Sut. Celine Sciamma | 2019 | Adele Haenel, Noemie Merlant
Hak cipta: Isabelle Dow |
Saat matahari hendak pamit dari kaki langit, sepasang kaki milik Nala berjalan menuju rumahnya. Di lengannya menggantung sebuah tas belanja berisikan baju spesial. Sebuah senyum masih terbingkai di bibirnya sejak ia bangun tidur. Nala membagikan senyum manis itu kepada ibunya, para pembeli bunga di tokonya, pengantar tanaman, bahkan penjual kopi seberang toko yang ia kerap kunjungi saat kantuk menyerang begitu saja. Hari ini adalah waktu yang ia tunggu.
Sesampainya di rumah, Nala mengecup tangan ibunya dan langsung memasuki kamar tidur. Tak perlu satu menit untuk Nala membuka tas belanja dan mengeluarkan isinya; sebuah busana berwarna biru yang ia pesan kepada tukang jahit langganannya. Nala tidak terlalu sering membeli baju. Namun, untuk hari yang telah ia tunggu ini, Nala rela mengorbankan beberapa rupiah miliknya agar bisa memberikan tampilan yang baik. Ia sempat memikirkan reaksi lelaki yang ia akan temui nanti. Apakah baju ini cukup membuatnya bahagia? Apakah dia suka? Apakah lebih baik aku ganti baju lain saja? Beragam kalimat apakah muncul satu-satu dalam benaknya. Namun, ia lekas-lekas mengusir pikiran itu.
Setelah busana biru itu membalut tubuhnya, ia keluar dari kamarnya dan menghadap sang ibu. Tanpa diminta, sang ibu sudah memberikan pujiannya. "Bagus, La. Kamu selalu cantik," kata ibunya sambil membenarkan lekukan di tepi baju Nala. Sebelum meninggalkan rumah, Ibu sempat melayangkan doa dan menyelamati Nala berkali-kali. Dalam binar mata ibu, Nala menemukan haru sekaligus bahagia.
"Selamat ya, Nala sayang. Selamat. Ibu ikut senang kamu sudah punya lelaki yang cinta sama kamu seperti Nawang."
Perkataan ibu tentu saja mengundang bulir-bulir air di tepi mata Nala. Ibu langsung mengingatkan untuk tidak menghancurkan riasan wajah hanya karena mendengarkan ujarannya. Dengan penuh kasih sayang, Ibu mengantarkan Nala ke pintu dan memintanya untuk berhati-hati. Dalam hati Ibu Nala, ada beragam syukur yang mengucur. Ada bahagia yang membuncah saat melihat anaknya jatuh cinta dan juga dicintai sebegitu dalamnya. Nala berhak dicintai seperti ini.
Nala langsung menuju restoran yang ia dan kekasihnya telah tentukan. Sebuah restoran yang mempertemukan mereka dua tahun lalu, tepat pada tanggal ini. Di restoran, seorang pramusaji langsung mengajaknya ke satu sudut yang telah dipesan. Kursi yang sama dengan posisi duduknya dulu. Nala langsung membenahi posisi duduknya, lalu mengecek layar ponselnya. Masih lima belas menit lagi, benaknya berujar.
Nala menatap sekeliling dan kenangan-kenangan mulai hadir dan menawarkan diri untuk diingat. Tentang Nala yang perlu berbagi meja dengan lelaki bernama Nawang di restoran ini. Tentang Nawang yang secara tiba-tiba meminta maaf dan mengujarkan bahwa ia jatuh suka pada Nala beberapa minggu setelah pertemuan pertama mereka tercipta. Tentang Nala yang tak percaya bahwa ia akan disukai oleh seseorang lelaki, terlebih sosok seperti Nawang. Sepanjang hidupnya, tak satu pun lelaki menyatakan cinta padanya. Hanya Nawang yang menyukai Nala apa adanya.
"Magis banget kamu, tuh, Nala," ujar Nawang suatu malam sembari mengecup kening Nala dengan mesra. Nala hanya bisa tersenyum dan membenamkan tubuhnya ke dalam pelukan Nawang.
Akhir-akhir ini, keduanya jarang sekali bertemu. Nawang sedang menyiapkan sebuah proyek yang diserahkan kepadanya sehingga ia kerap menghabiskan waktunya di kantor. Walaupun begitu, Nala tak merasa itu menjadi sebuah masalah. Bagi Nala dan Nawang, intensitas bertemu bukanlah sebuah standar yang perlu dicapai dan lakukan oleh tiap pasangan. Nawang percaya pada Nala, begitu pun sebaliknya. Nala hanya berpesan pada Nawang untuk meluangkan waktu beberapa kala dalam kesibukannya untuk berkabar. Nawang selalu melakukan itu.
Jam 7 malam pun tiba dan beberapa hidangan telah diantarkan oleh pramusaji ke hadapan Nala. Senyum perempuan itu tidak luntur-luntur. Beberapa terima kasih ia berikan tiap makanan dan minuman tersaji. Pada saat itu, sebuah pesan muncul di layar ponselnya.
Sayang, kayaknya harus cancel hari ini. Kantor lagi butuh aku banget dan tiba-tiba ada masalah penting, nih. Maaf banget, Sayang. Kamu udah di sana, ya?
Benar, Nala sudah berusaha memahami segala kesibukan Nawang. Nala akan dan selalu berusaha untuk memahami hal tersebut. Nala yakin kekasihnya pun akan melakukan hal yang sama. Namun, Nala tidak mampu mendustai hatinya yang sedikit retak karena pesan itu. Nala menatap sajian di hadapannya, lalu busana yang sedang ia kenakan. Tetiba, ruangan yang diisi suara remang saksofon itu mendadak senyap. Hanya ada suara detak jantung dan tarikan napas Nala. Lama ia terdiam dalam lamunannya, ia pun memanggil pramusaji dan meminta seluruh sajian dibungkus saja.
Nala menarik napas dalam, lalu menuliskan sebuah pesan untuk Nawang.
Kapan ada waktu lain lagi?
Nala membawa makanan-makanan yang sudah dibungkuskan untuknya. Di luar restoran, ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis dan marah pada kekasihnya. Nawang adalah lelaki baik. Dia tidak mungkin memarahinya hanya karena urusan pekerjaan.
Aku pasti kabari selekasnya ya, Sayang! Kamu langsung pulang, kah? Maaf lagi, ya.
Nala memberhentikan satu taksi yang melaju cukup kencang. Ia menaiki taksi itu dan menyebutkan alamat rumahnya. Ia menatap kembali layar ponselnya.
Iya, enggak apa-apa. Ini aku mau pulang.
Setelah ia mengirimkan pesan itu, entah pada detik yang mana, suara dentuman keras memenuhi gendang telinga Nala. Suara ini disusul oleh suara klakson dari berbagai arah yang juga membuat pekak. Tanpa bisa menahan, ia teriak dan tubuhnya terbentur kencang. Pada momen ini, potongan-potongan kaca mobil yang beterbangan di hadapannya melambat. Dalam benak Nala, hanya ada wajah ibu dan kekasihnya. Semua kenangan hidupnya terputar ibarat sebuah tayangan foto yang muncul satu per satu. Hingga satu waktu, ketika dentuman lain muncul dari samping tubuhnya, sadarnya mulai hilang. Setitik air mata alir dari pelupuknya.
Detik selanjutnya, ponsel Nala berdering. Sebuah pesan muncul di layar.
Hati-hati di jalan.
Sumber: Tulus Company |
Nyaris sepuluh hari semenjak Tulus melahirkan mahakarya teranyar bertajuk Manusia. Nyaris sepuluh hari pula lagu-lagu dalam album tersebut bergantian menyampaikan kisahnya. Ada yang membuat saya berdendang sambil berkhayal memiliki suara sehalus Tulus, ada pula yang membuat saya senyap dan menangis. Suara Tulus yang sederhana dan tak mengandalkan teknik-teknik rumit sukses menyampaikan beragam cerita dengan penuh emosi dan manusiawi. Dalam tulisan ini, saya merekam perasaan saya yang sering muncul tiap kali mendengar lagu-lagu Manusia ini.
Tujuh Belas
Mendengarkan Tujuh Belas membuat saya rindu menyusuri lorong-lorong SMA sambil menyantap tiga gorengan seharga seribu rupiah. Menyumbangkan tawa setelah seorang teman melemparkan lelucon renyah yang entah di mana letak komedinya. Namun, Tulus, beban saya di sekolah bukan hanya matematika. Hampir semua pelajaran menyebarkan rasa cemas.
Mengenang diri saat tujuh belas membuat saya terlahir kembali dan, untuk sementara, hidup tanpa beban.
Kelana
Salah satu favorit dari album Manusia. Sewaktu Tulus menyanyikan lirik, "Kita ke mana? Mau ke mana? Hendak mencari apa? Menumpuk untuk apa?" saya hanya bisa menjawab entah beberapa kali. Lagu ini punya suasana yang setara dengan duduk di kereta menuju Yogya saat petang hendak berganti senja. Atau saat menyusuri Malioboro saat gerimis sesekali.
Lihat langit di balik jendela bening yang jadi arena juang belasan jam tiap hariku.
Remedi
Pernah mencurahkan semua tentang ragu dan mimpi kita kepada satu orang? Lalu, orang itu menenangkan, berpikir rasional, dan menyemangati tanpa ampun? Nah, Remedi terasa seperti orang itu. Seperti sedang duduk di kursi tunggu bandara, lalu khawatir dan ragu mulai muncul beberapa waktu sebelum kita dibawa terbang. Kita hendak mundur, tetapi Remedi terus menenangkan. Menjanjikan kebaikan di ujung penerbangan dan juga saat kita kembali dari perjalanan.
Aku rasakan yakinmu dilawan ragu. Tapi, sampai kapan?
Interaksi
Salah satu bait pada lagu ini merupakan doa yang sering dilayangkan, betul? Iya, kan? Bukan hanya saya, kan?
Terkadang kita tahu benar bahwa jatuh cinta pada seseorang bisa menciptakan nyeri. Namun, jatuh cinta menyangkut rasa dan kalau sudah begitu, apa daya kita? Walaupun hati sudah merasa akan ada sakit, tetapi rasa mana mau tahu? Kita hanya ingin bertemu, mengobrol, dan jatuh cinta. Oleh karena itu, harapan satu-satunya yang bisa dilayangkan adalah semoga tidak pernah interaksi. Harapanku hanyalah tidak ada interaksi. Dibalut iringan instrumen yang mendayu dan hangat, lagu ini seolah menghibur diri-diri yang telanjur jatuh hati.
Jika seseorang itu bukanlah untuk kita; reda dan redalah.
Ingkar
Mencoba dengan apik untuk beralih, tapi hati memang inginnya tetap dan bermukim dalam hati seseorang. Sekuat apa pun kita untuk pindah hati, tetapi diri kita selalu kembali kepada wajah, memori, dan rasa yang dimunculkan oleh orang yang sama. Lagu akbar para manusia yang masih merindu pada satu orang. Ada yang begitu? Yuk, kasihani orang yang sedang menetapkan hati pada dirimu. Jangan ingkar, ah!
Jatuh Suka
Jatuh Suka punya energi dan suasana yang sama dengan Jatuh Hati milik Raisa. Haha
Lagu ini merekam suasana hati seseorang yang sedang jatuh cinta. Lirik dilantunkan dengan tenang serta diiringi instrumen secara merdu dan syahdu. Namun, rasa yang ada dalam hati Tulus pasti meledak-ledak.
Tulus memang begitu. Dia yang jatuh cinta, dia yang minta maaf dan penuh maklum. Ia mengatakan bahwa hati yang membuatnya jatuh cinta itu mempunyai magis perekat. Seromantis dan semanis itu.
Nala
Sejujurnya, pertama kali menyimak lagu ini saya menangis. Lagu ini hanya mengisahkan satu babak; tentang Nala yang hendak bertemu seseorang. Ia sudah menyiapkan diri terbaiknya, tetapi temu itu diurungkan oleh sosok yang ia suka. Lagu ini merekam kisah dan isi hati Nala yang murung malam itu. Namun, selayaknya manusia yang ingin hatinya hangat, Nala masih penuh harap.
Lalu Nala mengirim singkat sebuah pesan.
Kepadanya Nala bertanya, kapan ada waktu lain lagi.
Saya menangis entah mengasihani Nala atau diri sendiri.
Hati-hati di Jalan
Lirik pertama dinyanyikan oleh Tulus, saya sudah yakin lagu ini akan kondang. Sebuah lagu yang mencerminkan kedewasaan seseorang saat berhadapan dengan perpisahan.
Waktu bersama yang sudah lama, kesamaan dalam suka dan tidak suka, serta bisa saling melengkapi pada akhirnya tidak menjamin sebuah hubungan. Adakala kita harus berpisah di sebuah persimpangan, saling menatap untuk terakhir kalinya, mengharapkan selamat, dan melanjutkan perjalanan.
Untuk kamu dan aku, "Hati-hati di jalan."
Diri
Definisi me-time dan self-reflection dalam sebuah lagu. Mengingatkan kita untuk berterima kasih pada diri yang sudah melangkah, walaupun lelah sudah pasti sering bersemayam. Mengingatkan jiwa untuk jangan memaksakan diri dan sadar akan kadar cukup. Mengingatkan kita untuk menepi saat lelah hadir.
Berasa sedang duduk depan kaca dan mengeluarkan semua gelisah yang ada. Menepuk bahu sendiri sembari berkata, "Kamu terlalu berharga untuk luka, semua baik-baik saja."
Satu Kali
Lagu terakhir dalam Manusia mengingatkan kita untuk terus menjalani hidup. Seburuk apa pun pengalaman hidup kita pada masa lalu, teruslah hidup dan berjalan. Kita hanya memiliki satu plot hidup; tak ada kilas balik. Kesempurnaan hanya milik Tuhan. Kesalahan adalah sesuatu yang manusiawi. Album ini ditutup dengan hiduplah kini. Mungkin, Tulus ingin mengingatkan kita untuk fokus pada diri saat ini. Tak takut masa lalu, tak menyalahkan diri atas salah yang terjadi.
Tulus, boleh rilis album lagi?
i am a soldier, still in the middle of a war, and already lose half of my soul.
i will collect every pieces to remind myself that it was real.
the protection you gave,
the bomb you exploded,
this weak heart of mine who easily giving up.
but,
nothing was fake.
at least, that is what my mind said.
so these are the pieces, the proves
after a long walk |
one fine day |
you with your waffle, me with my pancake |
before the long walk |
these trees are tall, just like you. |
we said we will camp one day |
holding hands, with you |