Senin, 21 Maret 2022

Nala

Hak cipta: Isabelle Dow

Saat matahari hendak pamit dari kaki langit, sepasang kaki milik Nala berjalan menuju rumahnya. Di lengannya menggantung sebuah tas belanja berisikan baju spesial. Sebuah senyum masih terbingkai di bibirnya sejak ia bangun tidur. Nala membagikan senyum manis itu kepada ibunya, para pembeli bunga di tokonya, pengantar tanaman, bahkan penjual kopi seberang toko yang ia kerap kunjungi saat kantuk menyerang begitu saja. Hari ini adalah waktu yang ia tunggu.

Sesampainya di rumah, Nala mengecup tangan ibunya dan langsung memasuki kamar tidur. Tak perlu satu menit untuk Nala membuka tas belanja dan mengeluarkan isinya; sebuah busana berwarna biru yang ia pesan kepada tukang jahit langganannya. Nala tidak terlalu sering membeli baju. Namun, untuk hari yang telah ia tunggu ini, Nala rela mengorbankan beberapa rupiah miliknya agar bisa memberikan tampilan yang baik. Ia sempat memikirkan reaksi lelaki yang ia akan temui nanti. Apakah baju ini cukup membuatnya bahagia? Apakah dia suka? Apakah lebih baik aku ganti baju lain saja? Beragam kalimat apakah muncul satu-satu dalam benaknya. Namun, ia lekas-lekas mengusir pikiran itu.

Setelah busana biru itu membalut tubuhnya, ia keluar dari kamarnya dan menghadap sang ibu. Tanpa diminta, sang ibu sudah memberikan pujiannya. "Bagus, La. Kamu selalu cantik," kata ibunya sambil membenarkan lekukan di tepi baju Nala. Sebelum meninggalkan rumah, Ibu sempat melayangkan doa dan menyelamati Nala berkali-kali. Dalam binar mata ibu, Nala menemukan haru sekaligus bahagia. 

"Selamat ya, Nala sayang. Selamat. Ibu ikut senang kamu sudah punya lelaki yang cinta sama kamu seperti Nawang."

Perkataan ibu tentu saja mengundang bulir-bulir air di tepi mata Nala. Ibu langsung mengingatkan untuk tidak menghancurkan riasan wajah hanya karena mendengarkan ujarannya. Dengan penuh kasih sayang, Ibu mengantarkan Nala ke pintu dan memintanya untuk berhati-hati. Dalam hati Ibu Nala, ada beragam syukur yang mengucur. Ada bahagia yang membuncah saat melihat anaknya jatuh cinta dan juga dicintai sebegitu dalamnya. Nala berhak dicintai seperti ini. 

Nala langsung menuju restoran yang ia dan kekasihnya telah tentukan. Sebuah restoran yang mempertemukan mereka dua tahun lalu, tepat pada tanggal ini. Di restoran, seorang pramusaji langsung mengajaknya ke satu sudut yang telah dipesan. Kursi yang sama dengan posisi duduknya dulu. Nala langsung membenahi posisi duduknya, lalu mengecek layar ponselnya. Masih lima belas menit lagi, benaknya berujar.

Nala menatap sekeliling dan kenangan-kenangan mulai hadir dan menawarkan diri untuk diingat. Tentang Nala yang perlu berbagi meja dengan lelaki bernama Nawang di restoran ini. Tentang Nawang yang secara tiba-tiba meminta maaf dan mengujarkan bahwa ia jatuh suka pada Nala beberapa minggu setelah pertemuan pertama mereka tercipta. Tentang Nala yang tak percaya bahwa ia akan disukai oleh seseorang lelaki, terlebih sosok seperti Nawang. Sepanjang hidupnya, tak satu pun lelaki menyatakan cinta padanya. Hanya Nawang yang menyukai Nala apa adanya.

"Magis banget kamu, tuh, Nala," ujar Nawang suatu malam sembari mengecup kening Nala dengan mesra. Nala hanya bisa tersenyum dan membenamkan tubuhnya ke dalam pelukan Nawang.

Akhir-akhir ini, keduanya jarang sekali bertemu. Nawang sedang menyiapkan sebuah proyek yang diserahkan kepadanya sehingga ia kerap menghabiskan waktunya di kantor. Walaupun begitu, Nala tak merasa itu menjadi sebuah masalah. Bagi Nala dan Nawang, intensitas bertemu bukanlah sebuah standar yang perlu dicapai dan lakukan oleh tiap pasangan. Nawang percaya pada Nala, begitu pun sebaliknya. Nala hanya berpesan pada Nawang untuk meluangkan waktu beberapa kala dalam kesibukannya untuk berkabar. Nawang selalu melakukan itu.

Jam 7 malam pun tiba dan beberapa hidangan telah diantarkan oleh pramusaji ke hadapan Nala. Senyum perempuan itu tidak luntur-luntur. Beberapa terima kasih ia berikan tiap makanan dan minuman tersaji. Pada saat itu, sebuah pesan muncul di layar ponselnya.

Sayang, kayaknya harus cancel hari ini. Kantor lagi butuh aku banget dan tiba-tiba ada masalah penting, nih. Maaf banget, Sayang. Kamu udah di sana, ya?

Benar, Nala sudah berusaha memahami segala kesibukan Nawang. Nala akan dan selalu berusaha untuk memahami hal tersebut. Nala yakin kekasihnya pun akan melakukan hal yang sama. Namun, Nala tidak mampu mendustai hatinya yang sedikit retak karena pesan itu. Nala menatap sajian di hadapannya, lalu busana yang sedang ia kenakan. Tetiba, ruangan yang diisi suara remang saksofon itu mendadak senyap. Hanya ada suara detak jantung dan tarikan napas Nala. Lama ia terdiam dalam lamunannya, ia pun memanggil pramusaji dan meminta seluruh sajian dibungkus saja.

Nala menarik napas dalam, lalu menuliskan sebuah pesan untuk Nawang.

Kapan ada waktu lain lagi?

Nala membawa makanan-makanan yang sudah dibungkuskan untuknya. Di luar restoran, ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis dan marah pada kekasihnya. Nawang adalah lelaki baik. Dia tidak mungkin memarahinya hanya karena urusan pekerjaan. 

Aku pasti kabari selekasnya ya, Sayang! Kamu langsung pulang, kah? Maaf lagi, ya.

Nala memberhentikan satu taksi yang melaju cukup kencang. Ia menaiki taksi itu dan menyebutkan alamat rumahnya. Ia menatap kembali layar ponselnya.

Iya, enggak apa-apa. Ini aku mau pulang.

Setelah ia mengirimkan pesan itu, entah pada detik yang mana, suara dentuman keras memenuhi gendang telinga Nala. Suara ini disusul oleh suara klakson dari berbagai arah yang juga membuat pekak. Tanpa bisa menahan, ia teriak dan tubuhnya terbentur kencang. Pada momen ini, potongan-potongan kaca mobil yang beterbangan di hadapannya melambat. Dalam benak Nala, hanya ada wajah ibu dan kekasihnya. Semua kenangan hidupnya terputar ibarat sebuah tayangan foto yang muncul satu per satu. Hingga satu waktu, ketika dentuman lain muncul dari samping tubuhnya, sadarnya mulai hilang. Setitik air mata alir dari pelupuknya.

Detik selanjutnya, ponsel Nala berdering. Sebuah pesan muncul di layar.

Hati-hati di jalan.

1 komentar:

  1. Ketika jejak tak lagi berdetak, haruskah penyesalan melayangkan senyuman?

    BalasHapus