Rabu, 28 Oktober 2020

Puisi Empat Puluh Menit

Sumber: instagram.com/dreamersclub

Teh Fani menghubungi saya sore tadi. Dia meminta saya untuk membacakan sebuah puisi pada peringatan Sumpah Pemuda yang diselenggarakan oleh Ikatan Duta Bahasa Jawa Barat. Sebagai makhluk yang gugup kalau tampil di depan umum dan sudah tidak terlatih membacakan puisi, tentu saja saya menolak. Namun, Teh Fani akhirnya menawarkan opsi lain. "Puisi Kang Zain aja nanti dibacain sama yang lain," tulisnya.

Saya langsung mengiyakan karena opsi itu lebih baik daripada tampil di depan umum. Walhasil saya mengeluarkan buku dan pensil, lalu berdiskusi dengan diri tentang makna pemuda. Empat puluh menit tangan saya menulis, mencoret, menulis lagi, mencoret lagi. Akhirnya, saya menyalin puisi acak-acakan itu dan mengirimkannya kepada Teh Fani. Berikut puisi yang saya tulis.

BENAK PEMUDA

Dalam benak pemuda ada seribu mesiu

siap ledak dalam ketidakadilan.

Segencat pada jiwa malang

Pemuda meraung

Jadi pandu laik ibu


Dalam benak pemuda tak ada jam istirahat

Di sana letak sejarah dan masa depan

Gerik yang tercipta adalah usaha

Merayakan hidup yang perlu merdeka


Dalam benak pemuda tak ada takut hilang;

dari keramaian,

lengang panjang,

atau pikiran orang.

Di sana titik paling gaduh oleh kemauan.

Sebab itu kerap dibungkam.


Benak pemuda adalah tulang punggung

Resolusi paling elegan

Doa selamat

Restu ibu

Dan kampung halaman

bagi jiwa-jiwa yang merdeka


Terima kasih untuk Teh Nenden, salah satu rekan dubas yang sudah membacakan puisi ini dengan penuh penjiwaan. Selaku penulis, saya selalu meragu untuk memperdengarkan puisi di hadapan orang. Takut memalukan. Haha. Namun, Teh Nenden mampu menyampaikan apa yang ingin saya sampaikan. Maka, saya perlu hormat pada pembacaan yang sudah ia lakukan.

Selamat mengilhami semangat persatuan yang dideklarasikan sembilan puluh dua tahun lalu.

Rahayu selalu.