Senin, 19 November 2018

Kumpulan Potret

Beberapa potret yang tersimpan di ponsel saya. 

 


 


 


 


 


 



Minggu, 18 November 2018

Semua Orang Memiliki Hak yang Sama untuk Bahagia

Saya memulai tulisan ini dengan sebuah peringatan yang harus diperhatikan.

Berpikiran jernih terlebih dahulu. 

Hak cipta: Min An

Peringatan tersebut saya sampaikan karena tulisan ini akan mendobrak berbagai stereotip yang berkembang di dalam masyarakat. Kemungkinan besar stereotip tersebut masih dipercayai oleh khalayak yang membaca tulisan ini. Saya harap kamu bisa berpikiran positif dan berpikiran terbuka.

Saya sudah menyaksikan banyak orang menderita karena mereka disudutkan oleh orang lain. Beragam alasan tak masuk akal digunakan untuk menjadi dasar perundungan; tidak bisa bermain olahraga, tidak memiliki payudara, nama orang tua terdengar kampungan, kutu buku, dan lain-lain. Perundung melihat hal-hal tersebut sebagai celah untuk melakukan aktivitas yang mereka sukai; membuat orang lain merasa tidak berguna.

"Laki-laki itu harus memiliki otot dan jakunnya harus timbul, berkeringat setiap hari, haram bermain boneka, kuat mengangkat barang-barang berat, tidak boleh berpelukan dengan laki-laki, selalu bersedia untuk membantu perempuan bahkan ketika dia tidak sanggup melakukannya."

"Perempuan itu harus anggun, memiliki payudara dan pantat besar, jago memasak, tidak boleh bersentuhan dengan laki-laki, jangan main bola."

Stereotip tersebut sudah menjadi pola pikir kebanyakan orang. Tidak hanya di Indonesia, namun seluruh dunia. Ketika ada orang yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut, maka dia akan dilabeli sebagai orang yang aneh dan dijadikan santapan yang nikmat bagi perundung. Mereka melabeli manusia yang notabene memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun yang bisa membuat kualitas dia sebagai manusia  menjadi lebih baik. Sayangnya orang lain melihat perbedaan ini sebagai kelemahan. Hal yang lebih ironis adalah: Tidak ada ampun untuk seseorang yang tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat.

Saya pernah menyaksikan seorang murid laki-laki yang tidak menyukai sepak bola dipaksa untuk melakukan tendangan jarak jauh dan harus mencetak gol oleh gurunya sendiri. Dia dipaksa untuk berdiri di depan seluruh temannya. Seperti yang sudah ditebak, murid tersebut tidak bisa menendang bola hingga mencetak gol. Bola yang ia tendang meleset jauh dari target. Guru tersebut berkata bahwa anak laki-laki itu harus bisa bermain bola dan memiliki tendangan yang kuat. Kebanyakan teman-temannya tertawa saat itu. Tidak ada yang membela sama sekali. Murid itu menangis sembari duduk kembali ke tempatnya semula. Tahu apa yang dikatakan oleh gurunya? Laki-laki tidak boleh menangis. Hanya perempuan dan banci yang menangis.

Ada juga korban perundungan yang depresi karena dia tidak sanggup mendengar kenyataan bahwa orang-orang menyalahkan dia sebagai korban pemerkosaan. Kebiasaannya menggunakan pakaian pendek dijadikan alasan oleh masyarakat untuk menyalahkan orang tersebut. Orang-orang beranggapan jika dia tidak menggunakan pakaian pendek, pemerkosaan tersebut tidak akan pernah terjadi. Dia enggan untuk melakukan aktivitas di luar rumah karena tidak sanggup untuk mendengar ucapan tetangganya. Seorang korban diperlakukan seperti tersangka. Korban yang seharusnya diberikan dukungan dan dikuatkan mentalnya malah dikucilkan oleh sebagian besar orang. Sangat ironis. 

Saya juga mengenal seseorang yang dipergunjingkan oleh orang-orang karena keluarganya tidak harmonis. Ayahnya tidak pernah pulang ke rumah, ibunya sudah memiliki suami lagi, kakaknya memiliki permasalahan finansial, dan adiknya adalah seorang pencuri. Orang yang saya kenal ini memiliki prestasi yang baik di sekolah. Tidak pernah mengikuti remedial. Sayang sekali orang-orang tidak melihat kecerdasannya. Mereka hanya memedulikan asumsi yang mereka buat bahwa teman saya akan gagal seperti anggota keluarga lainnya. Tidak ada kesempatan bagi teman saya untuk bisa mencapai kesuksesan. Pada suatu pagi dia memilih untuk tidak bersekolah. Semenjak saat itu dia tidak pernah duduk di bangku sekolah lagi. Orang-orang pun senang karena mereka pikir asumsi mereka benar bahwa teman saya akan gagal. Tanpa mereka sadari, mereka membangun asumsi itu menjadi kenyataan.

Suatu hari saya menaiki sebuah angkot bersama dua orang laki-laki dan satu orang perempuan lainnya. Kedua laki-laki tersebut berpegangan tangan sambil tertawa. Sesekali salah satu di antara mereka mengecup telapak tangan yang lain. Tawa mereka terhenti ketika perempuan di depan saya mempertanyakan seksualitas kedua laki-laki tersebut. Salah satu dari mereka menjawab bahwa mereka adalah gay. Ingin tahu ucapan yang perempuan itu sebutkan? Amit-amit, bakal masuk neraka. Sesaat setelah ucapan disebutkan, mereka dipaksa turun oleh supir angkot. Sialnya saya malah membeku karena tidak percaya perempuan di depan saya akan mengatakan kata-kata itu. Sialnya saya tidak membela mereka sama sekali. Itu menjadi salah satu penyesalan terbesar dalam hidup saya.

Saya selalu tidak bisa menerima ketika ada seseorang yang memojokkan seseorang dengan ucapan atau kekerasan fisik. Kita tidak pernah tahu kondisi mental seseorang. Apakah dia sedang bahagia? Apakah dia memiliki masalah keluarga? Apakah dia merasa diterima oleh teman-temannya? Hal yang bisa kita lakukan adalah berbuat baik kepada sesama manusia. Itu adalah sebuah konsep dan aksi yang sangat sederhana.

Bagaimana jika saya adalah seorang laki-laki yang tidak bisa bermain sepak bola, memiliki keluarga yang tidak bahagia, korban pemerkosaan, nyaris bunuh diri, dan suka dengan sesama jenis? Apakah kamu akan merundung saya? Apakah kamu akan pura-pura tidak mengenal saya? Apakah kamu akan memaksa saya untuk mengikuti kehendak kalian? 

Manusia memahami cara terbaik yang bisa dilakukan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Selama dia tidak menyakiti orang lain, biarkan dia hidup dengan caranya sendiri. Dia perlu mengaktualisasikan dirinya tanpa harus diberikan label apa pun. Biarkan dia menjadi dirinya sendiri.

Apakah seorang laki-laki yang tidak bisa bermain sepak bola akan menyakiti perasaanmu? Apakah seorang perempuan yang belum menikah pada umur tiga puluh lima tahun akan membuatmu sakit hati? Apakah pasangan lesbian membuatmu depresi? Apakah perempuan berkerudung panjang dan berbusana serba tertutup akan membuatmu kesal? Apakah laki-laki yang senang menggunakan riasan wajah membuat matamu pedih? Apakah laki-laki yang menggunakan behel membuatmu jijik dan muntah? Apakah perempuan yang memiliki kulit putih membuatmu emosi?

Jika jawabanmu itu tidak, maka biarkanlah mereka menjadi diri sendiri. Percaya sama saya, membiarkan mereka hidup bahagia akan lebih menyenangkan daripada memaksa mereka untuk sesuai ekspektasi kuno yang sudah beredar. Jika jawabanmu adalah ya, pilihanmu ada dua: ubah perspektif hidupmu atau jangan ikut campur kehidupan mereka

Saya sangat berharap tidak ada lagi orang yang harus menderita karena asumsi orang lain. Saya ingin mencapai suatu titik kehidupan di mana orang-orang bisa tersenyum dan melakukan apa yang mereka sukai. Saya menginginkan semua orang berbahagia.

Jika keinginan itu tidak terwujud hari ini, kita akan berusaha agar keinginan itu tercapai esok hari. Kita tidak akan menyerah.

Jumat, 09 November 2018

Catatan untuk Ayah



Floating through the milky way.

Kalau saya diberikan kesempatan untuk kembali ke masa lampau, saya ingin kembali pada saat saya masih berusia sepuluh tahun. Saat itu, saya sedang duduk berdua dengan ayah saya di pelataran rumah. Jujur saja, kedekatan saya dengan ayah tidak seintens hubungan ayah-anak pada umumnya. Ayah meninggalkan saya sejak 1999 karena beliau harus bekerja di luar negeri. Mengapa? Tentu saja karena krisis ekonomi yang melanda dan tawaran gaji yang menggoda. Saat itu, beliau sedang mendapatkan cuti kerja.

Malam itu, kami duduk sembari menikmati secangkir teh hangat. Saya sibuk dengan ponsel baru saya, sedangkan ayah terdiam sembari menatapi hasil kerjanya; lantai rumah yang sudah selesai dilapisi keramik. Seperti inilah aktivitas kami jika sedang duduk berdua. Menikmati sunyi yang merebak di antara kami dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ibu tidak pernah bergabung dengan kami. Beliau lebih memilih untuk tidur dan menggunakan 'ibu harus pergi ke pasar' sebagai dalih andalan. 

Jam menunjukkan sekitar pukul sembilan malam. Bulan sedang bertengger di timur laut langit yang berwarna biru pekat. Malam ini, ayah memutuskan untuk memecahkan kesunyian.

"Gimana sekolah? Susah atau enggak?" Dua pertanyaan beruntun yang beliau berikan hanya bermuara pada satu kata sebagai jawaban: enggak.

"Ada yang nakal atau enggak?"

Untuk kedua kalinya saya menjawab dengan satu kata yang sama.

"Katanya Dede suka warna biru jadi kemarin sengaja beli keramik warna biru. Suka?"

Saya melihat keramik-keramik itu dan menjawab dengan singkat. "Suka kok."

Ayah mengambil ponsel dari tanganku dan menyimpannya di dalam saku jaketnya. Saya menatap mata ayah dan tidak tahu harus berkata apa. Saya ingin marah, tetapi saya tidak terlalu akrab dengan beliau. Saya ingin masuk ke rumah, tetapi saya tidak tega meninggalkan beliau sendirian. Akhirnya saya hanya menyandarkan punggung ke tembok rumah. Dingin menjalar di sekitar punggung saya.

"Kalau sudah besar, Dede mau jadi apa?"

"Mau jadi dokter." 

"Kenapa?"

"Mau bantu orang yang sakit."

Saya mendengar ayah bergumam dan ada senyum yang mengembang di bibirnya. Untuk beberapa saat, hanya suara jangkrik dan embusan angin yang terdengar oleh saya. Ayah terlihat sedang berpikir, namun saya selalu tidak bisa menebak apa yang sedang beliau pikirkan.

"Kalau mau bantu orang sakit, dede harus jadi orang pintar. Rajin belajar. Jangan sering main ponsel terus."

"Iya, nanti Dede peringkat satu biar bisa jadi dokter. Main ponsel kalau selesai belajar." Saya memeluk kaki saya karena dingin sudah mulai menjalar. Dialog itu adalah dua kalimat terpanjang yang pernah saya ucapkan kepada beliau. 

"Sini," beliau meminta saya untuk duduk di sampingnya. Saya berpindah secara perlahan. "Pernah dengar raihlah cita-citamu setinggi langit atau belum?"

Saya menjawab dengan lirih. "Sudah pernah."

Entah mengapa, berdekatan dengan ayah selalu membuat saya canggung. Saya merasa serba salah dan tidak tahu harus berbuat apa. Walhasil saya hanya menunduk sambil memainkan jemari kaki. 

"Lihat tuh," ayah merengkuh pundak saya dan menunjuk ke arah bulan yang temaram. "Ada yang lebih tinggi daripada langit."

Sebagai anak yang baru saja 10 tahun, saya tidak tahu maksud ayah dan hanya menatap nanar ke arah bulan yang mulai dihalangi gumpalan awan.

"Masih ada yang lebih tinggi dari langit, De. Bulan itu lebih jauh dari pada langit. Ada planet yang lebih jauh lagi." Beliau mengalihkan pandangannya dari bulan ke mata saya secara bergantian. Untuk pertama kalinya saya melihat senyum beliau dari jarak dekat. Senyum itu sehangat pelukan yang ia ciptakan. 

"Mulai dari sekarang jangan mencoba untuk meraih cita-cita hanya setinggi langit ya. Raihlah cita-cita setinggi-tingginya. Sampai luar angkasa juga boleh."

Pada saat itu, saya hanya bisa menyimpulkan bahwa ayah ingin saya meraih mimpi setinggi-tingginya. Sekadar itu.

Ketika saya masih menatap langit, ayah mengecup dahi saya selama beberapa detik. Setiap saya mengingat momen ini, saya selalu merasa ayah sedang mengecup saya dengan penuh kasih sayang. Bahkan ketika saya mengetik tulisan ini, saya merasa ayah sedang berada di samping saya. Ikut tersenyum saat saya menceritakan penggalan kehidupannya. Mengecup dahi saya beberapa kali sembari tersenyum bangga.

"Jadi apapun yang Dede mau." Ucapnya lirih sembari masih mengecup dahi saya. 

Saya pun menangis. Saya tidak tahu alasan dari tangisan saya. Kemungkinan besar karena saya merindukan beliau. Rasa cemburu selalu bersemayam ketika saya melihat teman-teman saya  dijemput oleh ayahnya. Perasaan itu juga muncul setiap saya melihat kursi kosong pada saat pembagian rapor. Tidak ada yang menyemangati saya ketika ada perlombaan Agustusan. Saya merindukan beliau.

Ayah memeluk saya sembari mengelus punggung. Beberapa kali beliau mengucapkan maaf sembari menenangkan tangis saya yang semakin kencang. Malam itu, saya menjadikan paha ayah sebagai bantal. Beliau tidak membangunkan saya ketika saya terlelap. Saya hanya tahu kalau beliau memindahkan saya ke kamar semalam. 

Pada saat pagi menjelang, ayah sudah meninggalkan saya lagi.

Jika saya bisa kembali ke masa lampau, saya akan kembali pada adegan ini dan berbicara lebih banyak dengan ayah. Saya akan mengatakan sekolah tidak baik-baik saja dan banyak perundung yang selalu meminta uang jajan. Saya akan menjelaskan keinginan saya untuk menjadi dokter hanyalah jawaban spontan saya karena banyak teman saya ingin menjadi dokter juga. Saya akan menggenggam tangannya ketika beliau menjelaskan tentang langit dan luar angkasa. Saya akan mengecup dahinya, sesaat setelah dia mengecup dahi saya. Saya akan mengatakan kalau saya menyukai cara beliau tersenyum.

Namun, kita tidak bisa memutar waktu. Apa yang sudah terjadi tidak bisa diulangi lagi.

Yah, saya masih hidup dan berusaha menggapai cita-cita saya yang sudah saya terbangkan melampaui langit.

Yah, kata-katamu akan selalu hidup dalam benak saya. Saya akan menghidupkannya juga dalam benak anak-anak saya nanti. 

Yah, saya rindu.

i carry your heart with me (i carry it in
my heart)i am never without it (anywhere
i go you go, my dear; and whatever is done
by only me is your doing, my darling)
                                                        i fear
no fate(for you are my fate, my sweet)i want
no world(for beautiful you are my world,my true)
and it's you are whatever a moon has always meant
and whatever a sun will always sing is you

here is the deepest secret nobody knows
(here is the root of the root and the bud of the bud
and the sky of the sky of a tree called life;which grows
higher than soul can hope of mind can hide)
and this is the wonder that's keeping the stars apart

i carry your heart(i carry it in my heart)

- E.E. Cummings

Jumat, 02 November 2018

Ulasan Film Wildlife



What's going to happen to us?
I don't know. 

Film ini saya tonton pada saat menghadari acara Melbourne International Film Festival (MIFF) 2018. Film perdananya Paul Dano sebagai sutradara ini membuat saya terkagum dengan cara dia dan Zoe Kazan menginterpretasikan novel Richard Ford. Tak heran jika film ini menjadi salah satu primadona dengan penonton terbanyak pada acara MIFF. Film ini juga sudah menyabet penghargaan Truly Moving Picture Award pada acara Heartland Film.


Carey Mulligan sebagai Jeanette Brinson

Carey Mulligan memberikan penampilan yang apik dan manusiawi. Saya mulai terkagum dengan kemampuan bermain perannya Mulligan sejak dia menghidupkan karakter Jenny pada film An Education. Saya juga suka film Suffragette, Inside Llewyn Davis, dan Brothers yang mana Mulligan menjadi peran sentral pada film-film tersebut. Tapi saya bisa mengatakan bahwa performa Mulligan  sebagai Jeanette Brinson pada film Wildlife adalah hasil kerjanya yang terbaik. Salah satu keunggulan Mulligan adalah kemampuan dia mengolah gestur agar mendukung setiap adegan yang dia mainkan. Pada film ini, kalian akan melihat kehebatannya pada aspek tersebut. Mulligan memiliki kesempatan yang besar untuk masuk nominasi pemeran utama wanita terbaik dalam penghargaan Academy Awards. 



Jika kalian rindu dengan perfoma Jake Gyllenhaal pada film drama, Wildlife adalah pilihan yang tepat untuk ditonton. Gyllenhaal memerankan sosok Jerry Brinson, suami Jeanette yang berusaha untuk menghidupi keluarganya. Saya rasa Gyllenhaal sukses memperlihatkan kegelisahan yang dirasakan oleh Jerry. Saya puas dengan adu peran Mulligan dan Gyllenhaal karena mereka sudah dapat senyawanya. Sebelum film ini, mereka sudah pernah bertemu pada film Brothers. 

Ed Oxenbould sebagai Joe Brinson

Mulligan dan Gyllenhaal memang sangat cemerlang, namun  saya harus memberikan apresiasi saya kepada Ed Oxenbould. Dia adalah pemeran karakter Joe Brinson, anak dari Jerry dan Jeanette yang harus menyaksikan keharmonisan keluarganya terganggu. Saya rasa kesempatannya untuk bermain dengan dua aktor luar biasa telah mengajarkan dia banyak hal. Pada awal film saya berpikir bahwa Mulligan akan menjadi sentral film, namun saya salah. Ternyata film ini direkam dari sudut pandang Oxenbould sebagai seorang anak. Jadi bisa dibayangkan jika kalian menonton film tentang keruntuhan sebuah keluarga dari sudut pandang anaknya. Sedih, kan?

Saya berusaha untuk menjadi pengulas yang adil dan jujur, tapi saya bingung mencari sisi negatif dari film ini. Semuanya terasa proporsional.

Pada saat film selesai, saya merasa film ini adalah sebuah film yang adil dan manusiawi. Adil dari segi cerita dan juga eksekusi film. Saya tidak tahu harus menyalahkan siapa atas permasalahan yang muncul di antara Jerry dan Jeanette. Setiap keputusan yang diambil oleh para karakter terlihat masuk akal. Cerita Wildlife ini dieksekusi dengan sinematografi yang mantap. Sebagai film perdana, Paul Dano membuktikan kepada khalayak bahwa dia adalah sutradara yang handal. Percaya atau tidak, lima menit pertama menjadi momen paling hening yang pernah saya simak pada sebuah pemutaran film!

Saya beri bocoran; adegan terakhir film ini sangat menyentuh.