Minggu, 18 November 2018

Semua Orang Memiliki Hak yang Sama untuk Bahagia

Saya memulai tulisan ini dengan sebuah peringatan yang harus diperhatikan.

Berpikiran jernih terlebih dahulu. 

Hak cipta: Min An

Peringatan tersebut saya sampaikan karena tulisan ini akan mendobrak berbagai stereotip yang berkembang di dalam masyarakat. Kemungkinan besar stereotip tersebut masih dipercayai oleh khalayak yang membaca tulisan ini. Saya harap kamu bisa berpikiran positif dan berpikiran terbuka.

Saya sudah menyaksikan banyak orang menderita karena mereka disudutkan oleh orang lain. Beragam alasan tak masuk akal digunakan untuk menjadi dasar perundungan; tidak bisa bermain olahraga, tidak memiliki payudara, nama orang tua terdengar kampungan, kutu buku, dan lain-lain. Perundung melihat hal-hal tersebut sebagai celah untuk melakukan aktivitas yang mereka sukai; membuat orang lain merasa tidak berguna.

"Laki-laki itu harus memiliki otot dan jakunnya harus timbul, berkeringat setiap hari, haram bermain boneka, kuat mengangkat barang-barang berat, tidak boleh berpelukan dengan laki-laki, selalu bersedia untuk membantu perempuan bahkan ketika dia tidak sanggup melakukannya."

"Perempuan itu harus anggun, memiliki payudara dan pantat besar, jago memasak, tidak boleh bersentuhan dengan laki-laki, jangan main bola."

Stereotip tersebut sudah menjadi pola pikir kebanyakan orang. Tidak hanya di Indonesia, namun seluruh dunia. Ketika ada orang yang tidak sesuai dengan kriteria tersebut, maka dia akan dilabeli sebagai orang yang aneh dan dijadikan santapan yang nikmat bagi perundung. Mereka melabeli manusia yang notabene memiliki kebebasan untuk melakukan apa pun yang bisa membuat kualitas dia sebagai manusia  menjadi lebih baik. Sayangnya orang lain melihat perbedaan ini sebagai kelemahan. Hal yang lebih ironis adalah: Tidak ada ampun untuk seseorang yang tidak sesuai dengan ekspektasi masyarakat.

Saya pernah menyaksikan seorang murid laki-laki yang tidak menyukai sepak bola dipaksa untuk melakukan tendangan jarak jauh dan harus mencetak gol oleh gurunya sendiri. Dia dipaksa untuk berdiri di depan seluruh temannya. Seperti yang sudah ditebak, murid tersebut tidak bisa menendang bola hingga mencetak gol. Bola yang ia tendang meleset jauh dari target. Guru tersebut berkata bahwa anak laki-laki itu harus bisa bermain bola dan memiliki tendangan yang kuat. Kebanyakan teman-temannya tertawa saat itu. Tidak ada yang membela sama sekali. Murid itu menangis sembari duduk kembali ke tempatnya semula. Tahu apa yang dikatakan oleh gurunya? Laki-laki tidak boleh menangis. Hanya perempuan dan banci yang menangis.

Ada juga korban perundungan yang depresi karena dia tidak sanggup mendengar kenyataan bahwa orang-orang menyalahkan dia sebagai korban pemerkosaan. Kebiasaannya menggunakan pakaian pendek dijadikan alasan oleh masyarakat untuk menyalahkan orang tersebut. Orang-orang beranggapan jika dia tidak menggunakan pakaian pendek, pemerkosaan tersebut tidak akan pernah terjadi. Dia enggan untuk melakukan aktivitas di luar rumah karena tidak sanggup untuk mendengar ucapan tetangganya. Seorang korban diperlakukan seperti tersangka. Korban yang seharusnya diberikan dukungan dan dikuatkan mentalnya malah dikucilkan oleh sebagian besar orang. Sangat ironis. 

Saya juga mengenal seseorang yang dipergunjingkan oleh orang-orang karena keluarganya tidak harmonis. Ayahnya tidak pernah pulang ke rumah, ibunya sudah memiliki suami lagi, kakaknya memiliki permasalahan finansial, dan adiknya adalah seorang pencuri. Orang yang saya kenal ini memiliki prestasi yang baik di sekolah. Tidak pernah mengikuti remedial. Sayang sekali orang-orang tidak melihat kecerdasannya. Mereka hanya memedulikan asumsi yang mereka buat bahwa teman saya akan gagal seperti anggota keluarga lainnya. Tidak ada kesempatan bagi teman saya untuk bisa mencapai kesuksesan. Pada suatu pagi dia memilih untuk tidak bersekolah. Semenjak saat itu dia tidak pernah duduk di bangku sekolah lagi. Orang-orang pun senang karena mereka pikir asumsi mereka benar bahwa teman saya akan gagal. Tanpa mereka sadari, mereka membangun asumsi itu menjadi kenyataan.

Suatu hari saya menaiki sebuah angkot bersama dua orang laki-laki dan satu orang perempuan lainnya. Kedua laki-laki tersebut berpegangan tangan sambil tertawa. Sesekali salah satu di antara mereka mengecup telapak tangan yang lain. Tawa mereka terhenti ketika perempuan di depan saya mempertanyakan seksualitas kedua laki-laki tersebut. Salah satu dari mereka menjawab bahwa mereka adalah gay. Ingin tahu ucapan yang perempuan itu sebutkan? Amit-amit, bakal masuk neraka. Sesaat setelah ucapan disebutkan, mereka dipaksa turun oleh supir angkot. Sialnya saya malah membeku karena tidak percaya perempuan di depan saya akan mengatakan kata-kata itu. Sialnya saya tidak membela mereka sama sekali. Itu menjadi salah satu penyesalan terbesar dalam hidup saya.

Saya selalu tidak bisa menerima ketika ada seseorang yang memojokkan seseorang dengan ucapan atau kekerasan fisik. Kita tidak pernah tahu kondisi mental seseorang. Apakah dia sedang bahagia? Apakah dia memiliki masalah keluarga? Apakah dia merasa diterima oleh teman-temannya? Hal yang bisa kita lakukan adalah berbuat baik kepada sesama manusia. Itu adalah sebuah konsep dan aksi yang sangat sederhana.

Bagaimana jika saya adalah seorang laki-laki yang tidak bisa bermain sepak bola, memiliki keluarga yang tidak bahagia, korban pemerkosaan, nyaris bunuh diri, dan suka dengan sesama jenis? Apakah kamu akan merundung saya? Apakah kamu akan pura-pura tidak mengenal saya? Apakah kamu akan memaksa saya untuk mengikuti kehendak kalian? 

Manusia memahami cara terbaik yang bisa dilakukan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Selama dia tidak menyakiti orang lain, biarkan dia hidup dengan caranya sendiri. Dia perlu mengaktualisasikan dirinya tanpa harus diberikan label apa pun. Biarkan dia menjadi dirinya sendiri.

Apakah seorang laki-laki yang tidak bisa bermain sepak bola akan menyakiti perasaanmu? Apakah seorang perempuan yang belum menikah pada umur tiga puluh lima tahun akan membuatmu sakit hati? Apakah pasangan lesbian membuatmu depresi? Apakah perempuan berkerudung panjang dan berbusana serba tertutup akan membuatmu kesal? Apakah laki-laki yang senang menggunakan riasan wajah membuat matamu pedih? Apakah laki-laki yang menggunakan behel membuatmu jijik dan muntah? Apakah perempuan yang memiliki kulit putih membuatmu emosi?

Jika jawabanmu itu tidak, maka biarkanlah mereka menjadi diri sendiri. Percaya sama saya, membiarkan mereka hidup bahagia akan lebih menyenangkan daripada memaksa mereka untuk sesuai ekspektasi kuno yang sudah beredar. Jika jawabanmu adalah ya, pilihanmu ada dua: ubah perspektif hidupmu atau jangan ikut campur kehidupan mereka

Saya sangat berharap tidak ada lagi orang yang harus menderita karena asumsi orang lain. Saya ingin mencapai suatu titik kehidupan di mana orang-orang bisa tersenyum dan melakukan apa yang mereka sukai. Saya menginginkan semua orang berbahagia.

Jika keinginan itu tidak terwujud hari ini, kita akan berusaha agar keinginan itu tercapai esok hari. Kita tidak akan menyerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar