Baik, menulis sebuah kisah tentang kamu
ternyata perlu banyak persiapan. Ibarat memperkenalkan kamu kepada kedua orang
tua dan meminta doa restu mereka agar kita direstui untuk hidup berdampingan
seterusnya.
Hm. Itu terlalu
berlebihan.
Menulis tentang
kamu membuat aku cemas. Enggan untuk membuka kardus-kardus kenangan singkat
yang kemungkinan besar membuat aku rindu lagi. Membuat aku ingin meneleponmu
dan menghabiskan malam-malam panjang sembari bercerita tentang Erau dan
kebakaran. Namun, kehidupan terus berlanjut dan aku perlu berani mengambil
keputusan. Kamu perlu diabadikan dalam sebuah tulisan agar aku bisa mengenang
setiap titik momen yang pernah kita rasakan.
Tulis tentang aku.
Apakah aku bisa
menolak? Tentu saja tidak.
Hari silih
berganti, minggu demi minggu luruh, bulan pun tidak bisa terus bertahan, dan
aku belum menuliskan apa pun untukmu, tentangmu. Maka hari ini aku
bersungguh-sungguh menyelesaikan tulisan ini agar kamu tahu; kamu sempat
menghangatkan kehidupan seseorang dan kamu layak berbahagia.
*****
6 Agustus 2019. Tanggal di mana kita
memutuskan untuk saling bertukar nomor ponsel. Hari pertama kita memutuskan
untuk mempertahankan intensitas obrolan. Aku tidak menyesal sama sekali,
walaupun berakhir tidak sesuai dengan yang diinginkan. Jika diingat kembali,
usahamu untuk melemparkan kode sangatlah lucu. Sebagai anak jahil, aku terus
berpura-pura tidak mengerti kodemu sama sekali. Padahal hati sudah kegirangan
duluan karena dapat chat dari kamu.
Jika aku ditanya pandangan pertama tentang
kamu, aku akan menjawab dengan yakin bahwa kamu adalah orang yang pandai
menciptakan kenyamanan. Sejak panggilan pertama, tidak ada momen yang membuatku
kikuk dan bingung. Kamu selalu mempunyai segudang topik perbincangan, dari kehidupan
personal hingga kebudayaan. Mengenang masa lalu bersama hingga malam melarut
adalah aktivitas yang menyenangkan. Aku tak marah sama sekali saat kamu
menelepon ketika aku mengerjakan tugas. Mendengarkan suaramu adalah
senyaman-nyamannya istirahat.
Perdebatan ihwal waktu istirahat selalu
menjadi bagian yang paling aku sukai. Jika jam sudah menunjukkan pukul 11 di
sini, aku akan berusaha memaksamu untuk mengakhiri panggilan. Saat kamu meminta
waktu tambahan, aku selalu senang. Walaupun aku sering melontarkan komentar besok kan kerja dan gimana coba kalau kurang istirahat, tapi aku sangat senang jika
harus mengundur waktu beristirahat. Menyimak percakapanmu tentang apa pun
selalu membuatku terkesima; betapa kamu peduli terhadap lingkungan di sekitarmu,
kehausanmu terhadap pengembangan potensi diri, hingga usahamu untuk bernyanyi. Picking it up, picking it up, I’m loving,
I’m living, I’m picking it up.
Aku menyadari satu hal tentang gaya obrolan
kita; aku selalu mengucapkan selamat malam terakhir dan kamu selalu menjadi
selamat pagi pertama. Terima kasih 1.814 km dan perbedaan satu zona waktu!
Aku ingat suatu hari pada bulan Agustus,
kamu menghubungiku untuk sekadar mengabari bahwa kamu tidak bisa ke
Jakarta. Walaupun tujuan utamanya adalah
menyemangati perwakilan daerah masing-masing, tetapi kan bisa curi kesempatan. Patah
semangat? Tentu saja. Aku pikir kesempatan itu adalah momen paling tepat untuk
mengenang kembali pertemuan pertama kita. Jika saja saat itu aku sudah tahu
kalau kamu adalah orang yang keras kepala, aku sudah melayangkan sebuah surat
permohonan agar kamu diberikan cuti. Agar mereka tahu bahwa cutimu itu tidak
hanya menyoal duta bahasa, tetapi jauh lebih dalam daripada itu. Aku akan
berlaku lebih keras kepala daripada kamu. Mengapa?
Karena rindu harus dibayar tuntas dan
pelukan akan menyelesaikan segalanya. Iya, kan?
*****
Suatu hari, aku terkena writer’s block. Maksud hati ingin menulis
sesuatu untuk diunggah di blog, tetapi ide enggan untuk berdatangan. Beberapa
kali menulis sebuah kalimat, lalu dihapus kembali karena tidak sesuai yang
diharapkan. Proses tulis-hapus ini berlangsung cukup lama hingga aku memutuskan
bertanya kepadamu.
“Kamu punya ide buat tulisan gak?”
“Hahaha. Tulis aja tentang ayam.”
Tentu saja, aku terbahak membaca ide yang
kamu usulkan. Apa yang akan aku tuliskan tentang unggas bernama ayam? Bahwa
mereka sempat terkena flu yang menggegerkan kehidupan manusia? Atau olahannya
sedang populer dan dikembangkan menjadi berbagai jenis menu makanan? Kesukaanku
terhadap ayam geprek sambal matah? Nampaknya ide tersebut, walaupun diberikan
oleh orang yang spesial, tidak bisa menolong sama sekali.
Hingga satu titik aku teringat sebuah
cerpen Dewi Lestari yang berjudul Hanya Isyarat.
Sahabat saya adalah orang yang berbahagia.
Ia menikmati punggung ayam tanpa tahu ada bagian lain. Ia hanya mengetahui apa
yang sanggup ia miliki. Saya adalah orang yang paling bersedih, karena saya
mengetahui apa yang tidak sanggup saya miliki.
Sebuah
cerpen yang aku baca pada saat berkuliah. Dulu, aku sempat menangis membaca
cerpen itu. Nahas sekali nasib ‘saya’ yang menyukai seseorang, tetapi tidak
bisa memiliki. Ingin memeluk tubuh seseorang, tetapi kenyataan membuatnya tak
berdaya. Mengetahui keberadaan seseorang tanpa bisa masuk ke dalam
kehidupannya.
Pernahkah
kamu menyimpan kulit ayam untuk dimakan terakhir? Menganggap kulit ayam adalah
sebuah mahakarya yang perlu diagungkan dan dinikmati secara spesial? Itu
mungkin keterkaitan antara kamu dan ayam. Bahwa kalian sama-sama berharga,
dilindungi agar tak ada yang merebut, dan sangat spesial. Aku akan berusaha
untuk mempertahankan kamu layaknya aku mempertahankan kulit ayam. Namun,
mungkin ini yang dimaksud dengan kemanusiaan oleh para sosiolog terkenal itu.
Kita akan merelakan sesuatu jika ada yang lebih pantas mendapatkan. Manusia
dituntut untuk memiliki empati dan melihat sekeliling; apakah aku atau orang
lain yang lebih membutuhkan?
Begitu
pun tentang kamu.
Jika
pada epilog cerita kita ternyata kamu tidak berakhir dengan aku, apa boleh
dikata? Kamu berhak bahagia dengan caramu sendiri. Jika bahagiamu adalah
melakukan apa yang kamu rasa tepat seperti yang kamu sampaikan di telepon waktu
itu, tentu saja aku mengizinkan. Satu pesanku; kamu tahu yang baik untukmu dan
harus tahu yang terbaik untuk orang lain.
*****
Bagian
ini mungkin akan menjadi sesuatu yang menggelikan. Bersiaplah.
Ada
miliaran orang di dunia ini dan mereka tidak berdiam diri di satu titik yang
sama. Ada jarak yang membentang dan memperkecil kesempatan seseorang untuk
mengenal satu sama lain. Begitu pun perbedaan budaya, zona waktu, kepercayaan,
dan sebagainya. Kita beruntung. Dipertemukan pada sebuah kesempatan yang
menyatukan sebuah perbedaan melalui bahasa. Menjadikan kita lebih berkesempatan
untuk mengenal dan sempat menjalin sesuatu yang indah. Walaupun takdir tidak
menggiring kita ke posisi yang kita inginkan, atau setidaknya yang aku inginkan, tidak mengapa. Toh Tuhan
selalu tahu apa yang dibutuhkan makhluk-Nya.
Suatu
hari nanti, aku akan mengatakan kepada anakku (yang tentu saja hasil adopsi,
aku tidak menikah) bahwa kamu adalah sosok yang hebat. Bahwa anakku harus bisa
menjadi seperti kamu, bahkan lebih baik. Dia harus bisa membuat orang lain
tertawa, sangat menghormati budaya, selalu memberikan yang terbaik, dan rajin
berolahraga. Dia harus tahu asal-usul dirinya dan taat beragama.
Aku
tahu kamu selalu menghindari topik ini, tapi aku mendoakan yang terbaik untukmu
dan seseorang yang nanti beruntung mendapatkanmu. Kebahagiaanku adalah melihat
kamu bahagia. Klise sekali, ya? Terasa seperti mendengar kalimat yang sering
dilontarkan karakter pada sebuah acara teve. Namun, aku benar-benar
memaknainya. Kamu akan menjadi seseorang yang baik. Seseorang yang mampu
memberikan kehidupan yang layak dan menjadi contoh kebaikan yang ideal. Siapa
pun orang yang mendampingimu untuk babak kehidupanmu selanjutnya, aku harap dia
menyadari seluruh kelebihanmu dan menerima kelemahamu.
Suatu
saat nanti, ketika pada akhirnya jarak menipis dan kita diperkenankan bertemu,
kita akan bertemu layaknya dua orang teman yang telah lama terpisah.
Berpelukan, saling menanyakan kabar, lalu menghabiskan hari sembari minum kopi
dan menceritakan perjalanan yang telah kita tempuh. Pada saat itu, kita akan
menyadari betapa baiknya kehidupan. Dan betapa waktu telah mengubah kita untuk
menjadi lebih dewasa dan menghargai perpisahan.
Terakhir,
aku ingin mengucapkan satu kalimat untukmu. Dulu aku lupa mengatakan ini karena
terlalu cengeng dan tidak mau menangis saat meneleponmu.
Terima
kasih untuk semua yang sudah kamu lakukan, Sayang.
Dan
aku janji, itu kata sayang yang
terakhir.
*****
To know you as a friend,
And someone who shared love unconditionally
I am the luckiest man alive.
I sure do.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar