Jumat, 09 November 2018

Catatan untuk Ayah



Floating through the milky way.

Kalau saya diberikan kesempatan untuk kembali ke masa lampau, saya ingin kembali pada saat saya masih berusia sepuluh tahun. Saat itu, saya sedang duduk berdua dengan ayah saya di pelataran rumah. Jujur saja, kedekatan saya dengan ayah tidak seintens hubungan ayah-anak pada umumnya. Ayah meninggalkan saya sejak 1999 karena beliau harus bekerja di luar negeri. Mengapa? Tentu saja karena krisis ekonomi yang melanda dan tawaran gaji yang menggoda. Saat itu, beliau sedang mendapatkan cuti kerja.

Malam itu, kami duduk sembari menikmati secangkir teh hangat. Saya sibuk dengan ponsel baru saya, sedangkan ayah terdiam sembari menatapi hasil kerjanya; lantai rumah yang sudah selesai dilapisi keramik. Seperti inilah aktivitas kami jika sedang duduk berdua. Menikmati sunyi yang merebak di antara kami dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Ibu tidak pernah bergabung dengan kami. Beliau lebih memilih untuk tidur dan menggunakan 'ibu harus pergi ke pasar' sebagai dalih andalan. 

Jam menunjukkan sekitar pukul sembilan malam. Bulan sedang bertengger di timur laut langit yang berwarna biru pekat. Malam ini, ayah memutuskan untuk memecahkan kesunyian.

"Gimana sekolah? Susah atau enggak?" Dua pertanyaan beruntun yang beliau berikan hanya bermuara pada satu kata sebagai jawaban: enggak.

"Ada yang nakal atau enggak?"

Untuk kedua kalinya saya menjawab dengan satu kata yang sama.

"Katanya Dede suka warna biru jadi kemarin sengaja beli keramik warna biru. Suka?"

Saya melihat keramik-keramik itu dan menjawab dengan singkat. "Suka kok."

Ayah mengambil ponsel dari tanganku dan menyimpannya di dalam saku jaketnya. Saya menatap mata ayah dan tidak tahu harus berkata apa. Saya ingin marah, tetapi saya tidak terlalu akrab dengan beliau. Saya ingin masuk ke rumah, tetapi saya tidak tega meninggalkan beliau sendirian. Akhirnya saya hanya menyandarkan punggung ke tembok rumah. Dingin menjalar di sekitar punggung saya.

"Kalau sudah besar, Dede mau jadi apa?"

"Mau jadi dokter." 

"Kenapa?"

"Mau bantu orang yang sakit."

Saya mendengar ayah bergumam dan ada senyum yang mengembang di bibirnya. Untuk beberapa saat, hanya suara jangkrik dan embusan angin yang terdengar oleh saya. Ayah terlihat sedang berpikir, namun saya selalu tidak bisa menebak apa yang sedang beliau pikirkan.

"Kalau mau bantu orang sakit, dede harus jadi orang pintar. Rajin belajar. Jangan sering main ponsel terus."

"Iya, nanti Dede peringkat satu biar bisa jadi dokter. Main ponsel kalau selesai belajar." Saya memeluk kaki saya karena dingin sudah mulai menjalar. Dialog itu adalah dua kalimat terpanjang yang pernah saya ucapkan kepada beliau. 

"Sini," beliau meminta saya untuk duduk di sampingnya. Saya berpindah secara perlahan. "Pernah dengar raihlah cita-citamu setinggi langit atau belum?"

Saya menjawab dengan lirih. "Sudah pernah."

Entah mengapa, berdekatan dengan ayah selalu membuat saya canggung. Saya merasa serba salah dan tidak tahu harus berbuat apa. Walhasil saya hanya menunduk sambil memainkan jemari kaki. 

"Lihat tuh," ayah merengkuh pundak saya dan menunjuk ke arah bulan yang temaram. "Ada yang lebih tinggi daripada langit."

Sebagai anak yang baru saja 10 tahun, saya tidak tahu maksud ayah dan hanya menatap nanar ke arah bulan yang mulai dihalangi gumpalan awan.

"Masih ada yang lebih tinggi dari langit, De. Bulan itu lebih jauh dari pada langit. Ada planet yang lebih jauh lagi." Beliau mengalihkan pandangannya dari bulan ke mata saya secara bergantian. Untuk pertama kalinya saya melihat senyum beliau dari jarak dekat. Senyum itu sehangat pelukan yang ia ciptakan. 

"Mulai dari sekarang jangan mencoba untuk meraih cita-cita hanya setinggi langit ya. Raihlah cita-cita setinggi-tingginya. Sampai luar angkasa juga boleh."

Pada saat itu, saya hanya bisa menyimpulkan bahwa ayah ingin saya meraih mimpi setinggi-tingginya. Sekadar itu.

Ketika saya masih menatap langit, ayah mengecup dahi saya selama beberapa detik. Setiap saya mengingat momen ini, saya selalu merasa ayah sedang mengecup saya dengan penuh kasih sayang. Bahkan ketika saya mengetik tulisan ini, saya merasa ayah sedang berada di samping saya. Ikut tersenyum saat saya menceritakan penggalan kehidupannya. Mengecup dahi saya beberapa kali sembari tersenyum bangga.

"Jadi apapun yang Dede mau." Ucapnya lirih sembari masih mengecup dahi saya. 

Saya pun menangis. Saya tidak tahu alasan dari tangisan saya. Kemungkinan besar karena saya merindukan beliau. Rasa cemburu selalu bersemayam ketika saya melihat teman-teman saya  dijemput oleh ayahnya. Perasaan itu juga muncul setiap saya melihat kursi kosong pada saat pembagian rapor. Tidak ada yang menyemangati saya ketika ada perlombaan Agustusan. Saya merindukan beliau.

Ayah memeluk saya sembari mengelus punggung. Beberapa kali beliau mengucapkan maaf sembari menenangkan tangis saya yang semakin kencang. Malam itu, saya menjadikan paha ayah sebagai bantal. Beliau tidak membangunkan saya ketika saya terlelap. Saya hanya tahu kalau beliau memindahkan saya ke kamar semalam. 

Pada saat pagi menjelang, ayah sudah meninggalkan saya lagi.

Jika saya bisa kembali ke masa lampau, saya akan kembali pada adegan ini dan berbicara lebih banyak dengan ayah. Saya akan mengatakan sekolah tidak baik-baik saja dan banyak perundung yang selalu meminta uang jajan. Saya akan menjelaskan keinginan saya untuk menjadi dokter hanyalah jawaban spontan saya karena banyak teman saya ingin menjadi dokter juga. Saya akan menggenggam tangannya ketika beliau menjelaskan tentang langit dan luar angkasa. Saya akan mengecup dahinya, sesaat setelah dia mengecup dahi saya. Saya akan mengatakan kalau saya menyukai cara beliau tersenyum.

Namun, kita tidak bisa memutar waktu. Apa yang sudah terjadi tidak bisa diulangi lagi.

Yah, saya masih hidup dan berusaha menggapai cita-cita saya yang sudah saya terbangkan melampaui langit.

Yah, kata-katamu akan selalu hidup dalam benak saya. Saya akan menghidupkannya juga dalam benak anak-anak saya nanti. 

Yah, saya rindu.

i carry your heart with me (i carry it in
my heart)i am never without it (anywhere
i go you go, my dear; and whatever is done
by only me is your doing, my darling)
                                                        i fear
no fate(for you are my fate, my sweet)i want
no world(for beautiful you are my world,my true)
and it's you are whatever a moon has always meant
and whatever a sun will always sing is you

here is the deepest secret nobody knows
(here is the root of the root and the bud of the bud
and the sky of the sky of a tree called life;which grows
higher than soul can hope of mind can hide)
and this is the wonder that's keeping the stars apart

i carry your heart(i carry it in my heart)

- E.E. Cummings

Tidak ada komentar:

Posting Komentar