Kamis, 30 Desember 2021

Semua Hal yang Menemani 2021

Sumber: sweetbooksblog.com


Halo, Akhir 2021!

Sudah terlalu lama saya tidak mengunggah tulisan di sini, padahal resolusi tahun lalu adalah menghidupkan blog kesayangan ini. Pada dasarnya, resolusi tahunan adalah sebuah hiburan semata. HAHA

Ah, terima kasih pula untuk teman-teman yang sudah menanyakan ihwal kepasifan Rinumangsa. Apalagi, beberapa bulan ke belakang saya sempat membatasi akses pembaca. Banyak alasan yang menyebabkan hal tersebut, saya bahas pada unggahan selanjutnya saja, ya. Sekarang, mari membahas hal-hal yang menemani saya tahun ini. Membimbing pikiran saya agar tetap sadar dan menghindar sejenak dari rentetan kejadian yang terjadi pada separuh tahun ini.

FILM

  1. Yuni (2021) Sut. Kamila Andini
  2. Ali & Ratu Ratu Queens (2021) Sut. Lucky Kuswandi
  3. Losmen Bu Broto (2021) Sut. Ifa Isfansyah, Eddie Cahyono
  4. Dear To Me (2021) Sut. Monica Tedja
  5. The Conjuring: The Devil Made Me Do It (2021) Sut. Michael Chaves

ACARA TEVE

  1. Friends (Warner Bros)
  2. Derry Girls (Hat Trick Production)
  3. Navillera (Studio Dragon, The Great Show)
  4. Bad Buddy Series (GMMTV)
  5. Young Royals (Netflix)

LAGU

  1. Man Angga (Nosstress) - Ya, Kamu
  2. Adele - Easy on Me
  3. Yura Yunita - Bandung
  4. The Weeknd feat Ariana Grande - Save Your Tears
  5. Ben Platt - Imagine

ALBUM

  1. Nosstress - Istirahat
  2. Yura Yunita - Tutur Batin
  3. Zayn - Nobody is Listening
  4. Lorde - Solar Power
  5. Ben Platt - Reverie

BUKU

  1. Madeline Miller - The Song of Achilles
  2. Ocean Yuong - On Earth We're Briefly Gorgeous
  3. Connor Franta - House Fires
  4. Awi Chin - Yang Tak Kunjung Usai
  5. Fadel Yulian - Tak Sekadar Pulih
Terima kasih kepada semua pencipta karya tersebut. Berkat kalian, hidup saya pada 2021 tidak terlampau lengang dan gelap. Kamu, apa karya yang menemanimu tahun ini?

Kamis, 28 Oktober 2021

In My Mind




In my mind,

I will never pass this year.

I will die on my way to December


In my mind,

There are no things that I love more

than the idea of eternity with myself

Erasing  the bruises with love and forgiveness

From me

For me


In my mind,

I died already

And this poem is my eulogy.


Thank you.

For those hugs you gave me before.

Let me dig my own grave for a moment

I will definitely see you on the other side (or maybe not)

Selasa, 29 Juni 2021

Daftar Putar untuk Menemani Isolasi Mandiri

Patrisha on Pavim


Nyaris empat belas hari saya diam di rumah. Sebagai orang yang tidak bisa diam di satu titik terus-menerus, saya merasa bosan. Biasanya, saya menghabiskan waktu dengan tidur, makan, panggilan video bersama teman, dan menonton apa pun yang ada di teve. Sering kali saya menonton dan menertawakan plot-plot sinetron atau film televisi yang luar biasa lucu dan penuh kejutan.

Namun, saya pun kerap bosan dan kembali ke hal yang paling saya suka dan selalu memberikan ketenangan; musik. Saya menemukan banyak lagu yang nyaman di telinga. Mulai dari tarikan-tarikan suara Ben Platt yang aduhai, bisikannya Nadin, sampai alunan nada Nosstress yang mendayu. Nah, mari saya perlihatkan sepuluh lagu yang terus diputar selama saya mengisolasi diri.

  • Ben Platt - Imagine
  • Ariana Grande - pov
  • Rifan Kalbuadi - 5207
  • Nadin Amizah - hormat kepada angin
  • Lorde - Solar Power
  • Vance Joy - Missing Piece
  • Nosstress - Terima Kasih
  • Ben Platt - You and I (From Born This Way Reimagined)
  • Ardhito Pramono - Life Could Be Amazing
  • Tom Odell - lose you again
Untuk kamu yang sedang isolasi mandiri, lekas membaik. Lakukan aktivitas menyenangkan yang bisa membuat kamu senyum dan semangat dalam menjalani isolasi. Mungkin, lagu-lagu tadi bisa ikut menemani?

Rahayu!

Mengenang Masa Kecil

Hak milik Alyssa Valentine


Isolasi mandiri membuat saya lebih rajin membuka YouTube. Saya menonton banyak video, mulai dari konten penuh gidiknya Nessie Judge sampai dengan kompilasi video lucu dari Tiktok. Satu waktu, saya menyimak wawancara Ben Platt dan Lucy Boynton di saluran Heatworld. Ben dan Lucy menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai masa kecil mereka. Terbersitlah dalam benak saya untuk melakukan hal yang sama di Rinumangsa; menanyakan kelakuan diri saat masih duduk di bangku sekolah.

Selamat terpukau dengan  pengalaman masa kecil saya yang... nilai saja sendiri.

Siapa selebritas yang kamu kagumi sewaktu muda?

Cinta Laura. Dulu saya kagum banget dengan kemampuannya berbahasa Inggris dan bengong mendengar akses bahasa Indonesianya. Sampai saya menyimpulkan bahwa semakin kita lancar berbahasa Inggris, semakin aneh pula kita melafalkan kata-kata berbahasa Indonesia. Saya menjadikan itu patokan pas belajar bahasa Inggris. Kalau aksen bahasa Indonesia saya masih biasa, berarti bahasa Inggris saya belum selancar Cinta Laura.

Padahal entah di mana korelasinya.

Saya masih mengagumi Cinta Laura hingga kini. Namun, alasannya sudah berubah haluan.

Apa mata pelajaran yang paling kamu tidak bisa?

Pendidikan Jasmani. Saya paling tidak suka dengan aktivitas fisik yang berlebihan dan Penjas menuntut saya melakukan banyak pergerakan. Kalau sebatas senam, saya masih bisa berpartisipasi dengan baik. Namun, saya tidak bisa mengikuti kalau saya harus banyak bergerak dan juga dituntut untuk mengingat berbagai teknik. Misalnya, saya harus berlari kencang sembari mengingat bagaimana cara menendang bola yang baik. Otak saya agak lambat memproses teknik-teknik itu saat harus bergerak secara intens. Walhasil, selalu dijadikan contoh buruk sama guru olahraga.

"Lihat, nih. Tendangan Zain itu salah karena...."

"Jangan kayak Zain. Posisi tangannya salah sewaktu servis."

Olahraga itu penting, tetapi kita tidak wajib menguasai semua teknik dalam berolahraga. Kan? Iya, kan?

Apa nama panggilan kamu sewaktu kecil?

Selalu berawalan J. Jain, Jen, Jenal, Jainal.

Apa hal gaul yang kamu kuasai saat masih remaja?

Bahasa P. Ada yang masih ingat?

Ipinipi lopoh, kapalapaupu kapamupu ngopomopong tapapipi japadipi kapayapa gipinipi.

Berasa jadi siswa tergaul dan masuk peradaban modern.

Kira-kira, apa yang bakal dikatakan kamu versi 16 tahun kepada kamu yang sekarang?

"Ah, kamu masih hidup?"

Ada banyak hal dalam masa remaja yang saya rasa terlalu parah dan menyakitkan. Bukan hanya fisik, tetapi urusan psikis juga. Saya merasa saya versi 16 tahun akan merasa terkejut dan kagum karena saya masih bisa berjuang sampai titik ini. Terima kasih untuk orang-orang di hidup saya yang, tanpa mereka sadari, telah menjadi alasan untuk bertahan dan melanjutkan perjalanan.

Semuanya akan membaik, Dik. Kalau bukan sekarang, sebentar lagi. Mohon bertahan.

Bagaimana pengalaman kencan yang paling kamu ingat?

Saya mulai berpacaran saat SMA kelas 11. Apakah saya pacar yang baik? Sayangnya tidak. Kayaknya, mantan saya adalah orang tersabar dalam menghadapi makhluk tak acuh ini. Saking saya jarang sekali mengobrol dengan mantan saya, ia pun memberikan sebuah buku. Dia ingin saya menuliskan apa yang saya rasakan, lakukan, dan rencanakan di buku itu. Tujuannya satu; agar ia tahu keinginan pacarnya itu apa. Namun, saya jarang mengisi buku itu sampai ia harus terus mengingatkan. Saya lebih sering memilih latihan debat, mengerjakan LKS, dan mempersiapkan lomba daripada menghabiskan waktu dengannya.

Kalau kamu baca ini, saya ucapkan permohonan maaf lagi. Kamu hebat. Aku terlampau keparat.

Apa acara teve yang kamu sukai?

Indonesian Idol, Akademi Fantasi, Idola Cilik.

Apa aroma parfum yang kamu gemari?

Parfum yang harganya didiskon oleh pihak swalayan. Paling sering beli Gatsby dan Eskulin.

Namun, pertama kali suka aroma parfum pas ayah saya membelikan satu botol Hugo Boss. Entah jenis yang mana. Kata Ayah, aromanya cocok buat saya. Begitu pun anggapan saya.

Saya merasa jadi makhluk paling tampan di sekolah. 

Apa hal memalukan yang pernah kamu lakukan?

Mengikuti lomba karaoke antar-RW dalam rangka memperingati HUT RI. Apakah suara saya memalukan? Tentu saja, suara saya sumbang di banyak bagian. Saya menyanyikan lagu Ayat-ayat Cinta dengan (terlalu) penuh penghayatan. Bisa menebak pakaian yang saya kenakan? Kaus merah, celana panjang hitam, dan dilapis celana pendek putih. Saya ulangi, ya. Celana panjang hitam dan dilapis celana pendek putih.

Suara sumbang, ekspresi berlebihan, dan pilihan pakaian nyentrik dan tidak menarik? Tentu saja, saya tidak menang.

Apa pesan yang ingin kamu sampaikan kepada kamu versi 16 tahun?

Jadi diri sendiri. Selalu.

Rabu, 19 Mei 2021

Dialog Sepasang Tunang

Foto milik Alfred Eisenstaedt


Pertunangan ini telah saya imajinasikan jauh-jauh hari. Bahkan jauh sebelum saya menentukan pekerjaan apa yang akan menghidupi saya di seperempat abad. Bertahun-tahun sebelum seseorang yang tepat datang ke dalam hidup saya pada suatu Kamis yang basah gegara hujan. Saya sudah tahu bagaimana proses magis ini akan saya lakukan. 

Saat ini, seseorang sudah duduk di hadapan saya sembari memotong daging stik favoritnya. Saat kunyahan berlangsung, ia akan menyimak cerita saya sambil menampangkan senyumnya yang manis. Saya yakin gula-gula di dalam toples kecil dan es teh di meja itu minder. Harkat dan derajat kemanisannya kalah oleh seorang manusia.

Sepanjang percakapan kami, ia tentu saja tidak sadar jika sebuah cincin sudah siap melingkari jari manisnya. Seorang lelaki sudah siap menikmati sisa hidup bersamanya. Ibu dan ayahnya telah membekali restu dan memeluk tubuh lelaki itu bak anaknya sendiri.

Saya ingin momen ini sakral dan tidak terkesan buru-buru. Namun, sebuah kalimat tidak lengkap sanggup memberinya petunjuk atas apa yang akan saya ucapkan. Ungkapan yang seharusnya saya tidak gunakan. 

"Kita sudah kenal lama..."

Gerakannya berhenti. Mata teduh itu hanya menatap daging di depannya tanpa kedip. Saya bingung dalam mengambil tindakan selanjutnya. Apakah henti ini adalah pertanda baik? Atau malah berujung kecut?

Menyadari kegugupan diri saya, dia pun berdeham dan melanjutkan makannya. "Dilanjut kalau lagi ngomong," perintahnya dengan nada pura-pura serius. Di telinga saya, ucapannya malah terdengar menggemaskan.

Saya menarik napas panjang dan mengembuskannya sepelan mungkin agar ia tidak sadar seberapa gugup diri saya.

"Ehm, jadi gini. Kita sudah kenal lama, ya? Hahaha, lima tahun, ya? Lumayan lama juga."

Saya mencerca diri dalam diam. Apa-apaan itu? Kalimat tanya macam apa itu?

"Bahkan, hampir enam tahun," ujar dia diikuti suara tawa renyah andalannya. Dia selalu menggenapkan apa pun. Termasuk jiwa saya.

Berpikir. Ini momen yang tepat untuk bertanya. Jangan sampai kesempatannya luntur.

"Kamu pernah membayangkan hidup terus sama aku, kah?" 

Alright, I am on the right track again. 

"Pernah. Kayaknya sempat aku kasih tahu juga sama kamu, kan? Jangan bilang lupa."

Saya menyematkan senyum. Betul, banyak bayangan yang ia ceritakan kepada saya. Ia ingin memiliki rumah yang didominasi warna hijau dan nuansa zaman dulu. Ia sempat berjanji untuk selalu membuatkan saya panekuk untuk sarapan dengan guyuran madu dan taburan bubuk kayu manis. Sebaliknya, saya pun berjanji akan menyeduhkan kopi favoritnya setiap pagi. Dia membayangkan kami tinggal di luar negeri dan menjalani hidup baru bersama. Satu atau dua anak cukup, menurutnya. Setiap bayangan itu disampaikan, ada ribuan amin bergaung dalam hati saya.

Cukup basa-basi. Langsung tanya hal esensial. 

"Aku tidak tahu kalau keputusan ini tepat atau malah terlalu awal. Aku hanya sadar kalau aku nyaman sama kamu. Aku suka saat kamu menceritakan mimpi-mimpimu. Kamu sudah menjadi bagian yang penting. Setiap momen besar dalam hidupku, bahagia atau jatuh, kamu selalu ada. Kamu enggak pernah sedikit pun meragukan mimpi aku. Setiap aku bahagia, aku pengin kamu juga bahagia sama aku. Setiap aku sedih, aku pengin kamu ada dan menguatkan aku. Kamu selalu bisa menenangkan apa-apa yang berisik di kepalaku."

Tarik napas. Jangan sampai malah terengah-engah. 

"Jangan ragu, aku pasti jadi orang pertama yang bisa kamu andalkan. Kamu butuh amin, kuberikan. Kamu butuh pendengar, aku pasti ada. Apa pun itu, selama kita berdua, aku merasa lengkap. Semoga kamu pun begitu. Jadi, malam ini, aku mau tanya satu pertanyaan yang sudah diam di pikiranku sejak lama. Kamu mau menikmati hidup dengan aku?"

Sepanjang ucapan itu, saya sadar kalau ia menghentikan gerakan tangannya lagi. Saya sadar kalau matanya terus menunduk dan menolak untuk melihat saya. Bodoh sekali jika saya tidak melihat beberapa tetes air alir dari pelupuknya. Apakah saya berhenti berbicara? Tidak. Saya terus melanjutkan niat saya. Pundaknya agar bergetar menahan emosi yang saya rasa meluap terlalu kencang di hatinya. Ingin sekali saya merengkuh tubuhnya, tetapi tubuh sendiri pun malah mematung. 

"Are you okay?"

Kebingungan dalam benak saya menelurkan pertanyaan itu. Apakah dia sedih telah saya lamar? Apakah dia senang? Atau malah marah? Saya menabung tanya sambil menunggu reaksinya.

Saya melihat ia menaikkan pandangan tepat ke bola mata saya. Sesekali ia keringkan sudut mata yang basah dengan pungguh tangannya. Ia melayangkan senyum.

"Coba tanya lagi," ujarnya sembari merengkuh telapak tangan saya.

"Are you okay?"

Ia tertawa. Cantik, ribuan kupu-kupu baru saja lahir di perut saya karena tawa kamu.

"Bukan pertanyaan yang itu. Sebelum itu."

Resmilah sudah saya dinobatkan sebagai manusia paling bodoh dan ceroboh. Saya mengumpat dalam diam dan ia sadar akan hal itu. Ia selalu sadar jika saya sedang menekan diri. "Enggak apa-apa. Jadi mau tanya enggak, nih?"

Saya menatap kembali bola mata kecokelatan itu, lalu menarik napas panjang. "Kamu mau menikmati hidup dengan aku?"

Saat pertanyaan itu terlontar, saya melihat suasana restoran ini mengabur dan beragam rekaman masa depan pun bermunculan. Saya melihat mimpi kami satu-satu mulai tercapai, kami menua dan tetap menari diiringi suara Sinatra, anak kami terus berlarian di rumah kakek-neneknya, dan pelukan kami setiap malam yang saling meneduhkan dan menenangkan kegaduhan di kepala masing-masing.

"Iya, aku mau menikmati hidup dengan kamu."

Genaplah sudah jiwa saya.

Rampunglah sudah apa-apa yang rumpang dalam diri saya.

Minggu, 25 April 2021

Menjemput Sahur Pertama

Hak Cipta: Allison Mae di Pinterest

        Saya jarang sekali mengingat detail sebuah mimpi. Tak berminat pula untuk mengingat. Untuk apa, kan? Sebuah bunga mimpi sudah seharusnya diluruhkan saja, tak perlu berusaha dikenang. Itulah ucapan Ibu setiap kali saya diterjang mimpi buruk.

        Namun, keangkuhan saya terhadap mimpi memudar pada malam menuju puasa pertama. Setelah lama tak berjumpa, Ayah hadir dalam mimpi. Beliau mengenakan kemeja kotak-kotak kesukaannyayang ibu sempat hendak buang karena muak setelah Ayah berbalut baju itu berkali-kali. Entah di mana latar mimpi saya, entah siang atau malam. Saya tidak peduli selama saya dan Ayah ada dalam satu plot kisah mimpi yang sama.

        "Gimana Jakarta?" tanya beliau sembari berdiri di hadapanku.

        "Lebih capek dari Bandung," ujar saya sembari tertawa pelan. Saya beranikan diri untuk menatap bola matanya yang kerap saya hindari. Masih cokelat muda.

        "Tapi ini kemauan Dede, kan?"

        Saya tak bertutur apa-apa selama beberapa waktu.  "Sekarang, sih, enggak tahu kalau ini masih kemauan Dede atau bukan."

        Ayah mengacak rambut saya layaknya yang ia kerap lakukan saat saya menjuarai sesuatu. "Mau Dede apa?"

      Senyum simpul saya terpahat di bibir. Ayah tetaplah seperti itu, enggan membenarkan atau menyalahkan keinginan saya.

        "Banyak yang Dede mau. Pengin nulis novel, tapi takut enggak ada yang suka. Mau nyanyi, tapi berdiri di depan banyak orang aja masih takut. Mau tinggal di luar negeri, tapi takut jauh dari semua yang Dede punya di sini. Enggak mau jauh dari Ayah juga."

        Telapak tangannya masih menelisik sela-sela rambut saya. Beberapa kali menggumamkan bungsu sambil memasang senyum paling damai. "Sejak kapan bungsu Ayah ini serba ragu dalam mengambil keputusan?"

        Saya pun menundukkan kepala. Ayah tahu benar saya akan menyembunyikan air mata, lalu beliau pun mengangkat dahu saya. Menyejajarkan tatapanku dengan bola matanya.

        "De, dari dulu Dede selalu memilih jalur hidup sendiri. Mau kerja apa, mau masuk kampus mana. Dede selalu punya rencana-rencana besar yang akhirnya tercapai. Sekarang kenapa serba takut?"

        Mata saya membasah. Bingung atas jawaban apa yang akan saya berikan.

        "Terbang setinggi-tingginya, De. Lebih tinggi dari langit. Jangan pernah ragu."

        Kalimat itu. Kalimat yang selalu Ayah tuturkan untuk menyemai mimpi saya atau kala saya hilang arah.

      Ingatan saya pun tidak merekam adegan-adegan selanjutnya. Saya terbangun dan menemukan bantal saya basah oleh air mata dan kerinduan atas ayah yang kian memuncak. Ayah benar, dulu saya tidak pernah ragu mengambil keputusan. Apa pun yang saya rasa baik, saya akan lakukan. Namun, ayah lupa atas satu hal; keberadaan beliau memupuk keberanian saya. Saya tidak takut gagal masuk universitas karena saya yakin ayah akan mengecup puncak dahi saya untuk menenangkan jika saya tidak lulus. Saya berani memilih pekerjaan karena saya tahu, ayah akan selalu memapah saya kembali jika saya bertemu dengan kegagalan.

        Pagi itu, saya rindu ayah. Mimpi ini diamankan di catatan ponsel saya, semampu yang memori saya bisa ingat. Saya lihat nasi goreng yang sudah saya beli tengah malam tadi. Sahur pertama saya tidak semenyenangkan yang dibayangkan.

        Terbang setinggi-tingginya. Lebih tinggi dari langit.

        Bagaimana caranya, Yah? Saya lupa.