Hak Cipta: GMMTV Housestories 8 |
Dua dari tiga puluh satu.
Saat teman saya merekomendasikan film serial Thailand berjudul 2gether (Sut. Weerachit Thongjila, 2020), saya sempat meragu dan enggan untuk memulai sama sekali. Sebenarnya, ragu ini juga muncul ketika saya akan menonton Call Me By Your Name (Sut. Luca Guadagnino, 2017) dan Disobedience (Sut. Sebastian Lelio, 2017) beberapa tahun silam. Memang benar, film serial yang diproduksi GMMTV Thailand ini sedang digandrungi banyak penikmat film. Namun, satu pertanyaan selalu muncul setiap kali saya akan memulai sebuah film dengan kaum minoritas, khususnya kaum LGBT, sebagai peran utamanya.
Akankah film ini berakhir bahagia?
Sebuah pertanyaan yang mengendap jadi ragu berkepanjangan.
Saya pernah mencari jawaban untuk pertanyaan tersebut. Salah satu jawaban yang masuk akal adalah hubungan percintaan kaum LGBT bukanlah sesuatu yang lumrah dinikmati dan diamini masyarakat. Kebanyakan orang masih menganggap hubungan tersebut tidak dibenarkan. Sejarah sudah mengajarkan masyarakat tentang citra buruk dari kaum minoritas nonheteroseksual. Pendosa, penyebar virus-virus berbahaya, bahkan pengundang malapetaka. Masyarakat sudah telanjur mengenal konsep tersebut yang diajarkan secara turun-temurun. Walhasil, memberikan epilog bahagia pada film LGBT adalah sesuatu yang tidak realistis.
Salah besar jika saya menyatakan semua film bergenre queer drama selalu berakhir tragis. God's Own Country, Maurice, Carol, dan The Way He Looks adalah daftar pendek film dengan premis epilog mereka hidup bahagia selamanya. Menonton film-film tersebut membuat saya tersenyum dan tak jarang sambil mengembunkan air mata. Berharap akhir kisah para kaum minoritas mampu mencapai titik bahagia seperti karakter-karakter film tersebut.
Sebagai orang yang sudah muak dengan perlakuan masyarakat terhadap kaum LGBT, saya sangat berharap para pegiat film tidak mengglorifikasi kredo perpisahan dan kematian adalah akhir cerita dari setiap film LGBT. Saya berharap dengan adanya film queer ini mampu membuka pemahaman masyarakat tentang variasi orientasi seksual yang ada di dalam lingkup masyarakat. Jika masyarakat masih memilih untuk menolak eksistensi kaum keren ini, saya tidak akan memaksa. Hak mereka, tentu saja. Selama mereka tidak mengurus selangkangan orang lain dan mengatur siapa-boleh-mencium-siapa, saya akan baik-baik saja.
Harapan saya tentang film queer yang berakhir bahagia masih terus tumbuh subur. Menunggu untuk mekar.
Seminggu lalu saya mematahkan keraguan dan mulai menonton 2gether selepas salat Subuh. Walaupun saya sudah tertinggal 10 episode, tidak ada sedikit pun niat untuk mengejar. Saya hanya ingin menikmati setiap jalan cerita yang disajikan sembari menerka akhir ceritanya. Sejauh ini, saya menilai 2gether sebagai film serial komedi romantis yang ringan dan menyenangkan. Bagaimana dengan plotnya? Masih menjanjikan. Terasa tawar pada beberapa saat, tetapi kembali manis pada waktu selanjutnya. Banyak tokoh dimunculkan dengan dilema dan latar belakang masing-masing. Menurut saya, keberagaman tokoh tersebut membuat 2gether semakin menarik untuk ditonton.
Hingga saat ini, saya masih merapal doa dalam hati agar Tine dan Sarawat mendapatkan epilog yang berbunga-bunga.
Dan doa tersebut berlaku pula untuk kamu.
Dan doa tersebut berlaku pula untuk kamu.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusBelakangan sering denger Sarawat Sarawat apaan heboh banget dari temen queer sama fujoshi pecinta BL. Fenomena klise di tontonan kalau hubungan queer berakhir tragis bisa juga karena ya yg ngarahinnya bukan queer, cishet yg cuma pengen nunjukin ego romantiknya kali ya.
BalasHapusHalo, Mas Arif.
HapusSaya juga mulai nonton serial ini setelah teman-teman saya terkenan demam Sarawat. Haha
Iya juga, Mas. Itu bisa jadi memengaruhi akhir cerita dari hubungan para queer, ya. Harus mulai cek sutradara sama penulis naskah film2 yang epilognya sedih, nih. Ma kasih banyak, Mas Arif!