Senin, 23 Desember 2019

Untuk Papah

Sumber: doitbeforeme.com


Selamat ulang tahun, Pah.
20 Desember ketujuh puluh semenjak kaulahir.
20 Desember ketujuh semenjak kaupergi.
Dan aku belum biasa dengan panggilan tanpa jawab.

Selamat ulang tahun.
Aku merayakan kelahiranmu
dengan terbang melampaui langit
seperti yang selalu engkau inginkan.

"Syukran, sudah nelepon Papah. Mendoakan Papah."

"Sama-sama, Pah. Sampai jumpa di rumah."

"Iya, sampai jumpa."

Pah, rumah mana yang kaurujuk sebenarnya?

Selasa, 17 Desember 2019

Terfavorit Tahun Ini


Nyaris selesai!

2019 sudah memberikan pengalaman yang luar biasa. Tentu saja, tulisan ini tidak akan membahas pengalaman saya yang luar biasa menyenangkan dan memusingkan. Biarkan tulisan beberapa hari lalu yang mengisahkan segala liku-liku kehidupan yang sudah saya lalui selama setahun ke belakang. Tulisan ini akan menceritakan karya-karya yang saya nikmati pada tahun ini; film, acara teve, lagu, buku, dan album musik!

FILM
  1. Kucumbu Tubuh Indahku (Sut. Garin Nugroho)
  2. Dua Garis Biru (Sut. Gina S. Noer)
  3. Joker (Sut. Todd Phillips)
  4. Gundala (Sut. Joko Anwar)
  5. Midsommar (Sut. Ari Aster)
ACARA TEVE
  1. The Politician (Netflix)
  2. The Durrells (ITV)
  3. Elite (Netflix)
  4. Sex Education (Netflix)
  5. Marriane (Netflix)
LAGU
  1. Ben Platt - Grow As We Go
  2. Ben Platt - Ease My Mind
  3. Billie Eilish - all the good girls go to hell
  4. Finneas - Let's Fall in Love for the Night
  5. Kygo feat Whitney Houston - Higher Love
ALBUM
  1. Ben Platt - Sing to Me Instead
  2. Rich Brian - The Sailor
  3. Billie Eilish - When We All Fall Asleep, Where Do We Go?
  4. Harry Style - Fine Line
  5. Dermot Kennedy - Without Fear
BUKU
  1. Amanda Margareth - Museum dan Kita
  2. Ibe S. Palogai - Struktur Cinta yang Pudar
  3. Iain S. Thomas - I Wrote This For You, Just The Words
  4. Bernard Batubara - Residu
  5. Shaun Bythell - The Diary of A Bookseller
Apa karya terfavorit kamu tahun ini?

Senin, 16 Desember 2019

Menjadi Perempuan: Sebuah Tulisan Subjektif

.... Ia tidak bisa berpura-pura. Malah sekali waktu menolak terhadap paksaan 'berpura-pura suci', 'pendiam dan penurut' seperti wanita-wanita feodal lainnya, bahkan mengatakan bahwa 'dalam setiap jaman ada saja gadis-gadis yang berontak". Tentu saja ia memasukkan diri dalam barisan gadis jamannya yang berontak. (Pramoedya Ananta Toer - Panggil Saja Aku Kartini)

Sebelum Anda membaca tulisan ini, alangkah lebih baik jika Anda memahami bahwa penulis berjenis kelamin laki-laki. Tulisan ini merupakan hasil pengamatan terhadap kehidupan anggota keluarga dan para sahabat yang harus mengikuti narasi perempuan baik yang ditentukan oleh masyarakat. Tentu saja, penulis tidak bisa merepresentasikan seluruh pengalaman yang menjadi momok bagi para perempuan. Oleh karena itu, penulis memohon maklum atas kekurangan informasi yang didapatkan. Namun para pembaca perlu memahami satu hal: Ada yang perlu diluruskan dengan cara pandang kita terhadap para perempuan.

Terlahir di tengah keluarga yang didominasi oleh perempuan membuat saya terbiasa dengan aturan hidup mereka. Saya memiliki lima kakak perempuan yang semuanya dididik menjadi perempuan anggun yang sesuai dengan ekspektasi masyarakat. "Perempuan yang baik itu, ya, harus mau bangun lebih pagi, belajar memasak, rajin beres-beres rumah, dan harus bisa pasang senyum paling manis," ujar Ibu sembari sibuk mengatur nyala api di kompor, entah berapa tahun silam.

Ibu adalah salah satu korban patriarki yang enggan anaknya untuk dicemooh oleh masyarakat, tetapi meyakini bahwa semua anaknya harus diajarkan menjadi manusia baik tanpa dilihat gendernya. Akhirnya, Ibu selalu membangunkan saya dan kakak laki-laki saya pada waktu yang sama dengan para perempuan di rumah. Kami belajar memasak bersama. Membagi tugas untuk beres-beres rumah; kadang saya membersihkan selokan, kadang juga saya mencuci piring. Ibu juga menceramahi saya dan kakak laki-laki agar bisa menjadi orang yang selalu tersenyum.

Saya sempat menyatakan pada tulisan saya sebelumnya bahwa menjadi laki-laki adalah pekerjaan yang berat. Sekarang saya menyadari bahwa menjadi perempuan memiliki level kesulitan yang sama saja. Ada ekspektasi masyarakat yang harus mereka penuhi agar terbingkai sebagai perempuan baik-baik. Realisasi ini bermuara pada sebuah simpulan yang saya petik bahwa menjadi manusia itu sederhana dan mudah, tetapi ekspektasi masyarakat mempersulit keadaan.

Hak Milik: Cobb Shinn
Tiga kata yang menempel pada masyarakat mengenai peran perempuan adalah sumur, dapur, dan kasur. Sebuah pemikiran kuno yang sudah seharusnya tidak dijadikan patokan pada kehidupan perempuan. Menjadi perempuan seutuhnya itu bukan masalah apakah dia bisa memasak atau menimang anaknya hingga terlelap. Bukan hanya masalah dia bisa mencuci baju dengan bersih atau tidak. Apa lagi hanya dilihat dari sebaik apa performa dia di atas kasur. Menjadi perempuan adalah memberikan kebebasan mutlak kepada mereka untuk menjadi apa pun yang diinginkan. Tanpa perlu dilabeli oleh orang lain.

Ibu saya bernama Lastri. Kependekan dari Sulastri. Sejak saya kecil, saya jarang sekali mendengar tetangga memanggil beliau sebagai Bu Lastri. Mereka memanggil beliau dengan sapaan Bu Parman yang mana Parman merupakan panggilan ayah saya. Ibu juga kerap dipanggil dengan sapaan Mamah Zainal. Namanya luntur seiring waktu berjalan. Tentu saja, fakta ini tidak terjadi kepada semua orang. Banyak pula perempuan yang diingat dengan namanya sendiri. Namun, banyak perempuan yang namanya terlupakan. Namanya disimpan di kartu identitas dan terpaksa disenyapkan oleh masyarakat sekitar yang menganggap peran suaminya lebih signifikan.

Saya melihat dan merasakan bahwa laki-laki memiliki privilese dalam melakukan banyak kegiatan. Dalam ranah personal, laki-laki memiliki kebebasan dan berbagai pemakluman yang diberikan oleh masyarakat. Pulang malam bukanlah sebuah masalah. Berkata kasar bukanlah sebuah tabu. Mengekspresikan perasaan kepada perempuan adalah sikap yang jantan. Semuanya dilabeli sebagai realisasi sifat maskulin yang, katanya, dimiliki laki-laki sejak mereka dilahirkan.

Perempuan pulang malam? Langsung dihakimi sebagai perempuan nakal dan tidak bisa menjaga nama baik seorang perempuan.

Perempuan berkata kasar? Langsung dicemooh karena dianggap sebagai perempuan yang tidak layak dipanggil perempuan.

Perempuan mengekspresikan cintanya? Langsung dicap sebagai perempuan gatal, gampangan, dan tidak memiliki harga diri.

Saya memiliki seorang teman perempuan yang sudah menikah. Dia mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi beasiswa agar bisa berkuliah di luar negeri. Saat mengikuti seleksi wawancara, salah satu pewawancara bertanya kepada teman saya.

"Kamu diizinkan sama suami atau enggak?"

Teman saya tersenyum saat menceritakan pengalamannya tersebut. Dia tahu bahwa dalam perspektif religi yang ia anut, peran seorang suami cukup sentral dalam menentukan keputusan. Namun, pertanyaan yang dilontarkan pada saat wawancara beasiswa tersebut mencirikan sebuah realita di mana pendidikan perempuan yang telah berumah tangga seolah-olah perlu ditentukan oleh suami. Seolah-olah perempuan tidak bisa berpikir matang untuk menentukan masa depannya. Seakan-akan pihak laki-laki lebih bisa berpikir adil, netral, dan masuk akal.

Saat dinyatakan lolos seleksi, teman saya dihadapkan lagi dengan pernyataan dan pertanyaan pedas dari teman perempuannya.

"Suaminya mau ditinggal, toh? Apa enggak sebaiknya ngurus suami aja di rumah?"

"Kamu tuh udah seharusnya berbakti sama suami."

Sebuah bukti konkret bahwa pola pikir patriarki bukan hanya dimiliki oleh laki-laki, tetapi para perempuan yang mengamini kredo perempuan baik ya perempuan yang manut sama suami. Ujaran-ujaran tersebut sempat membuat teman saya meragukan pilihan yang telah ia perjuangkan, tetapi beruntung sekali suaminya bisa meyakinkan teman saya. Walhasil dia berangkat ke kampus impian dan menggapai cita-citanya.

Kita memasuki sebuah masa di mana perempuan sudah banyak yang mendobrak pemikiran lawas ihwal perannya di mata masyarakat. Mereka enggan untuk dikurung di dalam kotak yang mematok peran laki-laki dan perempuan. Sebenarnya, tidak ada yang salah jika seorang perempuan ingin menjadi istri yang menetap di rumah dan bekerja dalam ranah domestik selama itu adalah salah satu caranya untuk mengembangkan diri. Tidak masalah jika laki-laki mau bekerja dan meraih jabatan tinggi selama itu juga untuk mengembangkan diri. Peranan tradisional itu tidak akan bermasalah jika mereka tidak merasa dirugikan sama sekali dan melakukannya dengan sukarela.

Hal yang salah, menurut saya, adalah ketika mereka melakukan itu untuk memenuhi peranannya yang diciptakan oleh pola pikir eksternal, bukan keinginannya masing-masing.

Nampaknya, kita membutuhkan lebih banyak ikon perempuan yang berani merombak stigma perempuan baik. Para perempuan yang mampu membuktikan bahwa mereka berhak dan bisa menjadi apa pun yang mereka mau tanpa dibatasi oleh siapa pun. Para perempuan yang satu sifat dengan Kartini; gadis pemberontak yang enggan berpura-pura suci. Perempuan tangguh yang berani mengambil keputusan dan tahu apa yang baik untuk dirinya sendiri. Perempuan yang berani mendefinisikan ulang peranannya sesuai dengan kepercayaan, kemampuan, dan keinginannya.

Salam hormat saya untuk seluruh perempuan.

Minggu, 15 Desember 2019

Terima kasih, 2019!

Sumber: thenletitbe.tumblr.com

Jika saya diminta untuk mendeskripsikan 2019, saya akan mengatakan bahwa tahun ini adalah hasil penggabungan seluruh emosi. Saya meyakini bahwa setiap tahun akan menghadirkan sebuah tantangan tersendiri dengan proses mendewasakan yang berbeda. Namun, saya tidak percaya 2019 akan menyuguhkan sebuah hantaman pengalaman hidup yang cukup keras dan saya menikmati semuanya.

Ada banyak hal yang terjadi pada 2019 dan semuanya memiliki porsi masing-masing dalam menghiasi kehidupan saya. Ada yang menyakiti, ada yang membahagiakan. Ada yang menciptakan air mata, ada yang mengukir senyuman. Ada yang membuat saya minum pil tidur, ada pula yang membuat saya minum kopi dengan dosis tinggi. Semuanya sama saja; membuat saya sadar betapa hidup ini selalu baik dan memberikan sebuah pembelajaran yang tidak ternilai.

Seperti biasa, saya ingin mengapresiasi hal-hal dan pribadi-pribadi yang membantu saya bermetamorfosis ke dalam bentuk yang lebih matang.

Duta Bahasa
Semenjak kepulangan saya dari Australia, saya memilih untuk aktif kembali di duta bahasa. Kembali ke rumah yang sangat ingin dikunjungi selama saya di Warrnambool. Keputusan ini sangatlah tepat karena proses belajar di sini sangatlah berbasis kekeluargaan. Saya merasa manajemen organisasi saya jauh lebih baik daripada sebelumnya dan semuanya karena duta bahasa. Terima kasih untuk seluruh orang-orang di dalamnya yang sudah mau menerima, mengajarkan, mendampingi, dan memberikan masukan kepada saya. Untuk semua julid yang dilontarkan dan senyum yang disebarkan, saya ucapkan terima kasih!

Sing to Me Instead-nya Ben Platt
Nonmanusia, memang. Album perdana Ben yang dirilis pada Maret 2019 ini menemani perjalanan hidup saya sepanjang tahun ini. Nyaris seluruh lagu di dalamnya memotret kehidupan saya dengan sangat baik. Serasa Ben menyanyikan lagu tersebut hanya untuk saya. Menarasikan kehidupan saya dengan suaranya yang luar biasa merdu. Terima kaish, Ben!

You won't be the only one.
I am unfinished, I've got so much left to learn.
I don't know how this river runs.
But I'd like the company through every twist and turn.

Rinumangsa
Saya bersyukur bisa mempertahankan blog ini ketika seluruh pengalaman blog saya tidak pernah lebih dari satu tahun. Walaupun saya masih belum konsisten dalam menulis di blog, tetapi keputusan untuk tidak melakukan pemasifan blog ini adalah sesuatu yang tepat. Saya bisa kembali mengunjungi kenangan-kenangan yang saya abadikan dalam bentuk tulisan. Rinumangsa sudah saya urus layaknya anak saya sendiri. Terdengar berlebihan, tetapi saya benar-benar memperlakukan blog ini dengan hati-hati. Terima kasih Rinumangsa! Mari kita sebarkan lagi pengalaman hidup lainnya tahun depan!

Vera dan Vena
Duo Sumanta yang cukup mewarnai kehidupan saya. Kami jarang sekali bertemu tahun ini karena (kebanyakan) saya sibuk dengan pekerjaan dan kegiatan. Berkali-kali membuat janji, berkali-kali pula harus atur jadwal ulang. Pertemuan kami masih bisa dihitung dengan jari. Apa pun yang terjadi, saya mensyukuri keberadaan mereka tahun lalu, tahun ini, dan tahun-tahun selanjutnya.

Teh Ver, Ven, thank you so much. Melbourne sounds perfect for us. Should we?

Prambanan Jazz 2019
Menyaksikan konser dengan latar kemegahan Candi Prambanan adalah sebuah pengalaman yang sulit dilupakan. Saya ikut menari bersama ratusan penonton saat GAC menyenandungkan Bahagia, menangis saat You Are The Reason dinyanyikan oleh Calum, sebal karena tidak bisa berdiri paling depan pas bagian Tulus, dilatih riffs and runs Cinta dan Rahasia oleh Teh Yura, dan bernostalgia bersama Yovie and Friends. Semuanya benar-benar masih terkenang di dalam pikiran dan memori ponsel. Terima kasih sudah menemani perjalanan menuju-dan-kembali yang penuh kegemasan, Teh Uli!

Menjadi pewara
Adalah sebuah kebanggaan sekaligus kengerian tersendiri saat Bu Ade, mamahnya para dubas, meminta saya untuk menjadi pewara pada kegiatan Gerakan Literasi Nasional. Pertama, saya tidak memiliki rekan pewara yang berarti saya akan berdiri di depan khalayak dan memandu kegiatan sendirian. Kedua, saya belum pernah bertugas sebagai pewara pada kegiatan akbar dan bertamu penting seperti GLN 2019. Ini adalah pengalaman pewara pertama saya. Pada saat kegiatan selesai, saya merasa bangga pada diri sendiri karena tidak pingsan di depan para tamu dan tidak mengalami serangan panik. Terima kasih, Bu Ade! Terima kasih, Balai Bahasa Jawa Barat!

"Kamu kayaknya duta bahasa paling gondrong," ujar Pak Dadang, Kepala Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, saat saya berpamitan dengan beliau.

Baik, saya akan segera cukur rambut.

Mencoba untuk menjadi vegetarian
Tentu saja, keputusan ini adalah sesuatu yang sangat sulit direalisasikan. Berawal dari menonton sebuah film dokumenter dan berakhir dengan keputusan menjadi vegetarian.

Sulit direalisasikan? Ya, karena saya masih sering tergoda dnegan kenikmatan daging ayam. Banyak pula yang mengkritik dan tidak mendukung keputusan saya untuk menjadi seorang vegetarian. 

Namun, saya sudah satu bulan penuh tanpa mengonsumsi daging. Sebuah pencapaian!

Les IELTS
Awal tahun 2019 saya meyakinkan diri untuk mengikuti seleksi beasiswa LPDP. Setelah menentukan disiplin ilmu yang saya inginkan dan kampus yang sesuai, walhasil saya mulai les IELTS. Saya sadar diri. Kemampuan berbahasa Inggris saya belum mumpuni dan perlu banyak dilatih. Saya dan Erma belajar bersama di salah satu lembaga pelatihan. Namun, pada akhirnya Erma mendaftar LPDP duluan dan saya harus memendam mimpi terlebih dahulu karena a) kampus yang saya inginkan tidak masuk daftar universitas mitra dan b) saya belum siap melaksanakan IELTS. 
Terima kasih, diri sendiri dan Erma! 

Berwisata ke Yogyakarta bersama SR Primagama
Perjalanan bersama seluruh staf Sekolah Rumah Primagama ke Yogyakarta pada Maret 2019 benar-benar mendefinisikan makna kekerabatan. Sebangku dengan Erma, memperhatikan Teh Uni yang memeragakan adegan film Munafik, dan merekam Pak Abay yang sedang bergoyang dengan Pak Uut adalah beberapa kebahagiaan yang saya rasakan selama berwisata ke Yogyakarta. Terima kasih, SR Primagama!

Semua film bagus
Saya bahagia sekali karena tahun ini saya bisa mengapresiasi cukup banyak mahakarya para sineas. Dimulai dengan Keluarga Cemara pada awal tahun hingga Last Christmas beberapa hari yang lalu. Saya merasa banyak belajar dari kisah-kisah para karakter dan keinginan saya untuk menjadi seorang penulis naskah semakin kuat. Film Indonesia favorit saya adalah Kucumbu Tubuh Indahku, Dua Garis Biru, Gundala, dan Perempuan Tanah Jahanam. 

1.814 km
Tak perlu saya jelaskan secara rinci, tapi jarak ini benar-benar mengenalkan saya pada cinta dan patah hati yang sebenarnya. Untuk seluruh panggilan pada malam hari, ucapan selamat pagi di Whatsapp, aroma parfum yang menguar hingga saat ini, dan mimpi saya yang perlu diredam serta mimpimu yang akan terus dilanjutkan; saya ucapkan terima kasih.
Aku mendoakan kebahagiaan selalu mendampingi kehidupanmu.

Secara garis besar, saya bersyukur masih bisa bertahan, bernapas, dan menikmati perjalanan kehidupan yang lir ibarat menaiki sebuah roller coaster. Saya tidak sabar untuk menyelami dan memaknai 2020.

Bagaimana kehidupan kalian? Baik-baik saja?

Sabtu, 07 Desember 2019

Tanpa Filter: Billiansyah Abdillah Corna

Billiansyah Abdillah Corna, dari aktor teater SMA hingga pewara Aniversaeed 2019, memaparkan perspektifnya ihwal riasan wajah dan perawatan kulit.


Satu hal yang paling menguar saat bertemu dengan Billy (selain aroma parfumnya) adalah energi positif yang selalu ia berikan kepada orang di sekelilingnya. Tak jarang, energinya memenuhi satu ruangan kafe dan membuat pelanggan kafe lain melirik ke arahnya. Itu yang terjadi saat saya memutuskan untuk bertemu Billy di Upnormal Ciwalk. Baru juga lima menit ia sampai, celotehannya sudah mampu mengisi ruangan. Namun, siapa yang bisa menolak untuk menyimak antusiasme seseorang seperti Billy?

Billy sudah saya incar sejak tahun lalu.

Baik, kalimat itu terdengar aneh dan cenderung bernada seperti pembunuh berantai.

Proyek tulisan ini sudah saya rencanakan sejak tahun lalu. Saya merasa topik makeup and skincare di kalangan lelaki perlu mulai dibicarakan agar ketabuannya memudar dan Billy adalah figur tercocok untuk saya wawancarai. Sebenarnya saya sudah melakukan tanya jawab dengan Billy via Whatsapp tahun lalu, tetapi saya merasa ada yang kurang. Saya membutuhkan tatap langsung agar bisa memahami setiap ujaran yang Billy lontarkan. Saya dan Billy sepakat dalam satu hal; topik ini perlu dibahas dan banyak lelaki perlu disadarkan ihwal kepentingan merawat kulit.

Sembari menyeruput Aftenoon Boost (yang menurut saya luar biasa aneh), dia mengatakan bahwa 2014 adalah titik awal dari pengenalannya dengan riasan wajah (makeup). Saat itu, Billy diberikan kesempatan untuk menjadi pewara pada sebuah kegiatan Pentas Seni di sekolah. Dia merasa terintimidasi karena wajahnya bukanlah tipikal wajah yang layak dijadikan sebagai seorang pewara. "Dari segi fisik, banyak lah yang lebih pantas untuk jadi pewara," ujar Billy sambil memainkan sedotannya.

Walhasil, Billy mulai berkenalan dengan riasan wajah untuk meningkatkan rasa percaya dirinya. Dia mulai menggunakan lipstik karena merasa bibirnya sangat pucat. Merasa tidak cukup, Billy berkenalan dengan konsep shading. Lama-kelamaan, dia menggunakan seluruh riasan wajah untuk membuat dirinya lebih percaya diri.

"Belajar dari tutorial YouTube kayak video-videonya Jeffree Star," kata Billy saat ditanya ihwal di mana ia belajar merias wajah.

Billy juga mengakui bahwa dia cukup gentar saat ia harus membeli produk kecantikan. Walhasil, ia kerap mengajak temannya untuk berbelanja dan membelikan barang-barang yang ia butuhkan. Saat ditanya mengapa ia enggan membeli produk kecantikan sendirian, sempitnya pemahaman masyarakat ihwal topik ini adalah alasannya. Billy berkelakar bahwa ia bukanlah siapa-siapa. Jika seorang aktor kawakan berbelanja bedak, mungkin hal tersebut akan sangat lumrah. Namun, Billy yang membeli bedak? Billy yang bukan siapa-siapa? Tentu saja akan sangat aneh.

Saya hanya tertawa mendengar ucapan Billy. Bukan karena saya mengamini Billy bukan siapa-siapa. Saya menertawakan perspektif masyarakat yang menabukan hal-hal sederhana seperti riasan wajah.


Beruntung sekali Billy memiliki lingkungan pertemanan yang suportif, begitu pun keluarganya. Walaupun pada awalnya pihak keluarga mempertanyakan urgensi penggunaan produk kecantikan yang ia beli, tetapi mereka menerima pilihan Billy saat melihat ia menggunakan produk tersebut untuk pekerjaan. Selain itu, Billy juga memiliki seorang kakak yang mempelajari kecantikan secara akademis. Walhasil, ia sering menanyakan keamanan sebuah produk kepada kakaknya.

"Kalau menurut kamu, gimana sih pandangan laki-laki terhadap makeup sama skincare akhir-akhir ini?" 

Billy mengunyah mi instan yang ia pesan untuk beberapa saat, lalu menjawab pertanyaan yang saya berikan. "Sedih, sih. Aku tuh sekarang lagi coba menyampanyekan kesadaran untuk merawat kulit. Bukan hanya buat laki-laki, tapi perempuan juga."

Menurut Billy, perspektif masyarakat yang menganggap kosmetik dan skincare hanyalah urusan wanita saja perlu diluruskan. Laki-laki juga diperkenankan menggunakan sesuai dengan kebutuhan. Jika riasan wajah itu meningkatkan percaya diri, mengapa kita harus melarangnya untuk menggunakan riasan wajah?

Bukan maksud untuk mendiskreditkan Indonesia, tetapi Billy menginginkan penerimaan terhadap pilihan pribadi seterbuka Australia. Saya dan Billy menyetujui satu hal; kerap kali masyarakat Indonesia memilih untuk menghakimi keputusan hidup seseorang secara verbal, sedangkan warga Australia bersikap lebih toleran. Kesadaran untuk mengurus kulit itu harus dianggap sesuatu yang lumrah. Seorang lelaki dilarang untuk diintimidasi ketika ia mengenakkan riasan wajah atau merawat kulitnya.


Penasaran, saya bertanya tips saat menggunakan riasan wajah kepada Billy. Tanpa pikir panjang, ia menjawab, "Makeup itu pada dasarnya untuk menutupi atau mengisi kekurangan, kalau semisal sudah merasa cukup ya gak perlu menggunakannya berlebihan. Tapi kalau kamu mau pakai untuk kesenangan, ya silakan. Asal bisa merawat kulit saja."

Billy, penggemar Maria Rahajeng garis keras, juga memberikan beberapa pantangan saat menggunakan produk perawatan kulit;
Pertama, jangan pernah memikirkan sesuatu yang kompleks. Bentuk muka dan kebutuhan kulit setiap orang itu berbeda. Jadi, alangkah lebih baik jika seseorang tahu dulu tujuan dan jenis kulitnya sendiri sebelum menggunakan produk perawatan.
Kedua, pakai yang kamu butuhkan. Jika kamu butuh pencuci muka antiminyak, ya pakai produk yang tepat. Jangan langsung membeli sesuatu yang marak atau populer digunakan oleh masyarakat.
Ketiga, mulai dengan produk yang murah. Siapa tahu produk itu cocok dengan kulitmu!
Keempat, bersabar! Jangan menuntut hasil yang maksimal dalam waktu yang minimal. Semuanya butuh waktu, begitu pun kulitmu!

Saat menutup wawancara, Billy mengatakan bahwa 2017 adalah momen di mana ia menyadari bahwa makeup yang ia butuhkan itu berasal dari dalam dirinya. Dia menyadari bahwa dulu ia memberikan tekanan untuk dirinya sendiri. Dia merasa perlu menggunakan makeup agar bisa tergabung dalam sebuah kelompok sosial tertentu.

Momen di mana ia merasa cukup adalah ketika seorang murid berkata kepada Billy, "Aku pengen bisa hebat kayak Kak Billy."

Sebuah pandangan sederhana terhadap prestasi yang telah Billy torehkan, bukan fisik yang ia tutupi dengan makeup. Tak aneh, memang. Billy yang memiliki sejumlah prestasi memang layak dijadikan seorang idola. Kepiawaiannya dalam memandu sebuah acara hingga pengalamannya mengikuti sebuah program pendidikan di Australia membuatnya dikagumi oleh banyak orang. Ucapan muridnya lir sebuah alarm bagi Billy untuk lebih membenahi kualitas dalam dirinya daripada terus-menerus menggunakan makeup sebagai sebuah tameng.

"I am beautiful just the way I am," pungkas Billy di pengujung wawancara kami.

"Hell yeah you are."

*****

Seluruh foto pada tulisan ini adalah hasil jepretan Megantara Wildan Triyana.
Diunggah setelah mendapatkan persetujuan pihak pemotret.

Asumsimu


Beberapa hari yang lalu, saya mengunggah fitur pertanyaan di Instastory. Menanyakan asumsi teman-teman Instagram tentang diri saya. Sebagian asumsi membuat saya terkaget, ada pula yang sempat membuat saya terbahak. Tak sedikit pula yang mengisi fitur tersebut dengan hal-hal retoris, seperti gondrong, Saiful, dan lain-lain. HAHA

Izinkan saya mengonfirmasi asumsimu satu-satu.

Pendiam
Saya mengakui jika pendiam adalah satu label paling sering diberikan oleh orang lain kepada saya. Jika dibandingkan dengan teman-teman lain, mungkin saya lebih diam daripada mereka. Khususnya saat pertama kali bertemu atau saya tidak terlalu akrab dengan seseorang, saya akan memilih untuk diam dan menjadi penyimak sejati. Namun jika kita mengenal satu sama lain, saya tidak sependiam yang kalian kira, ko.

Sombong banget
Banyak yang berasumsi jika saya adalah orang yang sombong. Merasa kurang mendeskripsikan kesombongan saya, beberapa menambahkam banget untuk menekan maknanya. Apakah wajah saya sejemawa itu?
Saya mengira asumsi ini berasal dari wajah rehat saya yang terlampau menakutkan atau memicu kesebalan bagi orang lain. Namun, saya tidak sombong.
Asli.

Garang
Antara bangga sama enggak diasumsikan sebagai orang garang....

Kreatif
Saya selalu berusaha untuk menjadi orang kreatif. Ketika ada yang berasumsi bahwa saya adalah orang kreatif, wow senang sekali!

Emosian?
Ya, tanda tanya itu berasal dari penulisnya langsung. Saya langsung mengonfirmasi bahwa saya memang mudah sekali emosi. Jika ada teman saya yang lambat dalam mengerjakan sesuatu, saya sering memendam emosi. Saat ada yang berjalan sangat lambat, saya juga sering marah. Padahal saya juga kerap lambat dalam mengerjakan sesuatu.

Suka banget nulis
YA. Sejak duduk di bangku SD, saya suka sekali menulis dan genre favorit saya pun berubah-ubah seiring berkembangnya bahan bacaan saya. Komik adalah jenis tulisan yang saya buat saat SD, walaupun saya sangat tidak jago menggambar. Kerap kali teman saya yang menggambar ilustrasi untuk cerita yang saya tulis. Genre saya bergeser saat saya memasuki fase SMP. Saya suka sekali menuliskan cerita hantu. Awalnya, saya menulis untuk mengaktualisasikan hobi saja, tetapi lama-kelamaan saya menulis karena banyak orang yang suka tulisan saya. Bahkan para perundung!
Pernah suatu hari, salah satu perundung mendekati saya sembari meminta buku cerita. Dia mengancam akan memukul saya jika saya tidak memberikan buku cerita saya. Ancaman yang sangat menyentuh, kan?
Saya menulis berbagai kisah romantis saat mencapai titik SMA dan kuliah. Komitmen untuk menerbitkan novel dengan genre drama romantis pun mulai menguar, walaupun hingga detik ini tidak terealisasikan.

Suka harkos sama cewek
Hm.
Ternyata ada yang menganggap saya suka memberikan harapan kosong bagi para perempuan. Mari kita bahas tentang asumsi ini.
Saya mempunyai banyak sekali teman perempuan. Bahkan lebih banyak daripada teman laki-laki. Lebih banyak.
Saya sangat mudah memberikan afeksi dalam bentuk apa pun; menanyakan kabar, memeluk, dan memberikan perhatian lebih. Kepada siapa pun; laki-laki ataupun perempuan. Apa alasannya? Sekadar menunjukkan bahwa saya menyayangi mereka. Ternyata, konsep menyayangi orang itu perlu dibatasi dan tidak diobral terlalu berlebihan karena sangat berisiko untuk disalahartikan. Walhasil, asumsi Zain Si Pemberi Harkos pun kerap menyebar dan banyak orang yang mengingatkan saya untuk tidak memberikan harapan kepada para perempuan.
Selain itu, banyak pula orang yang enggan diberikan perhatian karena mereka sudah merasa cukup diperhatikan. Layaknya mereka akan overdosis dan mati jika diberikan afeksi berlebihan.
Baik, warganet dan teman nyataku. Saya turuti keinginan kalian. :))

Suaranya bagus
Di kamar mandi? Saya suka merasa berhasil menyanyikan lagu apa pun.
Di luar kamar mandi? Saya harus berusaha agar suara yang diproduksi layak-dengar dan tidak mengganggu tetangga.

Gak pernah saltik
Salah besar.
Jempol besar ini adalah biang kerok dari semua saltik yang pernah saya buat.
Bahkan saya sempat mengirimkan pesan kepada dosen: Saya diberi tahi oleh pihak jurusan....
Dosen saya hanya membalas: Kala dikasih tahi jangan pernah terima.

Kalau nonton animasi pasti tidur
Ini adalah sebuah fakta. Saya jarang menonton film animasi, fiksi sains, atau ciat-ciat (yang sebenarnya adalah film aksi atau laga) karena itu terlalu membosankan. Satu-satunya film animasi yang saya nikmati dan tonton secara keseluruhan adalah Spiderman into the Spider Verse.
Sisanya? Selamat tidur!

Lebih suka Midsommar daripada Hereditary
Salah. Saya lebih suka Hereditary daripada Midsommar.
Toni Collette? Siapa yang bisa menyaingi tangisan beliau di Hereditary? Atau antukan kepalanya? Atau permainan emosinya?

Sedang berbahagia
Ah, tentu saja.
Semoga kebahagiaan juga selalu memelukmu.

Jumat, 29 November 2019

Kamu dan Kulit Ayam


            Baik, menulis sebuah kisah tentang kamu ternyata perlu banyak persiapan. Ibarat memperkenalkan kamu kepada kedua orang tua dan meminta doa restu mereka agar kita direstui untuk hidup berdampingan seterusnya.
            Hm. Itu terlalu berlebihan.
          Menulis tentang kamu membuat aku cemas. Enggan untuk membuka kardus-kardus kenangan singkat yang kemungkinan besar membuat aku rindu lagi. Membuat aku ingin meneleponmu dan menghabiskan malam-malam panjang sembari bercerita tentang Erau dan kebakaran. Namun, kehidupan terus berlanjut dan aku perlu berani mengambil keputusan. Kamu perlu diabadikan dalam sebuah tulisan agar aku bisa mengenang setiap titik momen yang pernah kita rasakan.
            Tulis tentang aku.
            Apakah aku bisa menolak? Tentu saja tidak.
       Hari silih berganti, minggu demi minggu luruh, bulan pun tidak bisa terus bertahan, dan aku belum menuliskan apa pun untukmu, tentangmu. Maka hari ini aku bersungguh-sungguh menyelesaikan tulisan ini agar kamu tahu; kamu sempat menghangatkan kehidupan seseorang dan kamu layak berbahagia.
*****
6 Agustus 2019. Tanggal di mana kita memutuskan untuk saling bertukar nomor ponsel. Hari pertama kita memutuskan untuk mempertahankan intensitas obrolan. Aku tidak menyesal sama sekali, walaupun berakhir tidak sesuai dengan yang diinginkan. Jika diingat kembali, usahamu untuk melemparkan kode sangatlah lucu. Sebagai anak jahil, aku terus berpura-pura tidak mengerti kodemu sama sekali. Padahal hati sudah kegirangan duluan karena dapat chat dari kamu.
Jika aku ditanya pandangan pertama tentang kamu, aku akan menjawab dengan yakin bahwa kamu adalah orang yang pandai menciptakan kenyamanan. Sejak panggilan pertama, tidak ada momen yang membuatku kikuk dan bingung. Kamu selalu mempunyai segudang topik perbincangan, dari kehidupan personal hingga kebudayaan. Mengenang masa lalu bersama hingga malam melarut adalah aktivitas yang menyenangkan. Aku tak marah sama sekali saat kamu menelepon ketika aku mengerjakan tugas. Mendengarkan suaramu adalah senyaman-nyamannya istirahat.
Perdebatan ihwal waktu istirahat selalu menjadi bagian yang paling aku sukai. Jika jam sudah menunjukkan pukul 11 di sini, aku akan berusaha memaksamu untuk mengakhiri panggilan. Saat kamu meminta waktu tambahan, aku selalu senang. Walaupun aku sering melontarkan komentar besok kan kerja dan gimana coba kalau kurang istirahat, tapi aku sangat senang jika harus mengundur waktu beristirahat. Menyimak percakapanmu tentang apa pun selalu membuatku terkesima; betapa kamu peduli terhadap lingkungan di sekitarmu, kehausanmu terhadap pengembangan potensi diri, hingga usahamu untuk bernyanyi. Picking it up, picking it up, I’m loving, I’m living, I’m picking it up.
Aku menyadari satu hal tentang gaya obrolan kita; aku selalu mengucapkan selamat malam terakhir dan kamu selalu menjadi selamat pagi pertama. Terima kasih 1.814 km dan perbedaan satu zona waktu!
Aku ingat suatu hari pada bulan Agustus, kamu menghubungiku untuk sekadar mengabari bahwa kamu tidak bisa ke Jakarta.  Walaupun tujuan utamanya adalah menyemangati perwakilan daerah masing-masing, tetapi kan bisa curi kesempatan. Patah semangat? Tentu saja. Aku pikir kesempatan itu adalah momen paling tepat untuk mengenang kembali pertemuan pertama kita. Jika saja saat itu aku sudah tahu kalau kamu adalah orang yang keras kepala, aku sudah melayangkan sebuah surat permohonan agar kamu diberikan cuti. Agar mereka tahu bahwa cutimu itu tidak hanya menyoal duta bahasa, tetapi jauh lebih dalam daripada itu. Aku akan berlaku lebih keras kepala daripada kamu. Mengapa?
Karena rindu harus dibayar tuntas dan pelukan akan menyelesaikan segalanya. Iya, kan?
*****
Suatu hari, aku terkena writer’s block. Maksud hati ingin menulis sesuatu untuk diunggah di blog, tetapi ide enggan untuk berdatangan. Beberapa kali menulis sebuah kalimat, lalu dihapus kembali karena tidak sesuai yang diharapkan. Proses tulis-hapus ini berlangsung cukup lama hingga aku memutuskan bertanya kepadamu.
“Kamu punya ide buat tulisan gak?”
“Hahaha. Tulis aja tentang ayam.”
Tentu saja, aku terbahak membaca ide yang kamu usulkan. Apa yang akan aku tuliskan tentang unggas bernama ayam? Bahwa mereka sempat terkena flu yang menggegerkan kehidupan manusia? Atau olahannya sedang populer dan dikembangkan menjadi berbagai jenis menu makanan? Kesukaanku terhadap ayam geprek sambal matah? Nampaknya ide tersebut, walaupun diberikan oleh orang yang spesial, tidak bisa menolong sama sekali.
Hingga satu titik aku teringat sebuah cerpen Dewi Lestari yang berjudul Hanya Isyarat.

Sahabat saya adalah orang yang berbahagia. Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian lain. Ia hanya mengetahui apa yang sanggup ia miliki. Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki.

            Sebuah cerpen yang aku baca pada saat berkuliah. Dulu, aku sempat menangis membaca cerpen itu. Nahas sekali nasib ‘saya’ yang menyukai seseorang, tetapi tidak bisa memiliki. Ingin memeluk tubuh seseorang, tetapi kenyataan membuatnya tak berdaya. Mengetahui keberadaan seseorang tanpa bisa masuk ke dalam kehidupannya.
           Pernahkah kamu menyimpan kulit ayam untuk dimakan terakhir? Menganggap kulit ayam adalah sebuah mahakarya yang perlu diagungkan dan dinikmati secara spesial? Itu mungkin keterkaitan antara kamu dan ayam. Bahwa kalian sama-sama berharga, dilindungi agar tak ada yang merebut, dan sangat spesial. Aku akan berusaha untuk mempertahankan kamu layaknya aku mempertahankan kulit ayam. Namun, mungkin ini yang dimaksud dengan kemanusiaan oleh para sosiolog terkenal itu. Kita akan merelakan sesuatu jika ada yang lebih pantas mendapatkan. Manusia dituntut untuk memiliki empati dan melihat sekeliling; apakah aku atau orang lain yang lebih membutuhkan?
                Begitu pun tentang kamu.
                Jika pada epilog cerita kita ternyata kamu tidak berakhir dengan aku, apa boleh dikata? Kamu berhak bahagia dengan caramu sendiri. Jika bahagiamu adalah melakukan apa yang kamu rasa tepat seperti yang kamu sampaikan di telepon waktu itu, tentu saja aku mengizinkan. Satu pesanku; kamu tahu yang baik untukmu dan harus tahu yang terbaik untuk orang lain.
*****
                Bagian ini mungkin akan menjadi sesuatu yang menggelikan. Bersiaplah.
              Ada miliaran orang di dunia ini dan mereka tidak berdiam diri di satu titik yang sama. Ada jarak yang membentang dan memperkecil kesempatan seseorang untuk mengenal satu sama lain. Begitu pun perbedaan budaya, zona waktu, kepercayaan, dan sebagainya. Kita beruntung. Dipertemukan pada sebuah kesempatan yang menyatukan sebuah perbedaan melalui bahasa. Menjadikan kita lebih berkesempatan untuk mengenal dan sempat menjalin sesuatu yang indah. Walaupun takdir tidak menggiring kita ke posisi yang kita inginkan, atau setidaknya yang aku inginkan, tidak mengapa. Toh Tuhan selalu tahu apa yang dibutuhkan makhluk-Nya.
            Suatu hari nanti, aku akan mengatakan kepada anakku (yang tentu saja hasil adopsi, aku tidak menikah) bahwa kamu adalah sosok yang hebat. Bahwa anakku harus bisa menjadi seperti kamu, bahkan lebih baik. Dia harus bisa membuat orang lain tertawa, sangat menghormati budaya, selalu memberikan yang terbaik, dan rajin berolahraga. Dia harus tahu asal-usul dirinya dan taat beragama.
          Aku tahu kamu selalu menghindari topik ini, tapi aku mendoakan yang terbaik untukmu dan seseorang yang nanti beruntung mendapatkanmu. Kebahagiaanku adalah melihat kamu bahagia. Klise sekali, ya? Terasa seperti mendengar kalimat yang sering dilontarkan karakter pada sebuah acara teve. Namun, aku benar-benar memaknainya. Kamu akan menjadi seseorang yang baik. Seseorang yang mampu memberikan kehidupan yang layak dan menjadi contoh kebaikan yang ideal. Siapa pun orang yang mendampingimu untuk babak kehidupanmu selanjutnya, aku harap dia menyadari seluruh kelebihanmu dan menerima kelemahamu.
          Suatu saat nanti, ketika pada akhirnya jarak menipis dan kita diperkenankan bertemu, kita akan bertemu layaknya dua orang teman yang telah lama terpisah. Berpelukan, saling menanyakan kabar, lalu menghabiskan hari sembari minum kopi dan menceritakan perjalanan yang telah kita tempuh. Pada saat itu, kita akan menyadari betapa baiknya kehidupan. Dan betapa waktu telah mengubah kita untuk menjadi lebih dewasa dan menghargai perpisahan.
       Terakhir, aku ingin mengucapkan satu kalimat untukmu. Dulu aku lupa mengatakan ini karena terlalu cengeng dan tidak mau menangis saat meneleponmu.
           Terima kasih untuk semua yang sudah kamu lakukan, Sayang.
           Dan aku janji, itu kata sayang yang terakhir.
*****
To know you as a friend,
And someone who shared love unconditionally
I am the luckiest man alive.
I sure do.              

Kamis, 21 November 2019

Daftar Putar | November 2019

Getting bored of your playlist and looking to add some new tunes? We've got you covered with some of our favorite playlist inspiration songs for summer!
Hak milik: Society19
Beberapa lagu yang sering diputar di Spotify atau YouTube bulan ini. Lumayan untuk menemani hari-hari yang cuacanya tidak dapat diprediksi.

1. Greyson Chance - Boots
2. Finneas - Break My Heart Again
3. Ben Platt - River
4. Maroon 5 - Memories
5. Lizzo - Good As Hell
6. Teza Sumendra - I Want You Love
7. Eva Celia - All About You
8. Yura Yunita - Harus Bahagia
9. Audrey Tapiheru - Daisy
10. Ardhito Pramono - cigarettes of ours
11. Kygo feat Whitney Houston - Higher Love
12. Gamaliel - Bahagia Bersama
13. Harry Styles - Lights Up
14. Jeremy Zucker - all the kids are depressed
15. Sigrid - Strangers

November dan Seluruh Kegelisahan di Dalamnya

Indekos, menuju akhir November 2019

Saya sempat ragu untuk mengunggah tulisan ini. Beberapa dari kalian mungkin akan berdecak sebal membaca konten yang, lagi-lagi, bernada muram. Sebagian dari kalian mungkin langsung melabeli tulisan ini sebagai hasil romantisisme tragedi kehidupan.  Baiklah, sekadar peringatan, seluruh kata pada tulisan ini adalah sesuatu yang nyata. Hidup bisa saja menyebalkan dan itu sangat normal. Untuk kalian yang sedang merasa jatuh dan sulit untuk bangkit, saya doakan yang terbaik untuk kalian.

Ini kisah November saya tanpa filter apa pun.

*****
Hasil gambar untuk pinterest light end of tunnel
Menemukan gambar ini di Pixels.com

Pagi ini, Teh Vera mengirimkan sebuah video kilas balik berisi keberangkatannya ke Warrnambool tahun lalu. Sebuah kedatangan yang sempat menghangatkan bagi perasaan saya yang sedang lebur saat itu. Kang Agung, sahabat rantau lainnya, juga mampir dan ikut meramaikan hari berkabung saya. Milane, rekan kerja di sekolah, pun sempat hadir sembari membawa beberapa cangkir kopi untuk menenangkan saya. Tak ada yang lebih menenangkan daripada dikelilingi orang-orang tersayang saat kamu sedang terjatuh, kan?

Setahun kemudian, tepatnya hari ini, saya tidak bekerja. Suhu tubuh meninggi dan pusing enggan untuk mereda. Saya melihat setumpuk soal ulangan untuk anak-anak dan menghela napas panjang. Tahun lalu, saya tidak berurusan dengan asesmen seperti ini. Saya hanya datang ke kelas, mengajarkan kosakata sederhana, memainkan wayang sebentar, menggetarkan angklung, bernyanyi satu dua tiga bunga, lalu kembali ke ruangan. Tak ada penilaian macam ini. Tak ada kejenuhan karena harus membuat seperangkat penilaian bagi anak-anak.

Entah apa yang telah saya perbuat, tetapi November nampaknya selalu sukses membuat saya tertekan. Seluruh tekanan yang muncul menggunakan dalih yang sama; kehilangan. Namun, tahun ini kehilangan bermetamorfosis ke dalam berbagai bentuk yang saya sendiri tidak siap menghadapinya. Seluruh lelah dan sedih yang terjadi sejak awal tahun ini berakumulasi menjadi satu titik puncak kelelahan. Dan kenangan, sesuai dengan tugasnya, memperkeruh keadaan.

Namun, selalu ada titik terang di akhir sebuah terowongan, kan?

Titik lelah ini membuat saya merasa perlu berbicara pada seseorang dan mencurahkan seluruh kegelisahan yang bercongkok sejak awal bulan. Saya menemukan seseorang dan dia bersedia untuk menyimak dan berbicara seperlunya, tanpa menghakimi apa pun. Seharusnya saya ragu untuk menceritakan kisah personal saya, tapi apa mau dikata? Saya sudah lelah. Walhasil, sejak menit pertama pertemuan, kisah saya mengalir di hadapannya.

Tentang keluarga, patah hati, pekerjaan, tanggung jawab, dan mimpi yang perlu dipupus satu-satu.

Ihwal patah hati, saya menceritakan betapa kepercayaan romantis saya terhadap orang lain sudah mulai menurun. Jika berbicara tentang hubungan percintaan, itu memang sangat fluktuatif. Ada kalanya kita bahagia, ada juga bagian di mana kita merasa terpuruk. Lumrah, bukan? Sayangnya, saya nampak sangat amatir dalam dunia ini. Ditinggalkan dengan alasan-alasan nirlogis (dari sudut pandang saya, tentu saja) sudah membuat saya lelah. Saya nyaris menyerah.

Pekerjaan dan tanggung jawab juga mendesak saya untuk bekerja lebih ekstra bulan ini. Hey, tidak ada yang salah dengan memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang besar. Semuanya mendewasakan. Saya menyadari bahwa bulan ini, seluruh kesibukan pekerjaan dan tanggung jawab mencapai puncaknya. Kesibukan demi kesibukan perlu dituntaskan. Saya, sebagai orang yang selalu bekerja menjelang tenggat, merasa kelimpungan. Saya sempat diam di dalam toilet selama satu jam penuh hanya untuk menenangkan dan meyakinkan diri bahwa semuanya akan berakhir. Seluruh pekerjaan akan segera tuntas. Mengevaluasi diri agar tidak menunda sebuah pekerjaan.

Saya adalah tipe orang yang sering merencanakan sesuatu, khususnya pendidikan dan masa depan. Ada beberapa mimpi yang nyatakan harus dipupus dan masa depan yang perlu saya perhitungkan kembali bulan ini. Hidup memang tidak bisa seenaknya, ya? Tuhanlah yang berperan besar. Kita, manusia-manusia yang sedang berusaha ini, hanya bisa berdoa dan bekerja keras. Membuktikan bahwa kita layak mendapatkan yang kita inginkan.

"Kadang, kesedihan yang kita rasakan itu berkorelasi dengan kebahagiaan yang orang lain dapatkan. Begitu pun sebaliknya. Atau bisa jadi, kesedihan kita itu sama dengan yang orang lain rasakan."

Saya memutuskan untuk tidak berkomentar apa-apa. Namun, dia tidak mengizinkan sunyi merebak di sekitar kami.

"Gini, bahagia itu tujuan semua orang. Ya tapi enggak semua orang bisa mencapai titik bahagia setiap saat. Kamu perlu jatuh biar bisa bangkit. Sesekali perlu diuji biar kebahagiaan layak kamu dapatkan."

"Ya kalau jatuh terus, lama-lama saya luka."

"Hidup itu adil. Percaya dulu sama kalimat itu. Kamu jatuh lima kali, ada lima kebahagiaan yang nunggu depan kamu. Atau satu kebahagiaan yang bisa membuat kamu merasa sempurna. Kamu hanya perlu nunggu dan berusaha."

Saya hanya tersenyum dan memilih untuk bungkam. Mencerna setiap ucapan yang ia lontarkan.

"Kalau kamu perlu waktu nangis, jangan sungkan. Tapi, kalau tangis kamu selesai, janji sama diri kamu sendiri bahwa semuanya bakal baik-baik saja.

Saya menjawab saya tidak ingin menangis dengan mantap. Saya enggan untuk menangis lagi di depan orang. Sebelum mengakhiri sesi bincang-bincang, dia meminta saya untuk menggunakan tulisan sebagai media refleksi diri. Katanya, menulis adalah salah satu upaya untuk menenangkan diri. Tentu saja saya menyetujui.

Selama bulan ini, banyak cacian yang berkecamuk dalam pikiran saya. Semuanya bermuara kepada diri sendiri.

Gini aja gak becus.Makanya jangan percaya orang lain.Gak punya komitmen.Ya semuanya gara-gara kamu.Gak guna emang.Gak ada harga diri di depan orang lain.Malu-maluin.
Ujaran-ujaran itu adalah produk dari lelah dan kesal yang tertahan. Semenjak saya berbicara  dengannya, saya merasa jauh lebih baik. Setidaknya, saya lebih tenang dalam menghadapi kehidupan. Celaan-celaan itu sedikit demi sedikit memudar dan jarang berkunjung ke pikiran saya.

Untuk teman-teman yang sedang merasa terjatuh, kita berada di posisi yang sama. Jangan dengarkan umpatan yang muncul dalam pikiran dan membuat kamu merasa sebagai pusat dari semua kesalahan. Tidak. Ini hanyalah sebuah fase untuk membuat kita lebih baik. Membuat kita lebih menghargai diri sendiri dan seluruh upaya yang telah kita lakukan. Semuanya akan berakhir. Suatu saat kita akan terbangun dari tidur  dan menyadari semuanya sudah berlalu. Kita merasa jauh lebih baik. Jika itu tidak terjadi hari ini, kita tunggu besok pagi.

Kita perlu bersabar dan terus berusaha.

Dan untuk kalian yang sempat berpikir mengakhiri segalanya; Jangan. Kita masih punya kesempatan. Seberat apa pun masalahnya, kita masih punya kesempatan untuk menjadi lebih baik. Pun mendapatkan yang lebih baik. 

Selalu ada titik terang di akhir sebuah terowongan. 

Kita hanya perlu terus berjalan.

Senin, 09 September 2019

Memahami Gundala


Abimana Aryasatya and Tara Basro in Gundala (2019)
Diambil dari IMDB

Semua orang yang pernah menonton film dengan saya sudah tahu benar kalau genre film pahlawan super bukanlah favorit saya. Jika terpaksa harus memilih, saya akan lebih memilih film Kuntilanak Ngesot Mengejar Cinta Pocong Kejepit daripada film bergenre fiksi sains ataupun laga. Hal tersebut memicu sebuah perdebatan batin ketika saya mengetahui Joko Anwar (Pengabdi Setan, 2017) dipercaya untuk menjadi sutradara film jagoan berjudul Gundala. 

Haruskah saya menonton film tersebut karena Mas Joko adalah Sang Sutradara? Atau, haruskah saya melewatkan film tersebut?

Untung saja, nalar saya masih berjalan dengan baik. Prestise Mas Joko selaku seorang sutradara keren mengalahkan ego saya sendiri. Saya menonton Gundala untuk pertama kalinya bersama Vera. Sebuah keputusan yang sangat baik, tentu saja. Lalu, saya menonton film tersebut untuk kedua dan ketiga kalinya demi analisis film yang agak mendalam dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di otak saya.

Bagi yang belum tahu, Gundala merupakan karakter komik yang diciptakan oleh komikus kondang Indonesia, Hasmi. Komiknya dipublikasikan pada tahun 1969. Gundala versi komik sempat difilmkan pada tahun 1980-an dengan judul yang sama. Namun, Gundala masa kini bukanlah sebuah bentuk ulang film terdahulunya, melainkan sebuah film dengan skenario baru dan dipilih sebagai pembuka Jagat Sinema Bumilangit. 



Ada banyak hal yang saya sukai dari Gundala. Namun, ada pula unsur-unsur yang membuat saya mengerutkan dahi karena belum ketebak maksud pemikiran Mas Joko. Sekadar mengingatkan, tulisan selanjutnya mengandung beberan yang kalian (baca: para antibeberan) enggan untuk mengetahui sebelum menonton. Jadi, silakan tutup halaman ini sebelum kalian tercemar oleh informasi yang akan saya bagikan.

Mari kita awali dari hal-hal janggal yang belum saya temukan jawabannya.

PENGENALAN KELUARGA POLITISI MUDA
"Ini semua anggota legislatif?" tanya Sang Anak sembari memperhatikan sekeliling.
Ayahnya tersenyum. "Iya, mereka semua kolega Papa."

Seperti itulah kutipan percakapan yang saya ingat. Hal yang membuat saya kurang sreg adalah ketika Sang Anak yang disinyalir masih SD berkata kepada ayahnya dengan menggunakan frasa anggota legislatif. Saya semakin kurang sreg saat ayahnya juga menggunakan kata kolega untuk mendeskripsikan teman-teman legislatifnya. Secara personal, saya sih kaget dan menyeringai pas mendengarkan percakapan ini. Mungkin, Mas Joko dan tim punya maksud tersendiri saat menciptakan dialog ini.

PEMILIHAN ADEGAN MENGGUNAKAN CGI
Bagi yang belum tahu, CGI (Computer-Generator Imagery) adalah sebuah teknologi modern yang digunakan dalam dunia perfilman untuk memanipulasi gambar/video sehingga tampak lebih nyata. Nah, Gundala menggunakan CGI untuk menciptakan penggambaran yang lebih apik dan realistis. Namun, ada satu adegan yang, menurut saya, agak berisiko dan eksekusinya kurang tepat. Adegan tersebut adalah adegan di mana Sancaka dilempar dari atas gedung. Bagaimana menurut kamu?

HUBUNGAN KELELAWAR DAN KI WILAWUK
Adegan ini terjadi saat Ghazul (Ario Bayu) dan Ganda (Aqi Singgih) berhasil menggali bongkahan kaca berisi kepala Ki Wilawuk (Sujiwo Tejo). Saat itu, tiba-tiba banyak kelelawar beterbangan di langit sembari membuat formasi melingkar. Apakah hubungan kelelawar dengan Ki Wilawuk? Atau hanya sebatas efek visual untuk mencekamkan suasana? 

NASIB ANAK BAPAK

sekilas-tentang-anak-anaknya-bapak-di-film-gundala
Cecep Arif Rahman sebagai Swara Batin

Semua karakter anak bapak itu luar biasa kuat dan menarik untuk diamati. Namun, tiga anak yang mencuri perhatian saya adalah Swara Batin (Cecep Arif Rahman), Mutiara (Kelly Tandiono), dan Desti Nikita (Asmara Abigail). Sayangnya, waktu yang terbatas membuat penceritaan karakter para anak ini kurang tereksplorasi dengan menyeluruh. Adalah hak sutradara dan penulis naskah untuk mengarahkan nasib para tokoh, tetapi saya kok tidak ikhlas kalau para anak hanya muncul sebatas itu. Akankah mereka dikisahkan kembali?

Sulit untuk memikirkan sisi negatif dari film ini, mari kita bicarakan hal-hal lu ar bi a sa saja!

SINEMATOGRAFI YANG LUAR BIASA
Ical Tanjung (Pengabdi Setan, 2017) adalah seorang jenius. Sinematografi Gundala layak dipertimbangkan untuk menjadi pemenang Festival Film Indonesia. Saya dimanjakan oleh kualitas visual dan sudut pengambilan gambar yang sangat baik. Sebut saja adegan Sancaka Kecil (Muzakki Ramdhan) dan Ibu Sancaka (Marissa Anita) yang sedang berkejaran dengan waktu untuk mengejar Ayah Sancaka (Rio Dewanto). Atau, adegan Sancaka Kecil yang sedang dilatih bela diri oleh Awang (Faris Fadjar) di atas gerbong kereta yang sudah usang. Atau, saat Swara Batin muncul dan hendak membunuh Ridwan Bahri (Lukman Sardi). Atau, saat Gundala (Abimana Aryasatya) berhasil menghancurkan seluruh botol vaksin dan berjalan kelelahan di jalanan. Banyak sekali keindahan yang dihasilkan dari otak cerdas Mas Ical.

KUALITAS AUDIO YANG MENGGELEGAR
Bagian tata suara dijaga oleh Anhar Moha (Pengabdi Setan, 2017) yang sudah familiar dengan cara kerja Joko Anwar. Pengabdi Setan, mahakarya Mas Anhar, sudah memiliki tata suara yang keren. Namun, Gundala sudah menyentuh level yang lebih tinggi. Gundala menjadi film pertama Indonesia yang menggunakan tata suara Dolby Atmos. Jika kalian belum tahu, silakan meramban di mesin pencarian dan menonton Gundala di bioskop yang memiliki fasilitas Dolby Atmos. Rasakan sensasi suara petir yang terdengar nyata.

NASIB HIDUP SANCAKA
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Gundala adalah sebuah hasil alih wahana dari bentuk komik. Dalam situs Bumilangit, Sancaka versi komik dikisahkan sebagai seorang insinyur jenius yang sedang bertekad untuk menemukan serum antipetir. Namun, nasib hidup Sancaka versi Mas Joko tidak sama dengan buatan Mas Hasmi. Mas Joko nampaknya ingin menciptakan seorang jagoan yang lebih merakyat. Agar figur jagoan tidak hanya eksklusif dimiliki oleh orang-orang yang berilmu pendidikan tinggi saja. Tebakan saya, itulah mengapa Mas Joko membuat Sancaka berprofesi sebagai seorang satpam dan tumbuh di tengah-tengah wilayah industri. 
Perkembangan pola pikir Sancaka juga dibuat dengan sangat baik. Pada awal film, kita bisa mengetahui nilai hidup yang Ayah Sancaka tanamkan adalah karena kalau kita diam saja melihat ketidakadilan di depan mata kita, itu tandanya kita bukan manusia lagi. Pola pikir tersebut dipupuk dalam benak Sancaka hingga satu titik dia bertemu dengan Awang; seorang malaikat pelindung dan harapan Sancaka satu-satunya. Nilai hidup yang Awang sampaikan itu berkebalikan dengan Ayah Sancaka; jangan ikut campur urusan orang lain, kamu bakal selamat.
Sepanjang film, kita disuguhkan bagaimana mental Sancaka berkembang dari seorang satpam yang berusaha tidak mudah empati hingga menjadi seorang jagoan yang mementingkan kehidupan bersama.

DEPARTEMEN AKTING YANG SOLID
Perlu dijelaskan? Sudah lihat deretan nama pemeran karakter dalam film Gundala? Kalau sudah, lekas menonton. Hampir seluruh aktor dan aktris ini menyuguhkan penampilan yang memukau, khususnya Bront Palarae (pemeran Pengkor) dan Pritt Timothy (pemeran Agung).

SEBUAH KRITIK SOSIAL

Rakyat harus selalu bodoh. - Pengkor

Gundala bukan hanya sebatas film jagoan andalan Indonesia saja. Seperti ruh yang terdapat pada kata jagoan, ada sesuatu yang ingin ditumpas melalui film ini. Adalah kritik tajam yang dilayangkan oleh Gundala kepada kondisi politik saat ini. Jika kalian menyimak adegan persidangan, kalian bisa melihat seluruh karakter politisi itu memiliki perbedaan. Ada yang mementingkan diri sendiri, memilih sesuatu karena dia ingin masuk surga, memperlihatkan kejelekan sendiri, dan lain-lain. 

Mari kita lanjutkan dengan menganalisis beberapa kejutan yang terjadi di dalam film.

PETIR, SANCAKA, DAN GUNDALA

Hasil gambar untuk gundala 2019
Diambil dari CNN Indonesia

Sancaka Kecil sangat takut dan merasa dikejar-kejar oleh petir. Namun, saya berpikir Sancaka memang terlahir dengan petir di dalam jiwanya. Saya mulai berpikir demikian setelah Agung berteriak kepada Sancaka pada beberapa adegan ujung bahwa kekuatannya itu sudah ada dalam diri Sancaka sendiri. Lalu, duar! Petir bermunculan.
Petir dalam bahasa jawa disebut gundolo yang saya kira adalah awal mula dari nama Gundala. Namun, sepanjang film Sancaka tidak pernah menyebut dirinya sebagai Gundala. Hanya Ghazul yang menyebut Sancaka sebagai Gundala dan, tentu saja, membuat kita perlu mempertanyakan posisi Ghazul dalam lini masa penceritaan film ini. Kenapa dia merujuk Sancaka dengan nama Gundala?

VIRUS ANTIMORAL
Mas Joko nampaknya ingin memperlihatkan betapa masyarakat Indonesia mudah sekali termakan hoaks. Saya menyadari bahwa virus antimoral itu hanyalah hoaks semata. Tidak ada virus semacam itu. Hoaks itu sebenarnya hanya untuk menggiring para ibu hamil untuk mendapatkan vaksin. Nah, vaksin itulah yang lebih berbahaya karena dapat membuat janin bayi cacat. 
Namun, masyarakat cenderung langsung cemas hingga melakukan demonstrasi dan menuntut para Dewan Kehormatan untuk melakukan suatu aksi.

KEMUNCULAN KI WILAWUK
Ingat sosok bayangan yang muncul pada mimpi Sancaka? Itu sudah bisa dipastikan adalah Ki Wilawuk. Lalu, apa hubungannya dengan jasad Ayah Sancaka yang bersimbah darah? Ghazul pernah berkata bahwa untuk membangkitkan Ki Wilawuk itu membutuhkan kepala seorang legenda dan darah seorang pahlawan. Mungkin, ini menandakan bahwa Ayah Sancaka, atau seluruh keturunannya, merupakan keturunan pahlawan yang mampu membangkitkan Ki Wilawuk.
Atau Ki Wilawuk adalah musuh bebuyutan nenek moyang Sancaka?

MATERIAL KACA
Walaupun Pengkor adalah antagonis yang dicitrakan sebagai musuh utama, tetapi saya melihat Ghazul adalah dalang utama dari semua permasalahan. Cita-cita dia sudah bisa ditebak; membangkitkan Ki Wilawuk. Namun, keinginannya tidak semudah itu terlaksana karena ada material kaca yang melindungi tubuh Ki Wilawuk. Hanya satu orang yang bisa menghancurkan material kaca tersebut.  Saya bertaruh, Sancaka adalah orangnya.
Oleh karena itu, Ghazul membuat  botol kaca vaksin bermaterial sama dengan kaca yang melindungi tubuh pujaannya. Walhasil, ketika Sancaka menghancurkan botol kaca vaksin, material kaca Ki Wilawuk juga hancur. Sadar atau tidak jika nama ambulans yang mengantarkan vaksin bernama Ghapharma? Mungkin, Ghazul Pharmacy?

Secara garis besar, saya sangat menyukai Gundala. Sebagai penggila horor dan drama, saya terkejut dengan kemampuan saya bertahan dari rasa kantuk selama dua jam saat menonton film ini. Namun, kehormatan adalah milik Mas Joko dan tim yang sudah mengeksekusi Gundala dengan ciamik. Memberikan standar yang tinggi untuk film Jagat Sinema Bumilangit selanjutnya.

Sri Asih, sekarang giliran kamu!

Sabtu, 24 Agustus 2019

Ibe dan Triformula Jarak bagi Manusia Normal


ja.rak
n ruang sela (panjang atau jauh) antara dua benda atau tempat.

Kita hanya membutuhkan ribuan kilometer jarak, satu momen pertemuan, dan sebuah keberanian untuk membuat kita genap.

Jarak, menurut beberapa sastrawan kedai kopi, adalah sesuatu yang bisa membuatmu dewasa. Membuatmu paham bahwa untuk menjadi lengkap, terkadang manusia membutuhkan sebuah tantangan yang menuntut sabar dan usaha. Membuatmu sadar jika rindu akan terus berkembang dan perjumpaan adalah obat mahamanjur. Jika persepsi mereka tentang jarak itu benar adanya, aku bisa melabeli diri sendiri sebagai orang paling dewasa. Kehidupanku tercipta dari benang-benang jarak yang terus dipintal, terus berakumulasi hingga rentangnya sudah tidak terbayangkan. Namun, aku tidak tahu bagaimana menentukan sikap sebagai orang dewasa: bersyukur atau malah mengutuki sela.

Aku diajarkan Ayah tentang indahnya menunggu seseorang. Empat tahun pascakelahiran, Ayah memutuskan untuk berangkat ke tanah yang selalu ia kagumi. Tanah suci yang, menurut Ayah, akan menyucikan dirinya juga. Di sana, beliau menghabiskan waktu selama enam tahun tanpa pulang. Enam tahun aku harus meredam rindu yang terlampau besar. Hal yang bisa menghiburku adalah surat-surat yang selalu Ayah tulis untukku. Tentu saja, tak ada jadwal khusus. Satu waktu, beliau akan mengirimkan surat setiap bulan. Tak jarang pula aku harus mengecek kotak surat tanpa hasil selama berbulan-bulan.

Namun, orang yang paling naas adalah Ibu. Aku akan menemukan punggungnya bergetar setiap malam karena harus menahan suaranya agar tak terdengar oleh siapa pun. Ibu enggan orang-orang tahu bahwa dia berkabung karena tak didampingi oleh kekasihnya. Tanpa Ibu sadari, aku pun melakukan hal yang sama. Kami saling menyembunyikan kesedihan dan mempertemukan senyum-senyum palsu seperti semuanya baik-baik saja. Saat itu, aku baru menyadari bahwa menanti seseorang tak hanya membutuhkan kesabaran, tetapi bagaimana kita piawai menyembunyikan kesedihan. Dunia pura-pura itu berakhir saat aku menyadari bahwa jarak tidak salah apa-apa. Pada kasus ini, Ayah memiliki kuasa penuh untuk melipat jarak atau mempertahankannya. Ayah memilih untuk berjarak, bukan jarak yang memilih Ayah.

Baik, aku akan menghentikan pengisahanku ihwal Ayah. Kalian bisa membaca tulisanku tentang beliau di tautan ini. Mari bantingkan cerita kepada jarak lagi, Sang Biang Kerok.

Hidupku selalu dikelilingi oleh jarak yang diciptakan orang-orang tersayang. Atau orang-orang yang sempat saling menyayangi. Keluarga, teman, rekan kerja, kekasih, bahkan mantan. Semuanya dekat pada masanya, lalu merenggang. Ada renggang yang masih dapat diukur oleh satuan kilometer, ada pula yang menciptakan jarak tak terhitung.

Aku sempat membagikan keluh kesahku tentang jarak kepada salah satu temanku, Ibe. Setelah berdiskusi alot dan memakan waktu yang cukup lama, dia mengajukan sebuah teori yang ia juluki Triformula Jarak bagi Manusia Normal.

(1) jarak jauh + kasih sayang = tersiksa
(2) jarak jauh + kebencian = rasa syukur
(3) jarak jauh + biasa saja = kehilangan sementara

Aku tertawa lepas saat menyimak Ibe berbicara layaknya seorang sastrawan dan guru matematika pada saat yang bersamaan. Tentu saja, rumus itu sangatlah subjektif. Semuanya diakumulasikan dari pengalaman Ibe yang jatuh cinta, benci, dan merasa biasa saja pada seseorang yang berjarak.

Dia mengatakan bahwa jarak adalah sesuatu yang netral. Hanya angka-angka yang mendefinisikan jauh atau dekatnya dua buah variabel. Orang-orang normal yang sedang jatuh cinta atau merasakan sayang yang berlebihan harus berhenti mendamprat jarak sebagai biang kerok dari permasalahan mereka. Sekasar apa pun kamu mencaci, jarak tidak akan bergeming. Perasaanmu yang harus dipahamkan.

Namun, aku sempat melabrak triformula milik Ibe. Rumus itu hanya berlaku pada satu orang saja. Bukan untuk hubungan dua arah. Contoh:

A mencintai B, tetapi B tidak mencintai A.
Maka, A akan merasa tersiksa dan B akan bersyukur.
Akhirnya? 

Ibe berusaha untuk mendebat komentarku, lalu ia menggaruk kepalanya yang aku yakin tak gatal sembari terkekeh-kekeh. Ia berjanji akan merampungkan rumus yang ia banggakan. Nanti aku kabari jika sudah ada versi terbaru, ya.

Walaupun aku mengomentari rumus Ibe, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengategorikan  hubungan yang sedang aku jalani. Pada saat aku membuat tulisan ini, aku merasa rumus pertama adalah yang paling mendekati perasaanku. Here we go again, jarak sedang menjadi kawan akrab.

Sejak pertama kali bertemu, aku paham benar jika jarak akan sangat familiar dalam hubungan ini. Dia pun menyadari bahwa 1814 km adalah jarak yang akan selalu mendampingi kami. Saat ini, aku berharap ada moda transportasi daring yang bisa dipesan sebagai kendaraan jarak jauh, darat dan laut. Namun, sama halnya dengan semua harapan, itu tidak akan terlaksana. Atau mungkin, itu belum terlaksana.

Malam ini adalah malam ke-18 sejak perjumpaan kedua kami tercipta. Delapan belas adalah kuantitas yang sedikit jika kita berbicara tentang lama kita saling mengenal satu sama lain. Bahkan, hitungannya belum menyentuh satu bulan. Orang-orang akan menyatakan bahwa itu hanyalah nuansa awal dari cinta.

Hey, jatuh cinta itu dalam waktu singkat sudah biasa terjadi. Mempertahankan cinta? Itu adalah sebuah pekerjaan rumit.. Mempertahankan cinta karena jarak yang tercipta? Itu tugas terumit yang pernah ada dalam sejarah hidup manusia. Bagaimana jika jarak ini mempengaruhi pandangan kita tentang hubungan ini? Bagaimana jika aku gagal lagi dalam mempertahankan perasaan saat jarak terbentang? Bagaimana jika kamu lelah karena perasaan rindu untuk berjumpa yang mahabesar? Bagaimana jika ini semua hanyalah nafsu belaka?

Ah, kehidupan ini terlalu dipenuhi oleh pertanyaan bagaimana jika yang bisa menumbuhkan paranoia. Tanpa manusia sadari, pertanyaan itulah yang memicu kebosanan. Kita terlalu bosan berprasangka. Kita terlalu bosan menunggu. Kita terlalu bosan berharap pada sesuatu yang berjarak.

Mengapa tidak kita jalani hubungan berjarak ini dengan penuh tawa setiap malam? Menceritakan kisah pengantar tidur yang mampu menghangatkan hati masing-masing. Mengapa tidak kita jalani hubungan berjarak dengan percakapan jujur yang bisa saling memahamkan? Mendoakan orang yang berjarak setelah beribadah adalah sesuatu yang menyenangkan.

Maka, aku memutuskan sendiri rumus apa yang paling sesuai dengan kisahku.

Kita hanya membutuhkan ribuan kilometer jarak, satu momen pertemuan, dan sebuah keberanian untuk membuat kita genap.

Saat Ibe mendengarkan rumusku, dia berdecak-decak dengan sarkas. Semua kisah cinta juga berawal seperti itu, Saudara Zain. Aku hanya tertawa terbahak tanpa menggubris ujaran salah satu sastrawan kedai kopi yang aku kenal itu.

Bagaimana dengan kisah cinta kamu?