Jumat, 29 November 2019

Kamu dan Kulit Ayam


            Baik, menulis sebuah kisah tentang kamu ternyata perlu banyak persiapan. Ibarat memperkenalkan kamu kepada kedua orang tua dan meminta doa restu mereka agar kita direstui untuk hidup berdampingan seterusnya.
            Hm. Itu terlalu berlebihan.
          Menulis tentang kamu membuat aku cemas. Enggan untuk membuka kardus-kardus kenangan singkat yang kemungkinan besar membuat aku rindu lagi. Membuat aku ingin meneleponmu dan menghabiskan malam-malam panjang sembari bercerita tentang Erau dan kebakaran. Namun, kehidupan terus berlanjut dan aku perlu berani mengambil keputusan. Kamu perlu diabadikan dalam sebuah tulisan agar aku bisa mengenang setiap titik momen yang pernah kita rasakan.
            Tulis tentang aku.
            Apakah aku bisa menolak? Tentu saja tidak.
       Hari silih berganti, minggu demi minggu luruh, bulan pun tidak bisa terus bertahan, dan aku belum menuliskan apa pun untukmu, tentangmu. Maka hari ini aku bersungguh-sungguh menyelesaikan tulisan ini agar kamu tahu; kamu sempat menghangatkan kehidupan seseorang dan kamu layak berbahagia.
*****
6 Agustus 2019. Tanggal di mana kita memutuskan untuk saling bertukar nomor ponsel. Hari pertama kita memutuskan untuk mempertahankan intensitas obrolan. Aku tidak menyesal sama sekali, walaupun berakhir tidak sesuai dengan yang diinginkan. Jika diingat kembali, usahamu untuk melemparkan kode sangatlah lucu. Sebagai anak jahil, aku terus berpura-pura tidak mengerti kodemu sama sekali. Padahal hati sudah kegirangan duluan karena dapat chat dari kamu.
Jika aku ditanya pandangan pertama tentang kamu, aku akan menjawab dengan yakin bahwa kamu adalah orang yang pandai menciptakan kenyamanan. Sejak panggilan pertama, tidak ada momen yang membuatku kikuk dan bingung. Kamu selalu mempunyai segudang topik perbincangan, dari kehidupan personal hingga kebudayaan. Mengenang masa lalu bersama hingga malam melarut adalah aktivitas yang menyenangkan. Aku tak marah sama sekali saat kamu menelepon ketika aku mengerjakan tugas. Mendengarkan suaramu adalah senyaman-nyamannya istirahat.
Perdebatan ihwal waktu istirahat selalu menjadi bagian yang paling aku sukai. Jika jam sudah menunjukkan pukul 11 di sini, aku akan berusaha memaksamu untuk mengakhiri panggilan. Saat kamu meminta waktu tambahan, aku selalu senang. Walaupun aku sering melontarkan komentar besok kan kerja dan gimana coba kalau kurang istirahat, tapi aku sangat senang jika harus mengundur waktu beristirahat. Menyimak percakapanmu tentang apa pun selalu membuatku terkesima; betapa kamu peduli terhadap lingkungan di sekitarmu, kehausanmu terhadap pengembangan potensi diri, hingga usahamu untuk bernyanyi. Picking it up, picking it up, I’m loving, I’m living, I’m picking it up.
Aku menyadari satu hal tentang gaya obrolan kita; aku selalu mengucapkan selamat malam terakhir dan kamu selalu menjadi selamat pagi pertama. Terima kasih 1.814 km dan perbedaan satu zona waktu!
Aku ingat suatu hari pada bulan Agustus, kamu menghubungiku untuk sekadar mengabari bahwa kamu tidak bisa ke Jakarta.  Walaupun tujuan utamanya adalah menyemangati perwakilan daerah masing-masing, tetapi kan bisa curi kesempatan. Patah semangat? Tentu saja. Aku pikir kesempatan itu adalah momen paling tepat untuk mengenang kembali pertemuan pertama kita. Jika saja saat itu aku sudah tahu kalau kamu adalah orang yang keras kepala, aku sudah melayangkan sebuah surat permohonan agar kamu diberikan cuti. Agar mereka tahu bahwa cutimu itu tidak hanya menyoal duta bahasa, tetapi jauh lebih dalam daripada itu. Aku akan berlaku lebih keras kepala daripada kamu. Mengapa?
Karena rindu harus dibayar tuntas dan pelukan akan menyelesaikan segalanya. Iya, kan?
*****
Suatu hari, aku terkena writer’s block. Maksud hati ingin menulis sesuatu untuk diunggah di blog, tetapi ide enggan untuk berdatangan. Beberapa kali menulis sebuah kalimat, lalu dihapus kembali karena tidak sesuai yang diharapkan. Proses tulis-hapus ini berlangsung cukup lama hingga aku memutuskan bertanya kepadamu.
“Kamu punya ide buat tulisan gak?”
“Hahaha. Tulis aja tentang ayam.”
Tentu saja, aku terbahak membaca ide yang kamu usulkan. Apa yang akan aku tuliskan tentang unggas bernama ayam? Bahwa mereka sempat terkena flu yang menggegerkan kehidupan manusia? Atau olahannya sedang populer dan dikembangkan menjadi berbagai jenis menu makanan? Kesukaanku terhadap ayam geprek sambal matah? Nampaknya ide tersebut, walaupun diberikan oleh orang yang spesial, tidak bisa menolong sama sekali.
Hingga satu titik aku teringat sebuah cerpen Dewi Lestari yang berjudul Hanya Isyarat.

Sahabat saya adalah orang yang berbahagia. Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian lain. Ia hanya mengetahui apa yang sanggup ia miliki. Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki.

            Sebuah cerpen yang aku baca pada saat berkuliah. Dulu, aku sempat menangis membaca cerpen itu. Nahas sekali nasib ‘saya’ yang menyukai seseorang, tetapi tidak bisa memiliki. Ingin memeluk tubuh seseorang, tetapi kenyataan membuatnya tak berdaya. Mengetahui keberadaan seseorang tanpa bisa masuk ke dalam kehidupannya.
           Pernahkah kamu menyimpan kulit ayam untuk dimakan terakhir? Menganggap kulit ayam adalah sebuah mahakarya yang perlu diagungkan dan dinikmati secara spesial? Itu mungkin keterkaitan antara kamu dan ayam. Bahwa kalian sama-sama berharga, dilindungi agar tak ada yang merebut, dan sangat spesial. Aku akan berusaha untuk mempertahankan kamu layaknya aku mempertahankan kulit ayam. Namun, mungkin ini yang dimaksud dengan kemanusiaan oleh para sosiolog terkenal itu. Kita akan merelakan sesuatu jika ada yang lebih pantas mendapatkan. Manusia dituntut untuk memiliki empati dan melihat sekeliling; apakah aku atau orang lain yang lebih membutuhkan?
                Begitu pun tentang kamu.
                Jika pada epilog cerita kita ternyata kamu tidak berakhir dengan aku, apa boleh dikata? Kamu berhak bahagia dengan caramu sendiri. Jika bahagiamu adalah melakukan apa yang kamu rasa tepat seperti yang kamu sampaikan di telepon waktu itu, tentu saja aku mengizinkan. Satu pesanku; kamu tahu yang baik untukmu dan harus tahu yang terbaik untuk orang lain.
*****
                Bagian ini mungkin akan menjadi sesuatu yang menggelikan. Bersiaplah.
              Ada miliaran orang di dunia ini dan mereka tidak berdiam diri di satu titik yang sama. Ada jarak yang membentang dan memperkecil kesempatan seseorang untuk mengenal satu sama lain. Begitu pun perbedaan budaya, zona waktu, kepercayaan, dan sebagainya. Kita beruntung. Dipertemukan pada sebuah kesempatan yang menyatukan sebuah perbedaan melalui bahasa. Menjadikan kita lebih berkesempatan untuk mengenal dan sempat menjalin sesuatu yang indah. Walaupun takdir tidak menggiring kita ke posisi yang kita inginkan, atau setidaknya yang aku inginkan, tidak mengapa. Toh Tuhan selalu tahu apa yang dibutuhkan makhluk-Nya.
            Suatu hari nanti, aku akan mengatakan kepada anakku (yang tentu saja hasil adopsi, aku tidak menikah) bahwa kamu adalah sosok yang hebat. Bahwa anakku harus bisa menjadi seperti kamu, bahkan lebih baik. Dia harus bisa membuat orang lain tertawa, sangat menghormati budaya, selalu memberikan yang terbaik, dan rajin berolahraga. Dia harus tahu asal-usul dirinya dan taat beragama.
          Aku tahu kamu selalu menghindari topik ini, tapi aku mendoakan yang terbaik untukmu dan seseorang yang nanti beruntung mendapatkanmu. Kebahagiaanku adalah melihat kamu bahagia. Klise sekali, ya? Terasa seperti mendengar kalimat yang sering dilontarkan karakter pada sebuah acara teve. Namun, aku benar-benar memaknainya. Kamu akan menjadi seseorang yang baik. Seseorang yang mampu memberikan kehidupan yang layak dan menjadi contoh kebaikan yang ideal. Siapa pun orang yang mendampingimu untuk babak kehidupanmu selanjutnya, aku harap dia menyadari seluruh kelebihanmu dan menerima kelemahamu.
          Suatu saat nanti, ketika pada akhirnya jarak menipis dan kita diperkenankan bertemu, kita akan bertemu layaknya dua orang teman yang telah lama terpisah. Berpelukan, saling menanyakan kabar, lalu menghabiskan hari sembari minum kopi dan menceritakan perjalanan yang telah kita tempuh. Pada saat itu, kita akan menyadari betapa baiknya kehidupan. Dan betapa waktu telah mengubah kita untuk menjadi lebih dewasa dan menghargai perpisahan.
       Terakhir, aku ingin mengucapkan satu kalimat untukmu. Dulu aku lupa mengatakan ini karena terlalu cengeng dan tidak mau menangis saat meneleponmu.
           Terima kasih untuk semua yang sudah kamu lakukan, Sayang.
           Dan aku janji, itu kata sayang yang terakhir.
*****
To know you as a friend,
And someone who shared love unconditionally
I am the luckiest man alive.
I sure do.              

Tidak ada komentar:

Posting Komentar