Kamis, 07 Mei 2020

Mengenang Ayah dalam Satu Babak



Tujuh dari tiga puluh satu

Seperti kisah yang pernah saya tuliskan, saya tidak memiliki banyak memori bersama Ayah. Oleh sebab itu, setiap momen yang saya miliki bersama beliau tersimpan dengan rapi dalam ingatan. Setiap tarikan senyum, nada bicara, hingga rengkuhan yang Ayah buat tak akan pernah saya lupakan. Kebersamaan kami yang sangat sedikit membuat otak saya enggan menyingkirkan barang sedikit pun ingatan tentang Ayah. Termasuk saat saya menentukan pilihan untuk berkuliah.

Ketika saya mengutarakan keinginan saya untuk melanjutkan pendidikan kepada Ibu, beliau menyuruh saya meminta izin kepada Ayah secara langsung. Saya sudah bernegosiasi cukup sengit agar Ibu saja yang menyampaikannya. Namun, Ibu sudah terlalu tak acuh dan memilih fokus pada sambal yang sedang beliau buat.

"Sudah bilang langsung saja. Ini sambal nanti enggak enak," ujar beliau sembari memanah tatapannya ke cobek batu di depannya. Tangannya membuat gestur penuh makna usiran.

Saya pun mendekati Abbi yang sedang asyik menonton teve. Melihat kelakuan saya yang aneh dan nampak canggung, Ayah langsung bergeser dan memberikan ruang bagi tubuh saya untuk duduk di sampingnya. Matanya masih fokus ke acara berita yang ia tonton sejak tadi, lalu tangannya merengkuh tubuh saya. Ayah adalah Ayah. Sekikuk apa pun saya, ia akan melakukan segala cara untuk menghancurkan benteng di antara kami. 

Memulai perbincangan dengan Ayah selalu membuat irama jantung saya tak beraturan. Entah menit ke berapa setelah berdiam diri dan menikmati hangat rengkuhan beliau, kerongkongan saya sudah sangat gatal untuk membicarakan ihwal perkuliahan. Walhasil, saya memberanikan diri untuk mengujarkan keinginan saya.

"Dede pengen kuliah, Yah," kata saya pelan-pelan.

Ayah menoleh kepadaku sejenak, lalu menurunkan volume suara teve. "Dede pengen apa?"

"Kuliah," ujar saya masih setengah berbisik.

"Emang Dede mau kuliah di mana?"

Saya pun menjelaskan rencana saya untuk berkuliah di Universitas Indonesia atau Universitas Padjajaran dan mempelajari hukum atau hubungan internasional. Saya jelaskan pula alasan mengapa hukum dan hubungan internasional sangat menarik bagi saya. Saya ingin belajar hukum karena Zain Kecil ingin membantu orang-orang yang tidak mampu mendapatkan akses hukum. Hubungan internasional juga saya pilih dengan alasan ingin membawa nama baik Indonesia ke negara lain dan memajukan Indonesia. Sangat berlebihan, ya?

Sepanjang penjelasan tersebut, tatapan Ayah tak berpindah sama sekali; selalu menatap saya. Saya? Berusaha mengalihkan pandangan ke kuku, teve, dan cecak di dinding.

"Dede udah yakin?"

Pertanyaan beliau dijawab oleh sebuah anggukan terlalu cepat.

"Ayah kira Dede bakal kuliah tentang nulis cerita atau nyanyi. Soalnya Dede sering banget beli novel sama nyanyi-nyanyi di kamar mandi. Eh ternyata bungsunya Ayah pengen jadi hakim," kata beliau sambil mengacak rambut saya. Suara tawa pelannya menelusup ramah ke telinga saya.

"Kalau Dede maunya kuliah hukum atau hubungan internasional, Ayah dukung. Mau kuliahnya di mana pun, sok wae. Asal Ayah titip satu pesan, jangan lupa sama tujuan Dede masuk jurusan itu. Kalau nanti sudah selesai belajar hukum, jangan lupa bantu orang yang enggak mampu. Atau pas udah selesai belajar hubungan internasional, jangan lupa bawa nama baik Indonesia kayak kata Dede. Janji dulu sama Ayah," pinta beliau sembari menjulurkan tangannya.

Kami pun bersalaman ala Ayah. Beliau menggenggam tangan saya, memejamkan mata, dan melayangkan doa kepada Tuhan. Salam akan terurai ketika beliau mengucapkan amin. 

"Ada lagi yang mau diobrolin serius enggak, nih?"

Saya hanya menggeleng pelan.

"Masa nanti Bapak Hakim cuma geleng-geleng angguk-angguk?"

Seketika tawa Ibu menggelegar dari dapur. Kalau tidak ada Ayah, saya sudah pasti berlari ke dapur dan protes atas tawa Ibu. Namun, kami masih bersampingan dan beliau masih menunggu suara saya.

"Enggak ada lagi, Yah. Ma kasih," kata saya sambil memberanikan diri melihat bola matanya. 

Ayah langsung menaikkan lagi volume suara teve dan kembali tenggelam dalam berita siang kesukaannya. Tangannya kembali merengkuh saya sembari sesekali mengecup puncak kepala.

Ayah adalah Ayah. Tidak mau menanggalkan satu waktu pun untuk memperlihatkan kasih sayangnya kepada siapa pun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar