Senin, 16 Desember 2019

Menjadi Perempuan: Sebuah Tulisan Subjektif

.... Ia tidak bisa berpura-pura. Malah sekali waktu menolak terhadap paksaan 'berpura-pura suci', 'pendiam dan penurut' seperti wanita-wanita feodal lainnya, bahkan mengatakan bahwa 'dalam setiap jaman ada saja gadis-gadis yang berontak". Tentu saja ia memasukkan diri dalam barisan gadis jamannya yang berontak. (Pramoedya Ananta Toer - Panggil Saja Aku Kartini)

Sebelum Anda membaca tulisan ini, alangkah lebih baik jika Anda memahami bahwa penulis berjenis kelamin laki-laki. Tulisan ini merupakan hasil pengamatan terhadap kehidupan anggota keluarga dan para sahabat yang harus mengikuti narasi perempuan baik yang ditentukan oleh masyarakat. Tentu saja, penulis tidak bisa merepresentasikan seluruh pengalaman yang menjadi momok bagi para perempuan. Oleh karena itu, penulis memohon maklum atas kekurangan informasi yang didapatkan. Namun para pembaca perlu memahami satu hal: Ada yang perlu diluruskan dengan cara pandang kita terhadap para perempuan.

Terlahir di tengah keluarga yang didominasi oleh perempuan membuat saya terbiasa dengan aturan hidup mereka. Saya memiliki lima kakak perempuan yang semuanya dididik menjadi perempuan anggun yang sesuai dengan ekspektasi masyarakat. "Perempuan yang baik itu, ya, harus mau bangun lebih pagi, belajar memasak, rajin beres-beres rumah, dan harus bisa pasang senyum paling manis," ujar Ibu sembari sibuk mengatur nyala api di kompor, entah berapa tahun silam.

Ibu adalah salah satu korban patriarki yang enggan anaknya untuk dicemooh oleh masyarakat, tetapi meyakini bahwa semua anaknya harus diajarkan menjadi manusia baik tanpa dilihat gendernya. Akhirnya, Ibu selalu membangunkan saya dan kakak laki-laki saya pada waktu yang sama dengan para perempuan di rumah. Kami belajar memasak bersama. Membagi tugas untuk beres-beres rumah; kadang saya membersihkan selokan, kadang juga saya mencuci piring. Ibu juga menceramahi saya dan kakak laki-laki agar bisa menjadi orang yang selalu tersenyum.

Saya sempat menyatakan pada tulisan saya sebelumnya bahwa menjadi laki-laki adalah pekerjaan yang berat. Sekarang saya menyadari bahwa menjadi perempuan memiliki level kesulitan yang sama saja. Ada ekspektasi masyarakat yang harus mereka penuhi agar terbingkai sebagai perempuan baik-baik. Realisasi ini bermuara pada sebuah simpulan yang saya petik bahwa menjadi manusia itu sederhana dan mudah, tetapi ekspektasi masyarakat mempersulit keadaan.

Hak Milik: Cobb Shinn
Tiga kata yang menempel pada masyarakat mengenai peran perempuan adalah sumur, dapur, dan kasur. Sebuah pemikiran kuno yang sudah seharusnya tidak dijadikan patokan pada kehidupan perempuan. Menjadi perempuan seutuhnya itu bukan masalah apakah dia bisa memasak atau menimang anaknya hingga terlelap. Bukan hanya masalah dia bisa mencuci baju dengan bersih atau tidak. Apa lagi hanya dilihat dari sebaik apa performa dia di atas kasur. Menjadi perempuan adalah memberikan kebebasan mutlak kepada mereka untuk menjadi apa pun yang diinginkan. Tanpa perlu dilabeli oleh orang lain.

Ibu saya bernama Lastri. Kependekan dari Sulastri. Sejak saya kecil, saya jarang sekali mendengar tetangga memanggil beliau sebagai Bu Lastri. Mereka memanggil beliau dengan sapaan Bu Parman yang mana Parman merupakan panggilan ayah saya. Ibu juga kerap dipanggil dengan sapaan Mamah Zainal. Namanya luntur seiring waktu berjalan. Tentu saja, fakta ini tidak terjadi kepada semua orang. Banyak pula perempuan yang diingat dengan namanya sendiri. Namun, banyak perempuan yang namanya terlupakan. Namanya disimpan di kartu identitas dan terpaksa disenyapkan oleh masyarakat sekitar yang menganggap peran suaminya lebih signifikan.

Saya melihat dan merasakan bahwa laki-laki memiliki privilese dalam melakukan banyak kegiatan. Dalam ranah personal, laki-laki memiliki kebebasan dan berbagai pemakluman yang diberikan oleh masyarakat. Pulang malam bukanlah sebuah masalah. Berkata kasar bukanlah sebuah tabu. Mengekspresikan perasaan kepada perempuan adalah sikap yang jantan. Semuanya dilabeli sebagai realisasi sifat maskulin yang, katanya, dimiliki laki-laki sejak mereka dilahirkan.

Perempuan pulang malam? Langsung dihakimi sebagai perempuan nakal dan tidak bisa menjaga nama baik seorang perempuan.

Perempuan berkata kasar? Langsung dicemooh karena dianggap sebagai perempuan yang tidak layak dipanggil perempuan.

Perempuan mengekspresikan cintanya? Langsung dicap sebagai perempuan gatal, gampangan, dan tidak memiliki harga diri.

Saya memiliki seorang teman perempuan yang sudah menikah. Dia mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi beasiswa agar bisa berkuliah di luar negeri. Saat mengikuti seleksi wawancara, salah satu pewawancara bertanya kepada teman saya.

"Kamu diizinkan sama suami atau enggak?"

Teman saya tersenyum saat menceritakan pengalamannya tersebut. Dia tahu bahwa dalam perspektif religi yang ia anut, peran seorang suami cukup sentral dalam menentukan keputusan. Namun, pertanyaan yang dilontarkan pada saat wawancara beasiswa tersebut mencirikan sebuah realita di mana pendidikan perempuan yang telah berumah tangga seolah-olah perlu ditentukan oleh suami. Seolah-olah perempuan tidak bisa berpikir matang untuk menentukan masa depannya. Seakan-akan pihak laki-laki lebih bisa berpikir adil, netral, dan masuk akal.

Saat dinyatakan lolos seleksi, teman saya dihadapkan lagi dengan pernyataan dan pertanyaan pedas dari teman perempuannya.

"Suaminya mau ditinggal, toh? Apa enggak sebaiknya ngurus suami aja di rumah?"

"Kamu tuh udah seharusnya berbakti sama suami."

Sebuah bukti konkret bahwa pola pikir patriarki bukan hanya dimiliki oleh laki-laki, tetapi para perempuan yang mengamini kredo perempuan baik ya perempuan yang manut sama suami. Ujaran-ujaran tersebut sempat membuat teman saya meragukan pilihan yang telah ia perjuangkan, tetapi beruntung sekali suaminya bisa meyakinkan teman saya. Walhasil dia berangkat ke kampus impian dan menggapai cita-citanya.

Kita memasuki sebuah masa di mana perempuan sudah banyak yang mendobrak pemikiran lawas ihwal perannya di mata masyarakat. Mereka enggan untuk dikurung di dalam kotak yang mematok peran laki-laki dan perempuan. Sebenarnya, tidak ada yang salah jika seorang perempuan ingin menjadi istri yang menetap di rumah dan bekerja dalam ranah domestik selama itu adalah salah satu caranya untuk mengembangkan diri. Tidak masalah jika laki-laki mau bekerja dan meraih jabatan tinggi selama itu juga untuk mengembangkan diri. Peranan tradisional itu tidak akan bermasalah jika mereka tidak merasa dirugikan sama sekali dan melakukannya dengan sukarela.

Hal yang salah, menurut saya, adalah ketika mereka melakukan itu untuk memenuhi peranannya yang diciptakan oleh pola pikir eksternal, bukan keinginannya masing-masing.

Nampaknya, kita membutuhkan lebih banyak ikon perempuan yang berani merombak stigma perempuan baik. Para perempuan yang mampu membuktikan bahwa mereka berhak dan bisa menjadi apa pun yang mereka mau tanpa dibatasi oleh siapa pun. Para perempuan yang satu sifat dengan Kartini; gadis pemberontak yang enggan berpura-pura suci. Perempuan tangguh yang berani mengambil keputusan dan tahu apa yang baik untuk dirinya sendiri. Perempuan yang berani mendefinisikan ulang peranannya sesuai dengan kepercayaan, kemampuan, dan keinginannya.

Salam hormat saya untuk seluruh perempuan.

1 komentar: