Rabu, 24 Juni 2020

Mengenang Tuan

Dalam foto: Xavier Dolan


Pusara ini milik tuan
berisi diri yang keliru.
Nyaman tak sudi bertandang
di hadapan para puan
atau sela sujud panjang tengah malam

Bincang tuan dengan Tuhan
tak lepas dari tanya,
"Siapa yang berhak atas rusukku?"

Satu kala tuan tahu
hati dan diri dititip sekali
sanya hawa adalah takdir.
Kunci hidup bagi jiwa
yang lama terpasung tulang punggung.

Terpaksa
Jengah
Tersiksa
Ubah

Luka membasuh tubuh puan
diiringi kucur syukur
tanpa ampun

Jumat, 12 Juni 2020

Tamparan Warganet Berwujud #VogueChallenge

Salma Noor on Twitter

Sudah berhari-hari warganet dihibur dengan konten #VogueChallenge yang meramaikan jagat media sosial. Tantangan ini diperkenalkan oleh David Kim, seorang pengguna Tiktok, pada bulan Mei. Konsepnya adalah pengguna Tiktok mengedit foto sendiri seolah-olah menjadi model sampul majalah Vogue. Sebagai pengguna media sosial yang latah, saya mengikuti tren tersebut dan mengunggahnya ke Twitter tanpa ada rasa khawatir.

Keesokan harinya, saya menemukan sebuah artikel tentang awal mula ramainya tantangan ini. Setelah saya cermati, saya pun menghapus unggahan saya dan mengumpati diri karena tidak mengecek dulu asal-muasal #VogueChallenge yang telah menjadi sebuah tren. Saya coba jelaskan mengapa saya merasa kurang relevan untuk mengikuti tantangan Vogue ini.

Salma Noor, seorang gadis dari Norwegia, mengikuti #VogueChallenge ini dengan harapan agar dunia permodelan bisa jauh lebih inklusif. Sebagai seorang muslim berkulit hitam, dia merasa kurang melihat representasi gadis sepertinya di sampul majalah. Selain kritik tersebut, dia pun menuliskan takarir yang berbunyi being black is not a crime sebagai bentuk solidaritas untuk gerakan Black Lives Matter yang sedang membara. Semenjak foto Salma Noor tersebar, banyak warganet berkulit hitam yang mengikuti tantangan ini untuk memprotes dunia majalah yang kurang melibatkan pekerja seni berkulit hitam. 

Protes yang dilayangkan warganet pun selaras dengan apa yang Anna Wintour, kepala editor Vogue America, akui dalam permintaan maafnya beberapa hari lalu. Ia menyatakan bahwa Vogue belum merepresentasikan kesetaraan ras. Menurut akun Twitter @TheWomensOrg, selama 127 tahun beroperasi, Vogue hanya memiliki 21 sampul majalah dengan model kulit hitam.

"I am arranging ways we can discuss these issues together candidly, but in the meantime, I welcome your thoughts or reactions," pungkas Wintour dalam apologinya.

Semenjak itu, #VogueChallenge bertransformasi menjadi media kritik terhadap kurangnya pihak majalah mempekerjakan desainer, fotografer, model, dan pekerja seni lainnya yang berkulit hitam. Oleh karena itu, saya merasa bersalah ketika mengikuti tren arus utama tanpa mencari tahu asal-usulnya. #VogueChallenge bukanlah sebuah tantangan seni biasa. Tantangan ini merupakan tamparan keras bagi dunia majalah yang masih cukup eksklusif bagi ras kulit putih. 

Apakah salah jika saya mengikuti #VogueChallenge padahal saya tidak berkulit hitam?

Tidak ada yang salah. Memang awalnya tantangan ini merupakan wadah kreativitas bagi warganet tanpa terbatas oleh ras apa pun. Jika memang kamu ingin tetap mengunggah, silakan saja. Namun, kamu juga harus sadar bahwa di antara #VogueChallenge yang berserakan di lini masamu, ada suara-suara minoritas yang sedang menuntut keadilan. Ada pekerja seni yang ruang kreatifnya tidak diberikan kesempatan. Ada kritik yang sedang dilayangkan demi mencapai kesetaraan.

Black Lives Matter.
Minority Lives Matter.
Rahayu selalu seluruh umat manusia.