Minggu, 09 Februari 2020

Mendung

Tulisan ini saya buat bulan lalu saat awan mendung tiba-tiba berkecamuk dalam pikiran saya. Tak ada yang bisa saya lakukan untuk menghindar. Rasa sakit memang menuntut untuk dirasakan. Daripada saya bercokol dengan berbagai rasa yang muncul, akhirnya saya menulis. Saat tulisan ini selesai, saya tidak membacanya ulang. Saya langsung menutup laptop, lalu terlelap.

Sumber: Pinterest


Hari ini, saya membuka ulang tulisan ini dan meringis. Berdebat dengan diri sendiri tentang apakah saya perlu mengunggah tulisan ini atau tidak.  Setelah berpikir keras, akhirnya saya memutuskan untuk mengunggahnya. Berharap tulisan ini bisa memberikan sesuatu kepada pembaca. Jika ada yang sedang merasakan hal yang sama, kalian tidak sendirian. Kalian pasti mampu meredakan keriuhan yang ada dalam pikiran.

*****
Hari kedua puluh lima tahun ini.

Waktu luruh begitu saja tanpa meninggalkan warna apa-apa. Saya ingat benar betapa semangat meledak-ledak dalam hati beberapa saat menjelang perayaan tahun baru. Seperti biasa, sebuah daftar resolusi saya selesaikan pada detik-detik terakhir 2019. Selama beberapa hari, daftar tersebut saya tempel di dinding indekos. Berharap keberadaannya di sana membuat saya bersemangat untuk merealisasikannya satu persatu. Namun, pada hari keempat belas saya sudah mencabut daftar itu. Saya lipat menjadi lebih kecil, lalu menyelipkan kertas itu ke dalam salah satu buku. Entah lembar ke berapa. Saya biarkan daftar mimpi itu tenggelam dan terlupakan. Belum pernah saya cari lagi keberadaannya hingga detik ini.

Baru bulan pertama pada dekade anyar. Seharusnya saya masih berapi-api mencentang daftar itu.

Namun hidup memang tidak bisa ditebak sama sekali. Keinginan saya untuk meraih semua yang diinginkan mendadak lebur. Teman saya sempat bertanya, "Kira-kira apa yang membuat kamu kayak gini?"

Saya tidak menemukan jawaban. Ada banyak hal yang membuat saya kecewa dan marah pada diri sendiri. Muram dan senang datang silih berganti yang membuat saya lelah. Namun jika ditanya secara spesifik apa yang membuat saya seperti ini, saya malah kebingungan.

Sialnya, sekuat apa pun saya berusaha untuk terlihat biasa saja, saya tahu benar jika sikap saya berubah total. Saya merasa tidak seantusias dulu ketika mengajar. Tidak bersemangat dalam mengerjakan tugas organisasi. Malas merampungkan novel ataupun tulisan blog. Hal yang ingin saya lakukan hanyalah diam di indekos. Menikmati waktu sendiri dan berdoa agar semua semangat yang saya punya kembali lagi.

Memang manusia harus selalu waspada. Saat menikmati kesendirian sesuai ritus, bisik-bisik mulai muncul dan mereka menjanjikan keabadian. Meyakinkan saya untuk pasrah dan menyerahkan tubuh kepada alam. Saya langsung mengenyahkan barang-barang yang bisa memperpendek jarak antara hidup saya dengan keabadian.

"Keberadaan kamu gak berpengaruh apa-apa."

"Akan lebih tenang kalau kamu sudahi saja tugasmu sebagai manusia."

"Siapa yang membutuhkan kamu, sih?"

"Sudah, kembali saja ke peristirahatan."

Bahkan di tengah kedamaian yang saya ciptakan sendiri, masih ada kegelapan yang menikam pikiran bertubi-tubi. Akhirnya saya menyerah dengan kesendirian. Saya merasa terancam dan menenggak obat tidur terus menerus tidak membuat saya merasa lebih baik. Khususnya saat saya terbangun pada pagi hari dan suasana di luar indekos terasa sangat damai. Namun, bisik-bisik itu mulai mendekat kembali dan mengucapkan selamat datang lagi, sayang. Mari kami ingatkan kembali mengapa kamu tidak berguna.

Fuck, can you back off!

Saya akhirnya memaksakan untuk melawan rasa ini. Saya mempersiapkan bahan ajar semaksimal mungkin, bertemu dengan teman-teman, menonton film, mendengarkan lagu-lagu upbeat sembari ikut bernyanyi, menulis, dan mengunjungi kedai kopi. Saya sempat merasa bahagia selama beberapa saat. Hanya dalam waktu pendek. Setelah itu, perasaan saya kembali mendung. Saya tidak bergairah untuk melaksanakan rencana mengajar. Berusaha untuk menyimak ujaran-ujaran teman, padahal pikiran melayang entah kemana. Kebahagiaan yang saya rasakan menguap begitu saja. Kopi yang saya pesan pun mendingin tak tersentuh. Lagu klasik yang mengalun di kedai kopi hanya memancing kelebat-kelebat masa lalu yang berdatangan.

Anjing. Untuk apa pula air mata ini jatuh? 

Saya tidak suka ketika air mata mulai mengucur seperti ini. Hidup saya terasa sangat mengenaskan.

Tarik napas dalam-dalam, lalu embuskan.

Itu hal yang sangat lumrah terjadi, kan? Semua orang pasti pernah ada di kondisi seperti ini. Tidak perlu menangis. Tidak perlu mengasihani diri sendiri. Besok akan terasa lebih baik.

Baiklah. Sampai jumpa di tulisan selanjutnya. Semoga saya bisa merasa lebih baik. Untuk saat ini, saya hanya perlu merasakan setiap muram, sedih, sakit, dan marah yang datang secara konstan.

Selamat malam.

*****