Lalu, aku sempat berpikir sejenak ihwal kalimat itu. Jika aku perlu mengulang fase hidupku terus-menerus, bahkan hingga seribu kali, akankah aku tetap memilih seseorang yang sama?
Empat tahun; lama untuk sebagian orang, singkat bagi yang lain. Tapi bagi kami, cukup untuk tahu bahwa cinta butuh dipelajari, bukan sekadar dirayakan. Seperti hubungan lainnya yang naik-turun, kami pun menghadapi situasi yang sama. Terkadang, hati dan kepalaku yang dipenuhi ego. Enggan untuk meruntuhkan keinginan dan hanya mau didengarkan. Kadang, dia yang seperti itu. Sesuatu yang manusiawi, yang tak bisa dihindari, tapi terus kami pelajari bersama.
Namun, pada akhirnya, kami selalu pulang lewat pelukan. Saat berpelukan dengan kekasihku, aku merasa tubuh ini melebur. Bahwa kami adalah dua raga-satu jiwa yang saling berbagi napas. Saling menyempurnakan denyut dan detak jantung. Hidup damai dalam sunyi senyap yang terkadang kami butuhkan. Sebab hatiku adalah tempat bagi hatinya, begitu pun sebaliknya.
Maka aku teringat pada bait pertama puisi mendiang E.E. Cummings:
i carry your heart with me
(i carry it in my heart)
i am never without it
(anywhere i go you go, my dear;
and whatever is done by only me
is your doing, my darling)
Bait itu seakan menjelaskan segalanya. Tentang bagaimana cinta menyatu, diam-diam, perlahan, dan tanpa syarat.
Kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada masa depan. Semuanya adalah rahasia semesta yang aku tak berniat untuk menerka. Namun, membayangkan hidup bersama kekasihku terdengar menenangkan. Mengetahui bahwa setelah menjalani hidup, aku tahu bahwa ada pundak yang siap kujadikan rumah. Ada peluk dan tutur kata yang bisa melenyapkan lelah. Dan setelah semua yang kami lewati, aku tahu: bahkan jika hidup harus kujalani seribu kali, aku sudah tahu ke mana arah pulang.
0 Comments:
Posting Komentar