Minggu, 14 September 2025

Membaca Katri


Pengalaman Membaca: 5/5


Aku pasti selamat.

Usiaku bakal lewat 70 tahun dan sehat.

Anakku sehat.

Hidupku tidak sia-sia.


Beberapa minggu lalu, saya menyelesaikan sebuah novel berjudul Katri yang ditulis oleh Adeste Adipriyanti. Novel yang mengisahkan sebuah perjalanan seorang tahanan politik pada tiga babak; sebelum, selama, dan setelah menjadi tahanan. Itu penggolongan saya sendiri, sih. Adeste mengelompokkan kisah ini ke dalam empat bagian.


Awalnya, sulit bagi saya untuk suka pada tokoh Katri dengan segala pilihan hidup yang dia ambil selama masa remaja. Katri dan seluruh gejolak yang ada pada dirinya membuat saya geleng-geleng kepala. Saya merasa ingin menepuk pundaknya sembari berkata pelan tapi tegas, “Sadar, yuk. Jangan macam-macam.”


Namun, rasa gemas itu berganti dengan khawatir pada hidupnya yang sangat nelangsa. Beberapa lembar kemudian, kisah hidup Katri dipenuhi kemalangan yang sempat membuat saya menahan napas. Kemampuan Adeste dalam menjelaskan detail-detail kejadian sejarah sangatlah ciamik dan membuat kaget. Mungkin ini yang dimaksud oleh Matthew Phillpot; historical fiction is also an introduction to history. Aku merasa dikenalkan pada sudut pandang baru tentang tragedi yang terjadi pada 1965.


Pada pembelajaran Sejarah di sekolah, kita sudah diajarkan betapa peristiwa politik pada era pergantian Soekarno-Soeharto cukup keji. Namun, pada Katri, saya seolah disadarkan bahwa banyak hal yang belum diketahui. Perihal sekejam apa sebenarnya pihak militer pada para tahanan politik. Novel ini seperti mengajarkan dan memperdalam kembali pemahaman sejarah saya.


Ada satu bagian pada Katri yang membuat saya bergidik karena Adeste tidak menggunakan bahasa figuratif. Dia menjelaskan kejadian apa adanya, tanpa disembunyikan sama sekali. Tanpa dihaluskan demi kenyamanan membaca. Dan saya merasa, fiksi sejarah memang seharusnya seperti itu. Jujur tanpa kecuali. Bahkan jika harus membuat pembaca merasa tidak nyaman.


Namun, tidak ada satu pun tetangga yang berani menolong. Katri berlari dari satu rumah ke rumah yang lain. Tetangga-tetangganya meringkuk ketakutan dalam diam. Kengerian terlihat dari wajah mereka, bisa jadi karena dengan jelas mereka melihat pipi Katri bolong dan gobyos darah. (Hlm. 49)


Selama menjadi tahanan politik, saya bisa merasakan betapa semangat hidup Katri naik-turun. Katri bahkan mulai mengira dirinya gila. Namun, di balik kekejian yang terjadi, ada secercah kebahagiaan yang dituliskan dalam novel ini. Bagian yang membuat saya sebagai pembaca dan, tentu saja, Katri merasa hangat dan memantik semangat hidup. Kasih sayang ‘keluarga kedua’ Katri di penjara, hubungannya dengan Hendro, pun keluarganya yang tak pernah luput untuk mencintai sang anak tanpa kecuali.


Hormat saya kepada Adeste yang mau menghabiskan lebih dari sepuluh tahun untuk mendalami kisah ini. Begitu pula untuk Ibu Katri, doa saya mengucur untuk Anda.


Saya itu tidak punya cita-cita waktu bebas. Cita-cita saya pokoknya hidup selamat dan waras. Hidup mengalir saja. (Hlm. 245)


Mengalirlah terus, Ibu Katri. 

0 Comments:

Posting Komentar