Selasa, 12 Mei 2020

Potret Pernikahan Dini dalam Suara Kirana

Hak Milik: Plan Indonesia

Suara Kirana adalah sebuah film pendek hasil arahan Andrew Kose yang diunggah di kanal YouTube milik Plan Indonesia. Film ini berkisah tentang sepasang kekasih, Anggi (Laras Sardi) dan Indra (Jourdy Pranata), yang melakukan penelusuran jurnalistik ke Cisolok untuk membuktikan kebenaran sebuah berita ihwal peran Nyi Roro Kidul dalam penculikan anak. Selain mendapatkan informasi seputar penguasa pantai selatan, mereka pun mendapatkan sebuah kenyataan pahit tentang Kirana (Dhea Seto), anak hilang yang kabarnya diculik Nyi Roro Kidul

Kose tampak sudah terbiasa memadatkan sebuah fenomena sosial ke dalam bentuk film berdurasi waktu singkat. Saya mengapresiasi pula tiga aktor yang menjadi tulang punggung cerita; Sardi, Pranata, dan Seto yang sudah mampu mengisi nyawa dari film ini. Walaupun saya masih cukup bingung dengan eksekusi naskah yang dilakukan Kose dan Swara, khususnya seputar penggunaan kosakata bahasa Sunda yang agak mengganjal, tetapi saya harus mengapresiasi premis yang mereka angkat.

Baik, ulasan kualitas film pendek ini saya cukupkan sekian.

Ada yang lebih penting untuk dibicarakan oleh kita; pernikahan di bawah umur harus segera dihentikan. Saya rasa teman-teman Plan Indonesia pun setuju dengan urgensi pembahasan masalah ini. 

Pernikahan dini adalah suatu kondisi yang sangat  familier di lingkungan keluarga Indonesia. Titel peringkat kedua sebagai negara dengan jumlah pernikahan dini terbanyak di ASEAN dan kedelapan di dunia membuktikan bahwa masalah ini sangat krusial dan harus lekas diselesaikan. Untuk menekan angka pernikahan dini, DPR telah mengesahkan revisi Undang-Undang Pernikahan ihwal batas usia minimal menikah. Baik laki-laki maupun perempuan harus sudah berumur 19 tahun sebelum melangsungkan pernikahan.

Saat darurat pernikahan dini terjadi, masih ada masyarakat yang tidak mengindahkan aturan pemerintah dan menjalankan pernikahan berlandaskan agama. Berita-berita ihwal kawin gantung cukup sering diberitakan melalui televisi. Bagi kalian yang belum tahu, kawin gantung adalah sebuah kegiatan yang mana anak-anak dinikahkan terlebih secara agama, tetapi baru diizinkan untuk melaksanakan kewajiban suami-istri ketika umur mereka sudah cukup. Kawin gantung kerap dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan hamil di luar nikah dan perjodohan paksa. Selain itu, banyak pula yang melaksanakan kawin gantung dengan alasan untuk menghindari perzinaan.

Selain itu, ketidakpahaman dan keengganan keluarga untuk mendiskusikan kesehatan reproduksi  kepada anak juga berkontribusi terhadap menjamurnya masalah ini. Ancaman-ancaman seperti keguguran, anemia, hingga kematian menghantui para pengantin baru. Keluarga sebagai lingkungan terdekat anak kerap menganggap pembicaraan organ seksual adalah sesuatu yang tabu. Walhasil, kurangnya pemahaman seksual mengakibatkan anak cenderung tidak berhati-hati dalam bertindak. Kehamilan di luar nikah pun berkontribusi banyak pada jumlah pernikahan dini di dunia. 

Alasan lain dari pelaksanaan nikah muda adalah gencatan ekonomi. Kondisi keuangan keluarga yang minim dan ketidakmampuan mereka untuk menafkahi anaknya menyebabkan orang tua menikahkan sang anak yang bahkan masih belia. Harapannya, anak mereka mampu hidup lebih laik. Namun, kasus-kasus yang ada malah memperlihatkan kondisi sebaliknya.

Kisah Ibu Rasminah dari Indramayu dapat dijadikan sebuah cerminan ihwal dampak pernikahan dini. Beliau menikah pada umur 13 tahun dengan alasan menyelamatkan dirinya dan keluarga dari krisis ekonomi. Ayah beliau sudah tidak bisa bekerja secara maksimal karena keterbatasan fisik, walhasil meminta Ibu Rasminah untuk menikah saja. Apakah pernikahan tersebut berjalan dengan baik? Sayangnya, Ibu Rasminah ditinggalkan oleh suaminya. Kalau sudah begini, Ibu Rasminah harus kerja keras untuk menghidupi anaknya.

Melihat fenomena-fenomena seperti kisah Ibu Rasminah, banyak komunitas sosial yang secara terang-terangan menentang eksekusi nikah muda. Salah satu penentangan yang dilakukan adalah dengan cara edukasi kepada masyarakat tentang dampak pernikahan di bawah umur. Itulah yang dilakukan oleh Plan Indonesia melalui Suara Kirana; memutus mata rantai permasalahan yang telanjur bertaburan di Indonesia bermediakan film pendek. Melalui edukasi dalam jaringan, Suara Kirana diharapkan bisa menyasar keluarga dan anak-anak untuk memahami konsekuensi yang didapatkan jika memilih untuk menikah muda. 

Mengutip semangat Kartini dan Dewi Sartika; pendidikan adalah satu-satunya obat untuk menyelesaikan masalah pernikahan di bawah umur.

Nampaknya, pendidikan yang dilakukan Plan Indonesia melalui Suara Kirana adalah salah satu cara yang bijak.

Terima kasih untuk film pendek yang sarat makna, Plan Indonesia.

Catatan:
Mohon koreksinya jika terdapat informasi yang keliru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar