Indekos, menuju akhir November 2019
Saya sempat ragu untuk mengunggah tulisan ini. Beberapa dari kalian mungkin akan berdecak sebal membaca konten yang, lagi-lagi, bernada muram. Sebagian dari kalian mungkin langsung melabeli tulisan ini sebagai hasil romantisisme tragedi kehidupan. Baiklah, sekadar peringatan, seluruh kata pada tulisan ini adalah sesuatu yang nyata. Hidup bisa saja menyebalkan dan itu sangat normal. Untuk kalian yang sedang merasa jatuh dan sulit untuk bangkit, saya doakan yang terbaik untuk kalian.
Ini kisah November saya tanpa filter apa pun.
Saya sempat ragu untuk mengunggah tulisan ini. Beberapa dari kalian mungkin akan berdecak sebal membaca konten yang, lagi-lagi, bernada muram. Sebagian dari kalian mungkin langsung melabeli tulisan ini sebagai hasil romantisisme tragedi kehidupan. Baiklah, sekadar peringatan, seluruh kata pada tulisan ini adalah sesuatu yang nyata. Hidup bisa saja menyebalkan dan itu sangat normal. Untuk kalian yang sedang merasa jatuh dan sulit untuk bangkit, saya doakan yang terbaik untuk kalian.
Ini kisah November saya tanpa filter apa pun.
*****
Menemukan gambar ini di Pixels.com |
Pagi ini, Teh Vera mengirimkan sebuah video kilas balik berisi keberangkatannya ke Warrnambool tahun lalu. Sebuah kedatangan yang sempat menghangatkan bagi perasaan saya yang sedang lebur saat itu. Kang Agung, sahabat rantau lainnya, juga mampir dan ikut meramaikan hari berkabung saya. Milane, rekan kerja di sekolah, pun sempat hadir sembari membawa beberapa cangkir kopi untuk menenangkan saya. Tak ada yang lebih menenangkan daripada dikelilingi orang-orang tersayang saat kamu sedang terjatuh, kan?
Setahun kemudian, tepatnya hari ini, saya tidak bekerja. Suhu tubuh meninggi dan pusing enggan untuk mereda. Saya melihat setumpuk soal ulangan untuk anak-anak dan menghela napas panjang. Tahun lalu, saya tidak berurusan dengan asesmen seperti ini. Saya hanya datang ke kelas, mengajarkan kosakata sederhana, memainkan wayang sebentar, menggetarkan angklung, bernyanyi satu dua tiga bunga, lalu kembali ke ruangan. Tak ada penilaian macam ini. Tak ada kejenuhan karena harus membuat seperangkat penilaian bagi anak-anak.
Entah apa yang telah saya perbuat, tetapi November nampaknya selalu sukses membuat saya tertekan. Seluruh tekanan yang muncul menggunakan dalih yang sama; kehilangan. Namun, tahun ini kehilangan bermetamorfosis ke dalam berbagai bentuk yang saya sendiri tidak siap menghadapinya. Seluruh lelah dan sedih yang terjadi sejak awal tahun ini berakumulasi menjadi satu titik puncak kelelahan. Dan kenangan, sesuai dengan tugasnya, memperkeruh keadaan.
Namun, selalu ada titik terang di akhir sebuah terowongan, kan?
Titik lelah ini membuat saya merasa perlu berbicara pada seseorang dan mencurahkan seluruh kegelisahan yang bercongkok sejak awal bulan. Saya menemukan seseorang dan dia bersedia untuk menyimak dan berbicara seperlunya, tanpa menghakimi apa pun. Seharusnya saya ragu untuk menceritakan kisah personal saya, tapi apa mau dikata? Saya sudah lelah. Walhasil, sejak menit pertama pertemuan, kisah saya mengalir di hadapannya.
Tentang keluarga, patah hati, pekerjaan, tanggung jawab, dan mimpi yang perlu dipupus satu-satu.
Ihwal patah hati, saya menceritakan betapa kepercayaan romantis saya terhadap orang lain sudah mulai menurun. Jika berbicara tentang hubungan percintaan, itu memang sangat fluktuatif. Ada kalanya kita bahagia, ada juga bagian di mana kita merasa terpuruk. Lumrah, bukan? Sayangnya, saya nampak sangat amatir dalam dunia ini. Ditinggalkan dengan alasan-alasan nirlogis (dari sudut pandang saya, tentu saja) sudah membuat saya lelah. Saya nyaris menyerah.
Pekerjaan dan tanggung jawab juga mendesak saya untuk bekerja lebih ekstra bulan ini. Hey, tidak ada yang salah dengan memiliki pekerjaan dan tanggung jawab yang besar. Semuanya mendewasakan. Saya menyadari bahwa bulan ini, seluruh kesibukan pekerjaan dan tanggung jawab mencapai puncaknya. Kesibukan demi kesibukan perlu dituntaskan. Saya, sebagai orang yang selalu bekerja menjelang tenggat, merasa kelimpungan. Saya sempat diam di dalam toilet selama satu jam penuh hanya untuk menenangkan dan meyakinkan diri bahwa semuanya akan berakhir. Seluruh pekerjaan akan segera tuntas. Mengevaluasi diri agar tidak menunda sebuah pekerjaan.
Saya adalah tipe orang yang sering merencanakan sesuatu, khususnya pendidikan dan masa depan. Ada beberapa mimpi yang nyatakan harus dipupus dan masa depan yang perlu saya perhitungkan kembali bulan ini. Hidup memang tidak bisa seenaknya, ya? Tuhanlah yang berperan besar. Kita, manusia-manusia yang sedang berusaha ini, hanya bisa berdoa dan bekerja keras. Membuktikan bahwa kita layak mendapatkan yang kita inginkan.
"Kadang, kesedihan yang kita rasakan itu berkorelasi dengan kebahagiaan yang orang lain dapatkan. Begitu pun sebaliknya. Atau bisa jadi, kesedihan kita itu sama dengan yang orang lain rasakan."
Saya memutuskan untuk tidak berkomentar apa-apa. Namun, dia tidak mengizinkan sunyi merebak di sekitar kami.
"Gini, bahagia itu tujuan semua orang. Ya tapi enggak semua orang bisa mencapai titik bahagia setiap saat. Kamu perlu jatuh biar bisa bangkit. Sesekali perlu diuji biar kebahagiaan layak kamu dapatkan."
"Ya kalau jatuh terus, lama-lama saya luka."
"Hidup itu adil. Percaya dulu sama kalimat itu. Kamu jatuh lima kali, ada lima kebahagiaan yang nunggu depan kamu. Atau satu kebahagiaan yang bisa membuat kamu merasa sempurna. Kamu hanya perlu nunggu dan berusaha."
Saya hanya tersenyum dan memilih untuk bungkam. Mencerna setiap ucapan yang ia lontarkan.
"Kalau kamu perlu waktu nangis, jangan sungkan. Tapi, kalau tangis kamu selesai, janji sama diri kamu sendiri bahwa semuanya bakal baik-baik saja.
Saya menjawab saya tidak ingin menangis dengan mantap. Saya enggan untuk menangis lagi di depan orang. Sebelum mengakhiri sesi bincang-bincang, dia meminta saya untuk menggunakan tulisan sebagai media refleksi diri. Katanya, menulis adalah salah satu upaya untuk menenangkan diri. Tentu saja saya menyetujui.
Selama bulan ini, banyak cacian yang berkecamuk dalam pikiran saya. Semuanya bermuara kepada diri sendiri.
Gini aja gak becus.Makanya jangan percaya orang lain.Gak punya komitmen.Ya semuanya gara-gara kamu.Gak guna emang.Gak ada harga diri di depan orang lain.Malu-maluin.
Ujaran-ujaran itu adalah produk dari lelah dan kesal yang tertahan. Semenjak saya berbicara dengannya, saya merasa jauh lebih baik. Setidaknya, saya lebih tenang dalam menghadapi kehidupan. Celaan-celaan itu sedikit demi sedikit memudar dan jarang berkunjung ke pikiran saya.
Untuk teman-teman yang sedang merasa terjatuh, kita berada di posisi yang sama. Jangan dengarkan umpatan yang muncul dalam pikiran dan membuat kamu merasa sebagai pusat dari semua kesalahan. Tidak. Ini hanyalah sebuah fase untuk membuat kita lebih baik. Membuat kita lebih menghargai diri sendiri dan seluruh upaya yang telah kita lakukan. Semuanya akan berakhir. Suatu saat kita akan terbangun dari tidur dan menyadari semuanya sudah berlalu. Kita merasa jauh lebih baik. Jika itu tidak terjadi hari ini, kita tunggu besok pagi.
Kita perlu bersabar dan terus berusaha.
Dan untuk kalian yang sempat berpikir mengakhiri segalanya; Jangan. Kita masih punya kesempatan. Seberat apa pun masalahnya, kita masih punya kesempatan untuk menjadi lebih baik. Pun mendapatkan yang lebih baik.
Selalu ada titik terang di akhir sebuah terowongan.
Kita hanya perlu terus berjalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar