerakannya berhenti. Mata teduh itu hanya menatap daging di depannya tanpa kedip. Saya bingung dalam mengambil tindakan selanjutnya. Apakah henti ini adalah pertanda baik? Atau malah berujung kecut?

Menyadari kegugupan diri saya, dia pun berdeham dan melanjutkan makannya. "Dilanjut kalau lagi ngomong," perintahnya dengan nada pura-pura serius. Di telinga saya, ucapannya malah terdengar menggemaskan.

Saya menarik napas panjang dan mengembuskannya sepelan mungkin agar ia tidak sadar seberapa gugup diri saya.

"Ehm, jadi gini. Kita sudah kenal lama, ya? Hahaha, lima tahun, ya? Lumayan lama juga."

Saya mencerca diri dalam diam. Apa-apaan itu? Kalimat tanya macam apa itu?

"Bahkan, hampir enam tahun," ujar dia diikuti suara tawa renyah andalannya. Dia selalu menggenapkan apa pun. Termasuk jiwa saya.

Berpikir. Ini momen yang tepat untuk bertanya. Jangan sampai kesempatannya luntur.

"Kamu pernah membayangkan hidup terus sama aku, kah?" 

Alright, I am on the right track again. 

"Pernah. Kayaknya sempat aku kasih tahu juga sama kamu, kan? Jangan bilang lupa."

Saya menyematkan senyum. Betul, banyak bayangan yang ia ceritakan kepada saya. Ia ingin memiliki rumah yang didominasi warna hijau dan nuansa zaman dulu. Ia sempat berjanji untuk selalu membuatkan saya panekuk untuk sarapan dengan guyuran madu dan taburan bubuk kayu manis. Sebaliknya, saya pun berjanji akan menyeduhkan kopi favoritnya setiap pagi. Dia membayangkan kami tinggal di luar negeri dan menjalani hidup baru bersama. Satu atau dua anak cukup, menurutnya. Setiap bayangan itu disampaikan, ada ribuan amin bergaung dalam hati saya.

Cukup basa-basi. Langsung tanya hal esensial. 

"Aku tidak tahu kalau keputusan ini tepat atau malah terlalu awal. Aku hanya sadar kalau aku nyaman sama kamu. Aku suka saat kamu menceritakan mimpi-mimpimu. Kamu sudah menjadi bagian yang penting. Setiap momen besar dalam hidupku, bahagia atau jatuh, kamu selalu ada. Kamu enggak pernah sedikit pun meragukan mimpi aku. Setiap aku bahagia, aku pengin kamu juga bahagia sama aku. Setiap aku sedih, aku pengin kamu ada dan menguatkan aku. Kamu selalu bisa menenangkan apa-apa yang berisik di kepalaku."

Tarik napas. Jangan sampai malah terengah-engah. 

"Jangan ragu, aku pasti jadi orang pertama yang bisa kamu andalkan. Kamu butuh amin, kuberikan. Kamu butuh pendengar, aku pasti ada. Apa pun itu, selama kita berdua, aku merasa lengkap. Semoga kamu pun begitu. Jadi, malam ini, aku mau tanya satu pertanyaan yang sudah diam di pikiranku sejak lama. Kamu mau menikmati hidup dengan aku?"

Sepanjang ucapan itu, saya sadar kalau ia menghentikan gerakan tangannya lagi. Saya sadar kalau matanya terus menunduk dan menolak untuk melihat saya. Bodoh sekali jika saya tidak melihat beberapa tetes air alir dari pelupuknya. Apakah saya berhenti berbicara? Tidak. Saya terus melanjutkan niat saya. Pundaknya agar bergetar menahan emosi yang saya rasa meluap terlalu kencang di hatinya. Ingin sekali saya merengkuh tubuhnya, tetapi tubuh sendiri pun malah mematung. 

"Are you okay?"

Kebingungan dalam benak saya menelurkan pertanyaan itu. Apakah dia sedih telah saya lamar? Apakah dia senang? Atau malah marah? Saya menabung tanya sambil menunggu reaksinya.

Saya melihat ia menaikkan pandangan tepat ke bola mata saya. Sesekali ia keringkan sudut mata yang basah dengan pungguh tangannya. Ia melayangkan senyum.

"Coba tanya lagi," ujarnya sembari merengkuh telapak tangan saya.

"Are you okay?"

Ia tertawa. Cantik, ribuan kupu-kupu baru saja lahir di perut saya karena tawa kamu.

"Bukan pertanyaan yang itu. Sebelum itu."

Resmilah sudah saya dinobatkan sebagai manusia paling bodoh dan ceroboh. Saya mengumpat dalam diam dan ia sadar akan hal itu. Ia selalu sadar jika saya sedang menekan diri. "Enggak apa-apa. Jadi mau tanya enggak, nih?"

Saya menatap kembali bola mata kecokelatan itu, lalu menarik napas panjang. "Kamu mau menikmati hidup dengan aku?"

Saat pertanyaan itu terlontar, saya melihat suasana restoran ini mengabur dan beragam rekaman masa depan pun bermunculan. Saya melihat mimpi kami satu-satu mulai tercapai, kami menua dan tetap menari diiringi suara Sinatra, anak kami terus berlarian di rumah kakek-neneknya, dan pelukan kami setiap malam yang saling meneduhkan dan menenangkan kegaduhan di kepala masing-masing.

"Iya, aku mau menikmati hidup dengan kamu."

Genaplah sudah jiwa saya.

Rampunglah sudah apa-apa yang rumpang dalam diri saya.