Sejak beberapa minggu yang lalu, rumah saya sangat ramai. Berbagai percakapan tentang bahasa dan kehidupan terdengar di mana-mana. Ketika saya menelepon kamu dan mengatakan bahwa saya rindu rumah, kamu hanya tersenyum sembari menatap kamera depan ponselmu.
"Sudah. Kamu urus saja dulu pekerjaan di sana."
Selama beberapa detik, hanya hening yang menguar di sekitar saya. Namun, keheningan yang tercipta di luar badan selalu bertolak belakang dengan kondisi perasaan. Saya merasa ada demonstrasi besar-besaran antara dua kubu; satu pihak memaksa saya untuk pulang dan menuntaskan rindu yang sudah menggunung dan pihak lainnya menuntut saya untuk menetap di tanah Australia. Seperti biasa, perdebatan batin itu mencairkan beberapa tetes air mata.
"Tuh kan, malah nangis. Mereka juga gak akan keberatan kalau kamu gak pulang, sayang. Kamu--"
"Sebentar, aku butuh waktu buat menenangkan diri dulu."
Kamu pun mengangguk sembari memasang senyum yang selalu bisa menghangatkan. Pada saat seperti ini, saya selalu ingin menghardik jarak yang sudah memberikan ruang agar kita tidak bisa bertemu. Padahal, saya sangat membutuhkan pelukan kamu yang mampu menenangkan detak jantung saya. Walaupun kita tidak berbicara, kamu sudah tahu apa yang saya inginkan. Kamu tetap duduk sembari sesekali memberikan senyuman.
Pada saat itu, seluruh memori saya tentang rumah berhamburan. Saya mengingat kejadian di dalam angkot saat saya berangkat untuk karantina, rasa gugup saya selama penilaian, usaha saya untuk mengingat kosakata bahasa Sunda dan bahasa Inggris, rasa sesal karena tidak bisa memberikan hasil yang optimal ketika penilaian bakat, serta riuhnya tepuk tangan dan teriakan pada saat final. Setiap kenangan menghadirkan sensasi masing-masing di dalam hati saya.
Segurat senyum muncul di bibir saya ketika mengingat betapa gugupnya saya dan Nadhira saat penilaian final. Kami berdoa agar bisa lulus ke tahap selanjutnya dan mendapatkan predikat juara. Senyum lainnya muncul saat saya mengingat Ninda. Pasangan saya yang benar-benar menampilkan titik terbaik dari dirinya. Banyak yang tahu bahwa saya selalu mengagumi senyumnya dan berusaha untuk membuat dia tersenyum. Membayangkan dia berjalan sembari mengenakan siger dan sepatu berhak membuat saya ingin menggandeng tangannya. Layaknya saat kami sedang berjuang dan bertugas.
Seiring beranjaknya waktu, kenangan itu memudar. Saya bersyukur karena kamu masih ada di sana, walaupun saya tahu bahwa kamu sedang menahan kuap. Seperti biasa, kamu mengangkat salah satu alis untuk memastikan bahwa saya siap untuk berbicara.
"Aku sudah baik-baik saja."
Kamu menghembuskan napas kuat-kuat dengan ekspresi yang berlebihan. "Aku takut suara bernapasku ganggu kamu."
"Mana ada."
"Aku tadi membayangkan kamu tiba-tiba jadi Hulk."
Kita pun tergelak. Lalu kamu pun menceritakan berbagai macam skenario irasional yang bermain di dalam pikiranmu ketika saya mengingat rumah. Saya perlu menahan tawa karena takut membangunkan teman-teman yang harus berangkat kerja pukul 4 pagi. Kamu pun menghentikan tawamu, namun tidak melunturkan senyum jahil dari bibirmu.
"Sudah merasa baik-baik saja?"
Saya mengangguk untuk dua alasan; menjawab pertanyaannya dan meyakinkan diri saya. "Masih kangen, tapi berusaha ikhlas sih."
"Ingat ya. Ini bukan kesalahan kamu. Rumah kamu gak akan ke mana-mana."
Ini bukan kesalahan kamu. Rumah kamu gak akan ke mana-mana. Dua kalimat itu saya tanamkan dalam hati hingga saat ini.
Kemarin, rumah saya merayakan kedatangan anggota baru. Saya menyaksikan siarang langsung perayaannya. Ramai sekali. Saya mendengar teriakan, sorakan penonton, letupan confetti, dan kalimat-kalimat penuh syukur. Suasananya sama dengan tahun lalu: hangat dan meriah. Apakah saya menangis? Tentu saja. Namun, tangisan kali ini bukanlah bentuk sesal saya karena tidak pulang ke rumah. Saya menangis karena terharu saat melihat keluarga saya berkumpul dan berbaur dengan anggota keluarga baru.
Seseorang pernah berkata bahwa rumah bukanlah masalah tempat, namun lebih kepada titik yang membuat saya nyaman. Tentu saja itu berlawanan dengan makna yang dituliskan oleh KBBI, namun saya mengamini pernyataan tersebut untuk pos ini. Dubas Jabar sudah menjadi rumah bagi saya. Orang-orang di dalamnya sudah menjadi titik nyaman dalam kehidupan saya.
Berikut ini beberapa potret dari perayaan kemarin!
Ninda. |
Diva dan Ninda. |
Yusra dan Ninda. |
Mulyadi dan Ninda. |
Kang Gempa. |
Ibu Ade. |
Diva. |
Ryan, Hikmah, Diva, Ninda, dan Rizka. |
Putri Dubas: Zara, Ninda, dan Hikmah. |
Ryan, Zara, Diva, Ninda, Hikmah, Rizka, dan Iqbal. |
Diva, Ninda, Kika, Zara. Fahmi, Binar, Mulyadi, Kevin. |
Binar dan Ninda. |
Ryan, Marshall, Mulyadi, Lisna, Hikmah, Zara, Fani, Rizka, Yusra, Adit, dan Iqbal. |
Pasangan paling populer: Iqbal dan Hikmah. |
Marshall dan Zara. |
Adit dan Ninda. |
Kang Ridwan dan Teh Kemala. Diva dan Ninda. |
Yusra, Iqbal, Marshall. Hikmah, Zara, Rizka, Ryan. |
Keluarga. Tempat saya berlabuh. |
Catatan:
Kamu juga sudah saya anggap sebagai rumah. Semoga kita selalu bisa menciptakan kenyamanan di dalamnya.
My soft-hearted Hulk xx
BalasHapusHahaha bisa berubah jadi Captain America gak sih.
HapusSenang ih banyak wajah Ninda =))
BalasHapusWajah siapa lagi coba? Haha
Hapus