Sabtu, 24 Agustus 2019

Ibe dan Triformula Jarak bagi Manusia Normal


ja.rak
n ruang sela (panjang atau jauh) antara dua benda atau tempat.

Kita hanya membutuhkan ribuan kilometer jarak, satu momen pertemuan, dan sebuah keberanian untuk membuat kita genap.

Jarak, menurut beberapa sastrawan kedai kopi, adalah sesuatu yang bisa membuatmu dewasa. Membuatmu paham bahwa untuk menjadi lengkap, terkadang manusia membutuhkan sebuah tantangan yang menuntut sabar dan usaha. Membuatmu sadar jika rindu akan terus berkembang dan perjumpaan adalah obat mahamanjur. Jika persepsi mereka tentang jarak itu benar adanya, aku bisa melabeli diri sendiri sebagai orang paling dewasa. Kehidupanku tercipta dari benang-benang jarak yang terus dipintal, terus berakumulasi hingga rentangnya sudah tidak terbayangkan. Namun, aku tidak tahu bagaimana menentukan sikap sebagai orang dewasa: bersyukur atau malah mengutuki sela.

Aku diajarkan Ayah tentang indahnya menunggu seseorang. Empat tahun pascakelahiran, Ayah memutuskan untuk berangkat ke tanah yang selalu ia kagumi. Tanah suci yang, menurut Ayah, akan menyucikan dirinya juga. Di sana, beliau menghabiskan waktu selama enam tahun tanpa pulang. Enam tahun aku harus meredam rindu yang terlampau besar. Hal yang bisa menghiburku adalah surat-surat yang selalu Ayah tulis untukku. Tentu saja, tak ada jadwal khusus. Satu waktu, beliau akan mengirimkan surat setiap bulan. Tak jarang pula aku harus mengecek kotak surat tanpa hasil selama berbulan-bulan.

Namun, orang yang paling naas adalah Ibu. Aku akan menemukan punggungnya bergetar setiap malam karena harus menahan suaranya agar tak terdengar oleh siapa pun. Ibu enggan orang-orang tahu bahwa dia berkabung karena tak didampingi oleh kekasihnya. Tanpa Ibu sadari, aku pun melakukan hal yang sama. Kami saling menyembunyikan kesedihan dan mempertemukan senyum-senyum palsu seperti semuanya baik-baik saja. Saat itu, aku baru menyadari bahwa menanti seseorang tak hanya membutuhkan kesabaran, tetapi bagaimana kita piawai menyembunyikan kesedihan. Dunia pura-pura itu berakhir saat aku menyadari bahwa jarak tidak salah apa-apa. Pada kasus ini, Ayah memiliki kuasa penuh untuk melipat jarak atau mempertahankannya. Ayah memilih untuk berjarak, bukan jarak yang memilih Ayah.

Baik, aku akan menghentikan pengisahanku ihwal Ayah. Kalian bisa membaca tulisanku tentang beliau di tautan ini. Mari bantingkan cerita kepada jarak lagi, Sang Biang Kerok.

Hidupku selalu dikelilingi oleh jarak yang diciptakan orang-orang tersayang. Atau orang-orang yang sempat saling menyayangi. Keluarga, teman, rekan kerja, kekasih, bahkan mantan. Semuanya dekat pada masanya, lalu merenggang. Ada renggang yang masih dapat diukur oleh satuan kilometer, ada pula yang menciptakan jarak tak terhitung.

Aku sempat membagikan keluh kesahku tentang jarak kepada salah satu temanku, Ibe. Setelah berdiskusi alot dan memakan waktu yang cukup lama, dia mengajukan sebuah teori yang ia juluki Triformula Jarak bagi Manusia Normal.

(1) jarak jauh + kasih sayang = tersiksa
(2) jarak jauh + kebencian = rasa syukur
(3) jarak jauh + biasa saja = kehilangan sementara

Aku tertawa lepas saat menyimak Ibe berbicara layaknya seorang sastrawan dan guru matematika pada saat yang bersamaan. Tentu saja, rumus itu sangatlah subjektif. Semuanya diakumulasikan dari pengalaman Ibe yang jatuh cinta, benci, dan merasa biasa saja pada seseorang yang berjarak.

Dia mengatakan bahwa jarak adalah sesuatu yang netral. Hanya angka-angka yang mendefinisikan jauh atau dekatnya dua buah variabel. Orang-orang normal yang sedang jatuh cinta atau merasakan sayang yang berlebihan harus berhenti mendamprat jarak sebagai biang kerok dari permasalahan mereka. Sekasar apa pun kamu mencaci, jarak tidak akan bergeming. Perasaanmu yang harus dipahamkan.

Namun, aku sempat melabrak triformula milik Ibe. Rumus itu hanya berlaku pada satu orang saja. Bukan untuk hubungan dua arah. Contoh:

A mencintai B, tetapi B tidak mencintai A.
Maka, A akan merasa tersiksa dan B akan bersyukur.
Akhirnya? 

Ibe berusaha untuk mendebat komentarku, lalu ia menggaruk kepalanya yang aku yakin tak gatal sembari terkekeh-kekeh. Ia berjanji akan merampungkan rumus yang ia banggakan. Nanti aku kabari jika sudah ada versi terbaru, ya.

Walaupun aku mengomentari rumus Ibe, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak mengategorikan  hubungan yang sedang aku jalani. Pada saat aku membuat tulisan ini, aku merasa rumus pertama adalah yang paling mendekati perasaanku. Here we go again, jarak sedang menjadi kawan akrab.

Sejak pertama kali bertemu, aku paham benar jika jarak akan sangat familiar dalam hubungan ini. Dia pun menyadari bahwa 1814 km adalah jarak yang akan selalu mendampingi kami. Saat ini, aku berharap ada moda transportasi daring yang bisa dipesan sebagai kendaraan jarak jauh, darat dan laut. Namun, sama halnya dengan semua harapan, itu tidak akan terlaksana. Atau mungkin, itu belum terlaksana.

Malam ini adalah malam ke-18 sejak perjumpaan kedua kami tercipta. Delapan belas adalah kuantitas yang sedikit jika kita berbicara tentang lama kita saling mengenal satu sama lain. Bahkan, hitungannya belum menyentuh satu bulan. Orang-orang akan menyatakan bahwa itu hanyalah nuansa awal dari cinta.

Hey, jatuh cinta itu dalam waktu singkat sudah biasa terjadi. Mempertahankan cinta? Itu adalah sebuah pekerjaan rumit.. Mempertahankan cinta karena jarak yang tercipta? Itu tugas terumit yang pernah ada dalam sejarah hidup manusia. Bagaimana jika jarak ini mempengaruhi pandangan kita tentang hubungan ini? Bagaimana jika aku gagal lagi dalam mempertahankan perasaan saat jarak terbentang? Bagaimana jika kamu lelah karena perasaan rindu untuk berjumpa yang mahabesar? Bagaimana jika ini semua hanyalah nafsu belaka?

Ah, kehidupan ini terlalu dipenuhi oleh pertanyaan bagaimana jika yang bisa menumbuhkan paranoia. Tanpa manusia sadari, pertanyaan itulah yang memicu kebosanan. Kita terlalu bosan berprasangka. Kita terlalu bosan menunggu. Kita terlalu bosan berharap pada sesuatu yang berjarak.

Mengapa tidak kita jalani hubungan berjarak ini dengan penuh tawa setiap malam? Menceritakan kisah pengantar tidur yang mampu menghangatkan hati masing-masing. Mengapa tidak kita jalani hubungan berjarak dengan percakapan jujur yang bisa saling memahamkan? Mendoakan orang yang berjarak setelah beribadah adalah sesuatu yang menyenangkan.

Maka, aku memutuskan sendiri rumus apa yang paling sesuai dengan kisahku.

Kita hanya membutuhkan ribuan kilometer jarak, satu momen pertemuan, dan sebuah keberanian untuk membuat kita genap.

Saat Ibe mendengarkan rumusku, dia berdecak-decak dengan sarkas. Semua kisah cinta juga berawal seperti itu, Saudara Zain. Aku hanya tertawa terbahak tanpa menggubris ujaran salah satu sastrawan kedai kopi yang aku kenal itu.

Bagaimana dengan kisah cinta kamu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar