Selasa, 11 Desember 2018

Sampai Jumpa, Australia!


Hari ini adalah hari terakhir saya bekerja. Seperti biasa, kenangan menghantam saya tanpa ampun dan membuat saya harus ke toilet untuk menenangkan diri. Mata ini masih mata yang sama dengan awal tahun ini; tipe keran bocor yang mudah sekali mengalir air matanya. Ini menandakan salah satu harapan saya tahun ini tidak tercapai.

Ada banyak hal yang saya syukuri selama bekerja di sini. Berkelana akan mendewasakanmu, ujar seseorang. Apakah saya merasa seperti orang dewasa sekarang? Pada beberapa aspek, saya merasa bisa mempertimbangkan sesuatu secara lebih objektif. Saya bisa menahan kerinduan saya untuk pulang ke Indonesia. Terima kasih untuk siapa pun yang mencetuskan ide panggilan video!

Itu tanda orang dewasa, kan? Iya, kan?

Minggu lalu saya bersemangat untuk pulang dan bertemu dengan teman-teman saya di Indonesia. Perasaan itu berubah minggu ini karena saya mulai bingung dengan perasaan saya sendiri. Di satu sisi saya merasa lega karena seluruh tugas saya sudah selesai, namun di sisi lain saya enggan untuk meninggalkan anak-anak. Mungkin ini adalah sindrom yang sering menyerang perasaan para pengelana. 

Saya mengajar kelas 5 dan 5 pagi ini. Pada akhir sesi pembelajaran, Bu Nestor menyelamati saya karena sudah menyelesaikan masa kerja.

Thank you so much for your work, Zain. It has been a wonderful experience for us to learn about Indonesia in the way you taught the students this year. I really wowed by your technique. You will be a good teacher.

Semua murid mengiakan ungkapan tersebut.

Sebelum pernyataan tersebut disampaikan oleh Bu Nestor, saya merasa gagal mengajar di sekolah. Saya merasa tidak maksimal dalam mempersiapkan bahan ajar, pembelajaran yang saya lakukan sangat membosankan, dan keterampilan berbahasa Inggris saya yang terbatas membuat saya tidak bisa mengeksplorasi seluruh pemahaman saya secara maksimal. Saya merasa tidak mempromosikan bahasa Indonesia secara menarik. Intinya: saya tidak menjalankan tugas dengan baik.

Entah karena saya akan enyah dari sekolah atau memang seperti itulah figur saya selama di ruangan kelas, saya ditenangkan oleh ucapan Bu Nestor. Seluruh kecaman yang saya buat untuk diri sendiri seakan memudar. Melihat para murid menganggukkan kepala sembari tersenyum membuat saya terenyuh.

"Believe it or not, I am trying my best to hold my tears right now," kata saya sembari menyeka air mata

Mereka tertawa.

"Can you please come back to Australia and teach me at Warrnambool College?" tanya Maddie, salah satu murid kelas 6 yang paling jago berbahasa Indonesia.

Saya terdiam sejenak. Pertanyaan ini sudah menakuti saya selama beberapa hari. Semua mata menuju ke arah saya yang masih memikirkan jawaban. Sesekali saya memberikan senyum untuk mengisi sepi yang tercipta. Akankah saya kembali? Maukah saya kembali?

"To be honest, I don't know. I will be so happy to come back here, but I want to spend lots of time with my family and friends in Indonesia. I miss them so much. So I will say mungkin."

Beberapa murid tertawa, sebagian besar murid mencari arti mungkin di buku mereka.

Setelah menghabiskan dua sesi bersama kelas 5 dan 6 untuk terakhir kali, Bu Robyn (staf TU di sekolah) meminta saya untuk datang ke auditorium. Sepanjang perjalanan dari ruangan saya sampai auditorium, banyak murid yang meneriakkan kata-kata yang telah mereka pelajari di dalam kelas dan saya merespons teriakan mereka satu persatu.

"Selamat pagi, Mas!"
"Selamat pagi, Sam!"

"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh."
"Sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas...."
"Well, I will learn it again next year for the belas part."

"Sama-sama."
"....terima kasih?"

"Maaf, Mas."
"Bagus. But what are you apologizing for, Sienna?"
"Nothing."

"Nama saya Holly."
"Nama saya Zain."

"Saya tinggal di my house, Mas!"
"Saya juga!"

"MAS, COULD YOU PLEASE SAY BAGUS FOR ME, PLEASE?"
"BAGUS!"
"OH MY GOD MAS SAID THAT I'M BAGUS."

Saya hanya bisa tertawa melihat tingkah laku para murid yang menggemaskan. Siapa yang bisa berpisah dengan murid-murid humoris dan giat belajar seperti mereka?

Sesampainya saya di auditorium, banyak guru yang menyelemati dan mendoakan yang terbaik untuk saya. Ternyata seluruh staf mengadakan acara perpisahan untuk para guru yang akan pindah tempat kerja tahun besok. Seperti yang bisa ditebak, saya adalah satu-satunya staf yang beberapa kali menyeka air mata. Apalagi saat Bu Michelle menyampaikan ungkapan perpisahannya.

I want to say thank you for your hard work and wonderful interaction with staff and students this year, Zain. If some of you hadn't met him before, Zain is one of the volunteers who work as a language assistant. He did a really good job. Thank you for bringing joy to learning the Indonesian language. We will do our best for next year because we wouldn't have any assistants. Thank you for supervising Zara for the Indo competition. Wish us luck next year. We wish you all the best in the future....

Saya sangat ingin menyimak perkataan Bu Michelle, tapi kenangan saya meliar. Saya mengenang saat pertama saya bertemu Bree dan Jeff di bandara, menjelajahi perkebunan dan peternakan Kav, melatih anak-anak untuk mengikuti perlombaan, gelisah di ruang tunggu ujian berbicara, berpelukan dengan murid kelas 12, anak-anak kelas 8 mengucapkan selamat Idulfitri, dan beberapa adegan saat saya mengajar di kelas. Saya tidak menyangka jika satu tahun akan terasa seperti satu kedip. 

Lamunan saya buyar ketika tepuk tangan mulai bergemuruh. Beberapa guru menepuk pundak saya dan membisikkan good job. Acara ini menandakan akhir perjuangan saya tahun ini. Oleh karena itu, saya ingin menyampaikan apresiasi ini untuk diri saya sendiri:

"Terima kasih, Zain. Terima kasih sudah bertahan selama satu tahun ini. Terima kasih atas usaha yang sudah kamu lakukan untuk mengajarkan bahasa Indonesia. Kamu sudah melakukan yang terbaik dan saya bangga sekali. Sudah waktunya untuk beristirahat sejenak sebelum kamu mengajar kembali. Kamu sudah mengorbankan waktu dan tenaga untuk memaksimalkan pembelajaran. Kamu sudah sabar menghadapi berbagai perbedaan di dalam kelas. Terima kasih untuk tetap berdiri di depan kelas walaupun seluruh kosakata bahasa Inggris kamu hilang. Terima kasih sudah tetap bersemangat, walaupun banyak murid yang mengantuk di dalam kelas. Terima kasih atas senyum yang selalu kamu pahat setiap kali kamu mengajar di kelas. Kamu sudah berusaha."

Sampai jumpa, Australia. Semoga kita bisa bertemu lagi!

Senin, 19 November 2018

Kumpulan Potret

Beberapa potret yang tersimpan di ponsel saya. 

 


 


 


 


 


 



Minggu, 18 November 2018

Semua Orang Memiliki Hak yang Sama untuk Bahagia

Saya memulai tulisan ini dengan sebuah peringatan yang harus diperhatikan.

Berpikiran jernih terlebih dahulu. 

Hak cipta: Min An

Peringatan tersebut saya sampaikan karena tulisan ini akan mendobrak berbagai stereotip yang berkembang di dalam masyarakat. Kemungkinan besar stereotip tersebut masih dipercayai oleh khalayak yang membaca tulisan ini. Saya harap kamu bisa berpikiran positif dan berpikiran terbuka.

Saya sudah menyaksikan banyak orang menderita karena mereka disudutkan oleh orang lain. Beragam alasan tak masuk akal digunakan untuk menjadi dasar perundungan; tidak bisa bermain olahraga, tidak memiliki payudara, nama orang tua terdengar kampungan, kutu buku, dan lain-lain. Perundung melihat hal-hal tersebut sebagai celah untuk melakukan aktivitas yang mereka sukai; membuat orang lain merasa tidak berguna.

"Laki-laki itu harus memiliki otot dan jakunnya harus timbul, berkeringat setiap hari, haram bermain boneka, kuat mengangkat barang-barang berat, tidak boleh berpelukan dengan laki-laki, selalu bersedia untuk membantu perempuan bahkan ketika dia tidak sanggup melakukannya."

"Perempuan itu harus anggun, memiliki payudara dan pantat besar, jago memasak, tidak boleh bersentuhan dengan laki-laki, jangan main bola."

Stereotip tersebut sudah menjadi pola pikir kebanyakan orang. Tidak hanya di Indonesia, namun seluruh dunia. Ketika ada orang yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut, maka dia akan dilabeli sebagai orang yang aneh dan dijadikan santapan yang nikmat bagi perundung. Mereka melabeli manusia yang notabene memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun yang bisa membuat kualitas dia sebagai manusia  menjadi lebih baik. Sayangnya orang lain melihat perbedaan ini sebagai kelemahan. Hal yang lebih ironis adalah: Tidak ada ampun untuk seseorang yang tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat.

Saya pernah menyaksikan seorang murid laki-laki yang tidak menyukai sepak bola dipaksa untuk melakukan tendangan jarak jauh dan harus mencetak gol oleh gurunya sendiri. Dia dipaksa untuk berdiri di depan seluruh temannya. Seperti yang sudah ditebak, murid tersebut tidak bisa menendang bola hingga mencetak gol. Bola yang ia tendang meleset jauh dari target. Guru tersebut berkata bahwa anak laki-laki itu harus bisa bermain bola dan memiliki tendangan yang kuat. Kebanyakan teman-temannya tertawa saat itu. Tidak ada yang membela sama sekali. Murid itu menangis sembari duduk kembali ke tempatnya semula. Tahu apa yang dikatakan oleh gurunya? Laki-laki tidak boleh menangis. Hanya perempuan dan banci yang menangis.

Ada juga korban perundungan yang depresi karena dia tidak sanggup mendengar kenyataan bahwa orang-orang menyalahkan dia sebagai korban pemerkosaan. Kebiasaannya menggunakan pakaian pendek dijadikan alasan oleh masyarakat untuk menyalahkan orang tersebut. Orang-orang beranggapan jika dia tidak menggunakan pakaian pendek, pemerkosaan tersebut tidak akan pernah terjadi. Dia enggan untuk melakukan aktivitas di luar rumah karena tidak sanggup untuk mendengar ucapan tetangganya. Seorang korban diperlakukan seperti tersangka. Korban yang seharusnya diberikan dukungan dan dikuatkan mentalnya malah dikucilkan oleh sebagian besar orang. Sangat ironis. 

Saya juga mengenal seseorang yang dipergunjingkan oleh orang-orang karena keluarganya tidak harmonis. Ayahnya tidak pernah pulang ke rumah, ibunya sudah memiliki suami lagi, kakaknya memiliki permasalahan finansial, dan adiknya adalah seorang pencuri. Orang yang saya kenal ini memiliki prestasi yang baik di sekolah. Tidak pernah mengikuti remedial. Sayang sekali orang-orang tidak melihat kecerdasannya. Mereka hanya memedulikan asumsi yang mereka buat bahwa teman saya akan gagal seperti anggota keluarga lainnya. Tidak ada kesempatan bagi teman saya untuk bisa mencapai kesuksesan. Pada suatu pagi dia memilih untuk tidak bersekolah. Semenjak saat itu dia tidak pernah duduk di bangku sekolah lagi. Orang-orang pun senang karena mereka pikir asumsi mereka benar bahwa teman saya akan gagal. Tanpa mereka sadari, mereka membangun asumsi itu menjadi kenyataan.

Suatu hari saya menaiki sebuah angkot bersama dua orang laki-laki dan satu orang perempuan lainnya. Kedua laki-laki tersebut berpegangan tangan sambil tertawa. Sesekali salah satu di antara mereka mengecup telapak tangan yang lain. Tawa mereka terhenti ketika perempuan di depan saya mempertanyakan seksualitas kedua laki-laki tersebut. Salah satu dari mereka menjawab bahwa mereka adalah gay. Ingin tahu ucapan yang perempuan itu sebutkan? Amit-amit, bakal masuk neraka. Sesaat setelah ucapan disebutkan, mereka dipaksa turun oleh supir angkot. Sialnya saya malah membeku karena tidak percaya perempuan di depan saya akan mengatakan kata-kata itu. Sialnya saya tidak membela mereka sama sekali. Itu menjadi salah satu penyesalan terbesar dalam hidup saya.

Saya selalu tidak bisa menerima ketika ada seseorang yang memojokkan seseorang dengan ucapan atau kekerasan fisik. Kita tidak pernah tahu kondisi mental seseorang. Apakah dia sedang bahagia? Apakah dia memiliki masalah keluarga? Apakah dia merasa diterima oleh teman-temannya? Hal yang bisa kita lakukan adalah berbuat baik kepada sesama manusia. Itu adalah sebuah konsep dan aksi yang sangat sederhana.

Bagaimana jika saya adalah seorang laki-laki yang tidak bisa bermain sepak bola, memiliki keluarga yang tidak bahagia, korban pemerkosaan, nyaris bunuh diri, dan suka dengan sesama jenis? Apakah kamu akan merundung saya? Apakah kamu akan pura-pura tidak mengenal saya? Apakah kamu akan memaksa saya untuk mengikuti kehendak kalian? 

Manusia memahami cara terbaik yang bisa dilakukan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Selama dia tidak menyakiti orang lain, biarkan dia hidup dengan caranya sendiri. Dia perlu mengaktualisasikan dirinya tanpa harus diberikan label apa pun. Biarkan dia menjadi dirinya sendiri.

Apakah seorang laki-laki yang tidak bisa bermain sepak bola akan menyakiti perasaanmu? Apakah seorang perempuan yang belum menikah pada umur tiga puluh lima tahun akan membuatmu sakit hati? Apakah pasangan lesbian membuatmu depresi? Apakah perempuan berkerudung panjang dan berbusana serba tertutup akan membuatmu kesal? Apakah laki-laki yang senang menggunakan riasan wajah membuat matamu pedih? Apakah laki-laki yang menggunakan behel membuatmu jijik dan muntah? Apakah perempuan yang memiliki kulit putih membuatmu emosi?

Jika jawabanmu itu tidak, maka biarkanlah mereka menjadi diri sendiri. Percaya sama saya, membiarkan mereka hidup bahagia akan lebih menyenangkan daripada memaksa mereka untuk sesuai ekspektasi kuno yang sudah beredar. Jika jawabanmu adalah ya, pilihanmu ada dua: ubah perspektif hidupmu atau jangan ikut campur kehidupan mereka

Saya sangat berharap tidak ada lagi orang yang harus menderita karena asumsi orang lain. Saya ingin mencapai suatu titik kehidupan di mana orang-orang bisa tersenyum dan melakukan apa yang mereka sukai. Saya menginginkan semua orang berbahagia.

Jika keinginan itu tidak terwujud hari ini, kita akan berusaha agar keinginan itu tercapai esok hari. Kita tidak akan menyerah.

Jumat, 09 November 2018

Catatan untuk Ayah



Floating through the milky way.

Kalau saya diberikan kesempatan untuk kembali ke masa lampau, saya ingin kembali pada saat saya masih berusia sepuluh tahun. Saat itu, saya sedang duduk berdua dengan ayah saya di pelataran rumah. Jujur saja, kedekatan saya dengan ayah tidak seintens hubungan ayah-anak pada umumnya. Ayah meninggalkan saya sejak 1999 karena beliau harus bekerja di luar negeri. Mengapa? Tentu saja karena krisis ekonomi yang melanda dan tawaran gaji yang menggoda. Saat itu, beliau sedang mendapatkan cuti kerja.

Malam itu, kami duduk sembari menikmati secangkir teh hangat. Saya sibuk dengan ponsel baru saya, sedangkan ayah terdiam sembari menatapi hasil kerjanya; lantai rumah yang sudah selesai dilapisi keramik. Seperti inilah aktivitas kami jika sedang duduk berdua. Menikmati sunyi yang merebak di antara kami dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ibu tidak pernah bergabung dengan kami. Beliau lebih memilih untuk tidur dan menggunakan 'ibu harus pergi ke pasar' sebagai dalih andalan. 

Jam menunjukkan sekitar pukul sembilan malam. Bulan sedang bertengger di timur laut langit yang berwarna biru pekat. Malam ini, ayah memutuskan untuk memecahkan kesunyian.

"Gimana sekolah? Susah atau enggak?" Dua pertanyaan beruntun yang beliau berikan hanya bermuara pada satu kata sebagai jawaban: enggak.

"Ada yang nakal atau enggak?"

Untuk kedua kalinya saya menjawab dengan satu kata yang sama.

"Katanya Dede suka warna biru jadi kemarin sengaja beli keramik warna biru. Suka?"

Saya melihat keramik-keramik itu dan menjawab dengan singkat. "Suka kok."

Ayah mengambil ponsel dari tanganku dan menyimpannya di dalam saku jaketnya. Saya menatap mata ayah dan tidak tahu harus berkata apa. Saya ingin marah, tetapi saya tidak terlalu akrab dengan beliau. Saya ingin masuk ke rumah, tetapi saya tidak tega meninggalkan beliau sendirian. Akhirnya saya hanya menyandarkan punggung ke tembok rumah. Dingin menjalar di sekitar punggung saya.

"Kalau sudah besar, Dede mau jadi apa?"

"Mau jadi dokter." 

"Kenapa?"

"Mau bantu orang yang sakit."

Saya mendengar ayah bergumam dan ada senyum yang mengembang di bibirnya. Untuk beberapa saat, hanya suara jangkrik dan embusan angin yang terdengar oleh saya. Ayah terlihat sedang berpikir, namun saya selalu tidak bisa menebak apa yang sedang beliau pikirkan.

"Kalau mau bantu orang sakit, dede harus jadi orang pintar. Rajin belajar. Jangan sering main ponsel terus."

"Iya, nanti Dede peringkat satu biar bisa jadi dokter. Main ponsel kalau selesai belajar." Saya memeluk kaki saya karena dingin sudah mulai menjalar. Dialog itu adalah dua kalimat terpanjang yang pernah saya ucapkan kepada beliau. 

"Sini," beliau meminta saya untuk duduk di sampingnya. Saya berpindah secara perlahan. "Pernah dengar raihlah cita-citamu setinggi langit atau belum?"

Saya menjawab dengan lirih. "Sudah pernah."

Entah mengapa, berdekatan dengan ayah selalu membuat saya canggung. Saya merasa serba salah dan tidak tahu harus berbuat apa. Walhasil saya hanya menunduk sambil memainkan jemari kaki. 

"Lihat tuh," ayah merengkuh pundak saya dan menunjuk ke arah bulan yang temaram. "Ada yang lebih tinggi daripada langit."

Sebagai anak yang baru saja 10 tahun, saya tidak tahu maksud ayah dan hanya menatap nanar ke arah bulan yang mulai dihalangi gumpalan awan.

"Masih ada yang lebih tinggi dari langit, De. Bulan itu lebih jauh dari pada langit. Ada planet yang lebih jauh lagi." Beliau mengalihkan pandangannya dari bulan ke mata saya secara bergantian. Untuk pertama kalinya saya melihat senyum beliau dari jarak dekat. Senyum itu sehangat pelukan yang ia ciptakan. 

"Mulai dari sekarang jangan mencoba untuk meraih cita-cita hanya setinggi langit ya. Raihlah cita-cita setinggi-tingginya. Sampai luar angkasa juga boleh."

Pada saat itu, saya hanya bisa menyimpulkan bahwa ayah ingin saya meraih mimpi setinggi-tingginya. Sekadar itu.

Ketika saya masih menatap langit, ayah mengecup dahi saya selama beberapa detik. Setiap saya mengingat momen ini, saya selalu merasa ayah sedang mengecup saya dengan penuh kasih sayang. Bahkan ketika saya mengetik tulisan ini, saya merasa ayah sedang berada di samping saya. Ikut tersenyum saat saya menceritakan penggalan kehidupannya. Mengecup dahi saya beberapa kali sembari tersenyum bangga.

"Jadi apapun yang Dede mau." Ucapnya lirih sembari masih mengecup dahi saya. 

Saya pun menangis. Saya tidak tahu alasan dari tangisan saya. Kemungkinan besar karena saya merindukan beliau. Rasa cemburu selalu bersemayam ketika saya melihat teman-teman saya  dijemput oleh ayahnya. Perasaan itu juga muncul setiap saya melihat kursi kosong pada saat pembagian rapor. Tidak ada yang menyemangati saya ketika ada perlombaan Agustusan. Saya merindukan beliau.

Ayah memeluk saya sembari mengelus punggung. Beberapa kali beliau mengucapkan maaf sembari menenangkan tangis saya yang semakin kencang. Malam itu, saya menjadikan paha ayah sebagai bantal. Beliau tidak membangunkan saya ketika saya terlelap. Saya hanya tahu kalau beliau memindahkan saya ke kamar semalam. 

Pada saat pagi menjelang, ayah sudah meninggalkan saya lagi.

Jika saya bisa kembali ke masa lampau, saya akan kembali pada adegan ini dan berbicara lebih banyak dengan ayah. Saya akan mengatakan sekolah tidak baik-baik saja dan banyak perundung yang selalu meminta uang jajan. Saya akan menjelaskan keinginan saya untuk menjadi dokter hanyalah jawaban spontan saya karena banyak teman saya ingin menjadi dokter juga. Saya akan menggenggam tangannya ketika beliau menjelaskan tentang langit dan luar angkasa. Saya akan mengecup dahinya, sesaat setelah dia mengecup dahi saya. Saya akan mengatakan kalau saya menyukai cara beliau tersenyum.

Namun, kita tidak bisa memutar waktu. Apa yang sudah terjadi tidak bisa diulangi lagi.

Yah, saya masih hidup dan berusaha menggapai cita-cita saya yang sudah saya terbangkan melampaui langit.

Yah, kata-katamu akan selalu hidup dalam benak saya. Saya akan menghidupkannya juga dalam benak anak-anak saya nanti. 

Yah, saya rindu.

i carry your heart with me (i carry it in
my heart)i am never without it (anywhere
i go you go, my dear; and whatever is done
by only me is your doing, my darling)
                                                        i fear
no fate(for you are my fate, my sweet)i want
no world(for beautiful you are my world,my true)
and it's you are whatever a moon has always meant
and whatever a sun will always sing is you

here is the deepest secret nobody knows
(here is the root of the root and the bud of the bud
and the sky of the sky of a tree called life;which grows
higher than soul can hope of mind can hide)
and this is the wonder that's keeping the stars apart

i carry your heart(i carry it in my heart)

- E.E. Cummings

Jumat, 02 November 2018

Ulasan Film Wildlife



What's going to happen to us?
I don't know. 

Film ini saya tonton pada saat menghadari acara Melbourne International Film Festival (MIFF) 2018. Film perdananya Paul Dano sebagai sutradara ini membuat saya terkagum dengan cara dia dan Zoe Kazan menginterpretasikan novel Richard Ford. Tak heran jika film ini menjadi salah satu primadona dengan penonton terbanyak pada acara MIFF. Film ini juga sudah menyabet penghargaan Truly Moving Picture Award pada acara Heartland Film.


Carey Mulligan sebagai Jeanette Brinson

Carey Mulligan memberikan penampilan yang apik dan manusiawi. Saya mulai terkagum dengan kemampuan bermain perannya Mulligan sejak dia menghidupkan karakter Jenny pada film An Education. Saya juga suka film Suffragette, Inside Llewyn Davis, dan Brothers yang mana Mulligan menjadi peran sentral pada film-film tersebut. Tapi saya bisa mengatakan bahwa performa Mulligan  sebagai Jeanette Brinson pada film Wildlife adalah hasil kerjanya yang terbaik. Salah satu keunggulan Mulligan adalah kemampuan dia mengolah gestur agar mendukung setiap adegan yang dia mainkan. Pada film ini, kalian akan melihat kehebatannya pada aspek tersebut. Mulligan memiliki kesempatan yang besar untuk masuk nominasi pemeran utama wanita terbaik dalam penghargaan Academy Awards. 



Jika kalian rindu dengan perfoma Jake Gyllenhaal pada film drama, Wildlife adalah pilihan yang tepat untuk ditonton. Gyllenhaal memerankan sosok Jerry Brinson, suami Jeanette yang berusaha untuk menghidupi keluarganya. Saya rasa Gyllenhaal sukses memperlihatkan kegelisahan yang dirasakan oleh Jerry. Saya puas dengan adu peran Mulligan dan Gyllenhaal karena mereka sudah dapat senyawanya. Sebelum film ini, mereka sudah pernah bertemu pada film Brothers. 

Ed Oxenbould sebagai Joe Brinson

Mulligan dan Gyllenhaal memang sangat cemerlang, namun  saya harus memberikan apresiasi saya kepada Ed Oxenbould. Dia adalah pemeran karakter Joe Brinson, anak dari Jerry dan Jeanette yang harus menyaksikan keharmonisan keluarganya terganggu. Saya rasa kesempatannya untuk bermain dengan dua aktor luar biasa telah mengajarkan dia banyak hal. Pada awal film saya berpikir bahwa Mulligan akan menjadi sentral film, namun saya salah. Ternyata film ini direkam dari sudut pandang Oxenbould sebagai seorang anak. Jadi bisa dibayangkan jika kalian menonton film tentang keruntuhan sebuah keluarga dari sudut pandang anaknya. Sedih, kan?

Saya berusaha untuk menjadi pengulas yang adil dan jujur, tapi saya bingung mencari sisi negatif dari film ini. Semuanya terasa proporsional.

Pada saat film selesai, saya merasa film ini adalah sebuah film yang adil dan manusiawi. Adil dari segi cerita dan juga eksekusi film. Saya tidak tahu harus menyalahkan siapa atas permasalahan yang muncul di antara Jerry dan Jeanette. Setiap keputusan yang diambil oleh para karakter terlihat masuk akal. Cerita Wildlife ini dieksekusi dengan sinematografi yang mantap. Sebagai film perdana, Paul Dano membuktikan kepada khalayak bahwa dia adalah sutradara yang handal. Percaya atau tidak, lima menit pertama menjadi momen paling hening yang pernah saya simak pada sebuah pemutaran film!

Saya beri bocoran; adegan terakhir film ini sangat menyentuh.



Minggu, 29 Juli 2018

Apa yang Sudah Saya Pelajari dalam Hidup Ini?


Perjalanan hidup saya sudah mencapai 23 tahun. Dalam rentang waktu tersebut, ada banyak hal yang terjadi dalam kehidupan saya. Jika disimpulkan dalam bentuk dua kata, tentu saja jatuh-bangun sangat representatif untuk menggambarkan kehidupan saya. Masuk salah satu universitas yang diinginkan, mengikuti ekstrakurikuler idaman, lulus tepat waktu, menjadi guru bantu di Australia, dan menjadi bagian dari Duta Bahasa merupakan beberapa contoh hal baik yang diberikan oleh Tuhan. Namun kehidupan tak bisa berputar di sekitar kebahagiaan saja. Terkadang Tuhan perlu memberikan kejadian yang bisa membuat kita belajar dari pengalaman.

Seperti narablog yang lain, saya juga berusaha untuk mengumpulkan 25 hal yang saya pelajari selama 23 tahun hidup di dunia. Pos yang sangat klise. Entah mengapa saya selalu suka membaca pos seperti ini. Saya juga menikmati proses menulis pos ini karena saya merasa sedang melakukan refleksi untuk mengembangkan diri ke arah yang lebih baik. Berikut ini hal-hal yang saya sudah pelajari.

  • Jadikan media sosial sebagai sumber motivasi, bukan bahan gunjingan.
  • Berteman di kehidupan nyata bukanlah alasan untuk membuat saya berteman di media sosial. Saya mengikuti akun yang menarik bagi saya dan menyukai konten yang saya kagumi. 
  • Sampo kering, YouTube, Netflix, dan Spotify merupakan inovasi yang sudah membantu saya dalam berbagai macam kondisi. Terima kasih, Tuhan!
  • Patah hati akan membuat saya lebih mengenal diri sendiri. Tapi saya tidak mau patah hati terus menerus juga sih.
  • Jangan pernah menjadi orang yang mengerjakan tugasnya beberapa jam sebelum batas waktu. Kelakuan tersebut bisa membuat saya kecapekan dan tidak bisa bangun pagi.
  • Utamakan kebahagiaan diri sendiri dan orang lain. Jika saya tidak bisa mengutamakan keduanya, pilih kebahagiaan diri sendiri. 
  • Saya harus mengonsumsi yoghurt setiap hari demi kelancaraan proses pencernaan!
  • Mulai menabung!
  • Karakter film itu fiktif. Jangan pernah jatuh cinta kepada karakter film. Duh!
  • Usahakan untuk tidak jatuh cinta kepada aktor dan aktris. Jodoh memang di tangan Tuhan, tapi saya mencoba untuk menekan harapan tersebut. Karena patah hati berkelanjutan tidaklah nikmat untuk dirasakan.
  • Jangan pernah menghakimi seseorang berdasarkan penampilannya.
  • Banyak orang di dunia ini yang menginginkan kisahnya untuk disimak. Jadilah penyimak yang baik.
  • Komunikasi di lingkungan pekerjaan itu penting sekali. Mulai mengobrol dengan pegawai lain!
  • Menangis itu normal. Apalagi menangis di toilet kantor.
  • Perhatikan kesehatan kulit. Itu bukan pekerjaan perempuan saja.
  • Mimpi-mimpimu berhak untuk direalisasikan. Jangan pernah menyerah untuk menggapai cita-cita.
  • Minum segelas teh earl grey sebelum tidur bisa membuat tidur saya jauh lebih nyenyak.
  • Jangan terlalu memikirkan hubungan percintaan. Ada banyak hal yang lebih penting daripada kepemilikan kekasih. Bagaimana dengan pendidikan dan pekerjaan? 
  • Jika saya menyaksikan sesuatu yang tidak manusiawi, berani untuk mengambil tindakan solutif!
  • Saya harus membedakan antara menyanyi dan berteriak. Jika tidak bisa membedakan, kemungkinan tetangga mengetuk pintu bisa lebih besar.
  • Adalah sesuatu yang normal ketika laki-laki mengekspresikan kekagumannya terhadap ketampanan laki-laki lain. 
  • Berikan senyuman kepada orang lain! Kemungkinan besar ada orang yang membutuhkan senyum tersebut.
  • Meminta bantuan orang lain bukanlah hal lemah. Itu sangat manusiawi.
  • Hargailah usaha yang sudah dilakukan. Pergi ke bioskop dan makan mi dadak di atas kasur bisa dijadikan bentuk penghargaan, kok.
  • Kata hati selalu benar.

Catatan:
Apa yang saya tuliskan adalah hasil dari pengalaman hidup saya. Bisa saja kalian memiliki pendapat yang berbeda. :)

Selasa, 10 Juli 2018

Saya Ingin Pulang ke 'Rumah'

Sejak beberapa minggu yang lalu, rumah saya sangat ramai. Berbagai percakapan tentang bahasa dan kehidupan terdengar di mana-mana. Ketika saya menelepon kamu dan mengatakan bahwa saya rindu rumah, kamu hanya tersenyum sembari menatap kamera depan ponselmu.

"Sudah. Kamu urus saja dulu pekerjaan di sana."

Selama beberapa detik, hanya hening yang menguar di sekitar saya. Namun, keheningan yang tercipta di luar badan selalu bertolak belakang dengan kondisi perasaan. Saya merasa ada demonstrasi besar-besaran antara dua kubu; satu pihak memaksa saya untuk pulang dan menuntaskan rindu yang sudah menggunung dan pihak lainnya menuntut saya untuk menetap di tanah Australia. Seperti biasa, perdebatan batin itu mencairkan beberapa tetes air mata. 

"Tuh kan, malah nangis. Mereka juga gak akan keberatan kalau kamu gak pulang, sayang. Kamu--"

"Sebentar, aku butuh waktu buat menenangkan diri dulu."

Kamu pun mengangguk sembari memasang senyum yang selalu bisa menghangatkan. Pada saat seperti ini, saya selalu ingin menghardik jarak yang sudah memberikan ruang agar kita tidak bisa bertemu. Padahal, saya sangat membutuhkan pelukan kamu yang mampu menenangkan detak jantung saya. Walaupun kita tidak berbicara, kamu sudah tahu apa yang saya inginkan. Kamu tetap duduk sembari sesekali memberikan senyuman. 

Pada saat itu, seluruh memori saya tentang rumah berhamburan. Saya mengingat kejadian di dalam angkot saat saya berangkat untuk karantina, rasa gugup saya selama penilaian, usaha saya untuk mengingat kosakata bahasa Sunda dan  bahasa Inggris, rasa sesal karena tidak bisa memberikan hasil yang optimal ketika penilaian bakat, serta riuhnya tepuk tangan dan teriakan pada saat final. Setiap kenangan menghadirkan sensasi masing-masing di dalam hati saya.

Segurat senyum muncul di bibir saya ketika mengingat betapa gugupnya saya dan Nadhira saat penilaian final. Kami berdoa agar bisa lulus ke tahap selanjutnya dan mendapatkan predikat juara. Senyum lainnya muncul saat saya mengingat Ninda. Pasangan saya yang benar-benar menampilkan titik terbaik dari dirinya. Banyak yang tahu bahwa saya selalu mengagumi senyumnya dan berusaha untuk membuat dia tersenyum. Membayangkan dia berjalan sembari mengenakan siger dan sepatu berhak membuat saya ingin menggandeng tangannya. Layaknya saat kami sedang berjuang dan bertugas. 

Seiring beranjaknya waktu, kenangan itu memudar. Saya bersyukur karena kamu masih ada di sana, walaupun saya tahu bahwa kamu sedang menahan kuap. Seperti biasa, kamu mengangkat salah satu alis untuk memastikan bahwa saya siap untuk berbicara.

"Aku sudah baik-baik saja."

Kamu menghembuskan napas kuat-kuat dengan ekspresi yang berlebihan. "Aku takut suara bernapasku ganggu kamu."

"Mana ada."

"Aku tadi membayangkan kamu tiba-tiba jadi Hulk."

Kita pun tergelak. Lalu kamu pun menceritakan berbagai macam skenario irasional yang bermain di dalam pikiranmu ketika saya mengingat rumah. Saya perlu menahan tawa karena takut membangunkan teman-teman yang harus berangkat kerja pukul 4 pagi. Kamu pun menghentikan tawamu, namun tidak melunturkan senyum jahil dari bibirmu. 

"Sudah merasa baik-baik saja?"

Saya mengangguk untuk dua alasan; menjawab pertanyaannya dan meyakinkan diri saya. "Masih kangen, tapi berusaha ikhlas sih."

"Ingat ya. Ini bukan kesalahan kamu. Rumah kamu gak akan ke mana-mana."

Ini bukan kesalahan kamu. Rumah kamu gak akan ke mana-mana. Dua kalimat itu saya tanamkan dalam hati hingga saat ini.

Kemarin, rumah saya merayakan kedatangan anggota baru. Saya menyaksikan siarang langsung perayaannya. Ramai sekali. Saya mendengar teriakan, sorakan penonton, letupan confetti, dan kalimat-kalimat penuh syukur. Suasananya sama dengan tahun lalu: hangat dan meriah. Apakah saya menangis? Tentu saja. Namun, tangisan kali ini bukanlah bentuk sesal saya karena tidak pulang ke rumah. Saya menangis karena terharu saat melihat keluarga saya berkumpul dan berbaur dengan anggota keluarga baru. 

Seseorang pernah berkata bahwa rumah bukanlah masalah tempat, namun lebih kepada titik yang membuat saya nyaman. Tentu saja itu berlawanan dengan makna yang dituliskan oleh KBBI, namun saya mengamini pernyataan tersebut untuk pos ini. Dubas Jabar sudah menjadi rumah bagi saya. Orang-orang di dalamnya sudah menjadi titik nyaman dalam kehidupan saya.

Berikut ini beberapa potret dari perayaan kemarin!

Ninda.

Diva dan Ninda.

Yusra dan Ninda.

Mulyadi dan Ninda.
Kang Gempa.

Ibu Ade.

Diva.

Ryan, Hikmah, Diva, Ninda, dan Rizka.

Putri Dubas: Zara, Ninda, dan Hikmah.

Ryan, Zara, Diva, Ninda, Hikmah, Rizka, dan Iqbal.

Diva, Ninda, Kika, Zara.
Fahmi, Binar, Mulyadi, Kevin.

Binar dan Ninda.

Ryan, Marshall, Mulyadi, Lisna, Hikmah, Zara, Fani, Rizka, Yusra, Adit, dan Iqbal.

Pasangan paling populer: Iqbal dan Hikmah.

Marshall dan Zara.

Adit dan Ninda.

Kang Ridwan dan Teh Kemala.
Diva dan Ninda.

Yusra, Iqbal, Marshall.
Hikmah, Zara, Rizka, Ryan.
Keluarga. Tempat saya berlabuh.



Catatan:
Kamu juga sudah saya anggap sebagai rumah. Semoga kita selalu bisa menciptakan kenyamanan di dalamnya.

Sabtu, 07 Juli 2018

Kumpulan Lagu untuk Musim Dingin (di Warrnambool)


Pertama kali merasakan musim dingin di Australia dan saya sangat kewalahan. Suhu udara yang nyaris menyentuh angka nol membuat saya harus melindungi kulit dari sengatan udara dingin. Jika saya berencana untuk keluar rumah, biasanya saya menggunakan dua kaus, kemeja, dan jaket atau kardigan. Apabila masih dirasa kurang, saya akan mengenakan mantel dan syal. Ya, saya butuh kain setebal itu untuk menangkal rasa dingin. 

Selain itu, saya juga perlu mendengarkan musik agar otak saya melupakan kenyataan bahwa hembusan angin berusaha merenggut kehangatan dari tubuh saya. Berikut ini lagu-lagu yang menurut saya pas dengan nuansa musim dingin. Standar pas menurut kamu gimana sih, Zain? Selama saya bisa membayangkan diri saya sebagai model dalam videoklip musik tersebut, saya rasa itu pas. Hm.

1. Lilla Vargen - Believe Me
2. Emma Louise - Wish You Well
3. Ben Haenow - Getaway
4. Greyson Chance - Good As Gold
5. gnash - the broken hearts club
6. Dean Lewis - Be Alright
7. Aquilo - 6 Feet Over Ground
8. X Ambassador - Joyful
9. Vance Joy - seluruh lagu di dalam album Nation of Two.
10. Mitch James - 21
11. Kodaline - Shed A Tear
12. Tom Odell - If You Wanna Love Somebody
13. James Bay - Slide dan Us
14. Passenger - Why Can't I Change, Runaway, dan Hell or High Water.
15. Jason Mraz - Unlonely

Jika kalian ingin langsung mendengarkan musiknya, silakan buka kompilasi musik saya di Spotify.

Beberapa waktu yang lalu, saya juga berkolaborasi dengan Teh Vera untuk membuat kompilasi musik, silakan kunjungi situsnya!

Minggu, 01 Juli 2018

Surat Pendek untuk Anakku

Rasanya aneh ketika membaca pos ini secara keseluruhan. Memosisikan diri sebagai seorang ayah dan menulis surat untuk anak yang belum ada di dunia ini cukup membuat saya senyum-senyum sendiri. Namun, produktivitas dan kreativitas memang tidak bisa dibatasi oleh apa pun, kan? Haha. Berikut ini merupakan surat yang saya coba tulis untuk anak saya. Oh Tuhan, menuliskan kalimat sebelumnya saja sudah membuat saya ingin tertawa sekencang mungkin. 

Sumber: mustbethistalltoride.com
*****

Fitzroy Road, 1 Juli 2018.

Untuk Anakku.

Halo. Apa kabar? Semoga kamu baik-baik saja. Ayah menulis surat ini ketika ayah berumur dua puluh tiga tahun. Entah kapan kamu akan membaca pos ini, mungkin ketika dunia sudah mencapai 2040. Atau 2050. Entahlah. Hal yang perlu kamu ketahui adalah ayah menulis pos ini di Warrnambool. Tempat ayah bekerja selama tahun 2018. Tempat ayah memahami dan menerima diri ayah sendiri.

Nak, ayah menulis surat ini untukmu sebagai bentuk kasih sayang. Mungkin ketika kamu membaca surat ini, ayah sudah tidak ada di sampingmu. Atau, ayah masih ada dan sering memaksa kamu untuk belajar pada malam hari. Ayah harap, kamu bisa menemukan surat ini pada saat yang tepat. Kapan itu waktu yang tepat? Kamu akan memahaminya suatu saat nanti.

Nak, ayah belum tahu apa jenis kelamin kamu, tapi yang kamu harus tahu adalah jenis kelamin tidak membatasi dirimu untuk meraih cita-cita. Jika kamu laki-laki dan ingin menjadi seorang desainer baju atau perias, ayah sangat mendukung keputusanmu. Jika kamu perempuan dan ingin menjadi pemain sepak bola atau astronot, ayah akan sangat senang untuk mendukungmu. Tidak ada yang bisa membatasimu. Ingat itu. Kembangkan kreativitas kamu semaksimal mungkin. Jangan pernah biarkan orang lain menjatuhkan semangatmu dengan kalimat laki-laki kok mengerjakan pekerjaan perempuan atau sebaliknya. Kamu tahu potensi dirimu. Begitu pun ayahmu ini.

Nak, selalu hargai keputusan orang lain. Jangan sampai kamu menggurui orang lain hanya karena pendapatmu tidak sesuai dengan pendapat mereka. Dunia itu tempat kita untuk saling menghargai dan menjabat tangan, sayang. Tidak semua yang ada di dalam pikiranmu bisa direalisasikan. Kadang, kita memerlukan orang lain untuk mencapai sesuatu yang lebih baik. Jika kamu penasaran mengenai suatu hal, silakan bertanya pada orang yang lebih paham. Ingat, kamu harus menggunakan sopan santun. Senyum tidak akan membuatmu kesakitan, kan? Ayahmu ini paling jago masalah senyum. Jadi, kamu harus jago juga memberikan senyum untuk orang lain. Hehe.

Lakukan apapun yang ingin kamu lakukan selama itu tidak menyakiti dirimu dan orang-orang di sekitarmu. Kalau kamu mau mewarnai rambutmu, silakan. Kalau kamu mau menghabiskan waktu liburan sekolahmu di pesantren, silakan. Kalau kamu mau mendaki gunung, silakan. Mau ditindik atau ditato? Bicarakan dulu dengan ayah dan keluargamu. Kamu belum ditato atau ditindik, kan? Iya, kan?

Apakah kamu suka memperlihatkan rasa sayangmu dengan cara memeluk orang yang kamu sayang? Atau menulis surat? Atau mungkin dengan cara menggenggam telapak tangannya? Bagaimanpun caranya, ayah harap kamu bisa memperlihatkan rasa sayangmu kepada orang lain. Ayah tahu, itu adalah hal yang sulit. Tapi, rasa sayang yang kamu berikan bisa sangat berarti untuk orang lain. Dunia ini perlu diisi dengan kasih sayang. Terkadang, ada banyak orang yang tidak beruntung dan tidak mendapatkan kasih sayang dari orang lain. Kamu harus menyayangi mereka dengan cara dan kemampuan kamu sendiri. Belajar untuk berempati. Siap untuk memberikan bahumu kepada orang yang membutuhkan?

Nak, menangislah jika kamu butuh menangis. Sekencang mungkin jika itu diperlukan. Kamu itu manusia yang memiliki perasaan. Sebagai manusia, ada banyak masa di mana kamu akan merasa sedih karena banyak hal; tidak lulus ujian, belum memiliki pekerjaan, uang tabunganmu dihabiskan oleh ayah, tidak bisa membeli mainan, patah hati, dll. Kamu sangat diperbolehkan untuk menangis. Tapi kamu harus ingat kalau kamu perlu bangkit dari rasa sedih itu. Jangan sampai kamu malah tenggelam dalam perasaan muram. Kamu harus terus semangat untuk menggapai apa pun yang kamu cita-citakan.

Suatu waktu, ayahmu ini pernah memiliki rahasia besar dan sudah tidak bisa menampungnya sendirian. Untunglah, ayah memiliki sahabat yang bisa diandalkan dan berpikiran terbuka. Karena sahabat ayah itulah, akhirnya ayah bisa melanjutkan perjalanan hidup. Entah bagaimana akhir cerita ini jika ayah tidak bercerita kepada orang lain mengenai rahasia ayah. Jadi, kalau kamu sekarang memiliki rahasia yang sangat besar dan tidak bisa menahannya lagi sendirian, ayah akan menjadi orang yang selalu siap untuk menyimak kisahmu. Bahkan rahasia terberatmu. Jangan sampai kamu berpikiran jika ayah akan membencimu karena rahasia itu. Rasa sayang ayah tidak akan hilang oleh apa pun. 

Kamu juga harus melakukan hal yang sama. Jadi penyimak yang baik untuk orang lain. Kalau temanmu membutuhkan kamu untuk menyimak cerita dia, simaklah dengan baik. Bahkan ketika dia memiliki masalah yang berat dan kamu tidak memiliki saran apa pun, simak saja. Terkadang, manusia hanya membutuhkan telinga dan bahu. Ingat ya, Nak. Kamu harus jago menyimak, bukan mendengar atau mendengarkan saja. Tahu perbedaannya, kan? Kalau kamu belum tahu, tanya guru bahasa Indonesiamu. Atau coba cari maknanya di Internet. Atau, perlu ayah ceramahi selama berjam-jam?

Kamu harus terus belajar, Nak. Jika kamu ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat universitas, boleh. Kalau kamu ingin mengikuti les, silakan. Cari pengalaman sebanyak mungkin. Ayah selalu percaya jika dunia ini tempat kamu untuk belajar dan mencoba hal-hal baru. Gagal? Bangkit lagi. Sukses? Bersyukur, lalu coba tularkan kesuksesan itu kepada orang lain. Jangan mudah puas. 

Nak, mencintai seseorang adalah perasaan yang manusiawi. Jika kamu sudah jatuh cinta sekarang, cintailah orang itu semaksimal mungkin. Selalu bertanggung jawab dan hargai pasanganmu. Jatuh cinta itu menyatukan dua hati menjadi satu. Tidak bisa kamu memaksakan kehendakmu. Kalau kamu membaca pos ini pada umur di bawah tujuh belas tahun dan belum memahami makna jatuh cinta, kembali lagi pas umurmu lebih dewasa ya. Pesan ayah; cintailah siapa pun yang kamu mau dengan sepenuh hati. Laki-laki, perempuan, lebih tua, lebih muda. Siapa pun. Selama kamu bisa bertanggung jawab dan bisa menghargai pasanganmu, ayah akan selalu mendukungmu.

Terakhir, ayah ingin kamu bahagia. Jika kamu belum bisa membahagiakan dirimu sendiri, ayah akan berusaha membuatmu bahagia. Bagaimana pun caranya. Jangan pernah menyakiti siapa pun. Mungkin kamu sudah hapal tiga kata yang harus kamu sampaikan; maaf, terima kasih, dan tolong. Kata-kata itu bisa membuat dunia ini lebih baik. Ingat, hidup di dunia ini bukan hanya tentang dirimu sendiri. Tapi, antara kamu dan orang lain juga.

Salam sayang,


Ayah.

Catatan tambahan:
Ayah bercanda. Ayah tidak akan menghabiskan uang tabunganmu.